Langsung ke konten utama

BERBURU KAMIR DI KAMPUNG ARAB


Hmmmm... Aroma harum adonan kue yang masih panas menyeruak dari sebuah rumah di dalam gang sana. Tanpa perlu ribet bertanya lagi, saya yakin pasti itulah tempatnya. Kamir “Cap Mawar” Ibu Chamidah, Pemalang. ( Oleh : Anita W.R. )


Kamir, bukanlah penganan yang asing bagi kita. Penjual jajan keleman sering membawanya. Ciri khasnya yang empuk dengan citarasa manis terasa pas menjadi penggajal perut saat lupa belum makan berat. Kamir identik dengan Pemalang. Penganan khas yang diperkenalkan warga keturunan Arab. Tak hanya di Arab, konon di Yaman pun makanan sejenis kamir ini ada. Namanya Bakhmri. Bedanya terletak pada bentuknya yang tidak bulat melainkan segitiga dengan rasa rempah yang kental.
 
Kamir diproduksi oleh keturunan Arab yang menempati wilayah tersebut sejak bertahun-tahun. Sehingga tak heran ya, jika kemudian ada "Kampung Arab"Mulyo Harjo. Banyak serupa bangunan tua di tempat ini. (Atau memang demikian). Dan Kamir Cap Mawar Bu Chamidah pun mendiami salah satu rumah disana. Tidak jauh dari Masjid di Jalan Semeru, puluhan kamir dan apem mawar sudah tersaji di kiosnya. Sesekali ditambahkan yang masih mengepul. Jangan tanya seperti apa aromanya. Langsung merajuk minta di'hap-hap'. Harumnya super.

Awalnya, kamir ini diperkenalkan untuk pertama kalinya di daerah Mulyo Harjo oleh Ibu Aisyah, seorang perempuan keturunan Arab. Diteruskan oleh generasi keduanya yaitu Ibu Zahra. Pada masa itu usaha masihlah berjalan apa adanya. Usaha rumahan yang hanya berkembang dari mulut ke mulut saja. Barulah pada generasi ketiga, merk Kamir “Cap Mawar” Ibu Chamidah didaftarkan seara resmi. Dan mendapat Psertifikat IRT. Ibu Chamidah, merupakan isteri dari Bapak Ali Abdullah selaku generasi ketiga usaha turun temurun ini. Kini, Kamir “Cap Mawar” Ibu Chamidah  dikelola oleh Tufaah sebagai generasi keempat.

Kamir disana ternyata ada dua jenis. Satu yang terbuat dari tepung terigu dengan bentuk yang sudah sangat kita kenal. Berwarna kecoklatan dan bisa bertahan beberapa hari. Sementara itu ada juga kamir tepung beras serta santan. Biasa disebut shamir atau samit. Warnanya putih dengan bentuk yang sama. Hanya umurnya lebih pendek. Satu hari saja. Ada juga apem mawar. Apem gula Jawa ini memang bentuknya serupa mawar dengan rasa yang legit. Meski ukuran per piece nya langsung bikin kenyang tapi lidah nggak mau berhenti ketagihan. Begitupun dengan kue kamirnya. Selain cita rasanya yang membuat beda adalah terlihat lebih berminyak dan kecoklatan. Ini dikarenakan penggunaan minyak sayur dan minyak kelapa sebagi bahan oles. "Makin gosong malah makin nikmat", celetuk seorang pembeli sembari memilih kamir di tampah. 

 
Kamir, menurut informasi yang beredar berasal dari turunan dari kata khameer yang berarti ragi. Ragi ini salah satu bahan pembuatannya, selain tepung (terigu atau tepung beras), telur, mentega dan gula. Semua bahan setelah jadi adonan akan diinapkan dulu semalam. Selanjutnya akan dipanggang dalam cetakan berbentuk wajan isi banyak lingkaran. Harum adonan berpadu api langsung membelai angan agar segera membawanya pulang. Ah, saya bahkan hingga detik ini lupa berapa harga satuannya karena langsung kesengsem aromanya. Yang saya ingat hanya satu dus isi 10 buah dan menyisakan 3 sampai dirumah. Kaum pencomotnya banyak sih.

Selain di kediamannya, kamir cap mawar juga dititipkan di beberapa gerai oleh-oleh di Pemalang. Tapi kalau ingin memastikan yang selalu tersedia, ya langsung ke rumahnya saja. Eits, siap-siap disambut sekelompok soang juga ya di ujung setapak. Hehe.. Selamat berburu oleh-oleh khas Pemalang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...