Langsung ke konten utama

Aku, Kamu dan Kopi Kita di Espede Cafe

Aroma pahit berbaur jeruk khas Kopi Kintamani menyeruak dari kepulan asap di cangkir yang tengah tersaji. Yang bikin surprise adalah saya menikmatinya di kota sendiri. Tepatnya Espede Cafe Purbalingga. 

Oleh : Anita Wiryo Rahardjo & Ery Andini


Saya cukup diuntungkan sebagai warga pusat kota Purbalingga. Akses mudah berkenalan dengan tren, walau pada dasarnya saya bukan anak gaul. Termasuk cafe baru yang memasang tagline "Aku, Kamu dan Kopi Kita". Jujur saja, susunan kata yang nampang di salah satu sudutnya inilah yang membawa saya bergegas menuju Espede Cafe di Jalan Letkol Isdiman no. 17 seberang Rumah Bersalin Panti Nugroho Purbalingga. Kalimat yang secara refleks mengingatkan saya pada salah satu karya pribadi dalam bentuk audio stories yang ditayangkan sebuah media lokal, "Kita dan Secangkir Kopi". Beda ya ? Ah, sudahlah... anggap saja mirip.


Dan apakah saya bertemu Rio seperti dalam kisah yang saya tulis berminggu-minggu itu ? Tentu saja tidak. Karena sang peracik kopi Kintamani saya petang itu bernama Yoga Oktavianto. Anak muda yang pernah mencoba pengalaman serupa di sebuah cafe ibukota. Keinginannya mengenalkan tren ngopi-ngopi cantik menggiringnya membuka Espede bersama dua rekannya, Yoko dan Indah. "Indah kebetulan lulusan tata boga, jadi selain kopi, cokelat, squash disini juga ada kue cubit, waffle dan menu camilan lainnya yang disajikan hangat", ujar ketiga alumni UNNES ini kompak. Eits, alumni mana tadi ?? Hmmmm, pantes ya usaha mereka diberi nama Espede Cafe. Espede kan cara kita membaca gelar S.Pd yang ada dibelakang nama ketiganya.



Setengah cangkir kopi less sugar dihadapan sudah mulai dingin. Tapi saya masih ingin berlama-lama. Tanpa banyak cakap, food blogger akudankisahsemusim yang menemani pun sepertinya larut dengan segelas chocolate strawberry-nya. "Oke juga", komentarnya. Saya sebenarnya menanti mbak ini berucap lagi. Hanya saja dia terlihat sedang menikmati suara Tulus yang tengah diputar dari bar. "Emang enak kopi hitam dengan sediiiikkkiiiiiitt gula?", katanya tiba-tiba sembari mencomot kue cubit pandan yang baru diantar. Saya tidak tahu harus menjawab apa. Rasanya sangat tidak ingin merusak feel yang saya dapat dari tempat ini ketika jawaban saya nantinya memancing komentar "Mirip ninine bae lho". Well, mending saya ikut mencicip kue cubit yang cukup lama antrinya ini. Sebagai pilihan tepat untuk nylimur, haha. Dan bicara soal menu utama disini, memang kopi hitam lebih banyak dinikmati kalangan dewasa saat jelang malam. “Paling banyak di-order Kopi Gayo”, kata Yoga.

ABG yang saya temui di sore berikutnya terbukti lebih memilih minuman cokelat atau squash. Mereka mungkin belum kena efek dejavu dari secangkir kopi hitam ya. Aiiiihhh.. Eh, bagi yang nggak suka kopi hitam juga nggak masalah kok. Latte, Capucino atau Espresso bisa dicoba. “Insha Allah, kopi Brazil segera menyusul untuk bisa dinikmati disini Mbak”, tambah Yoga di lain kesempatan. Tak hanya varian menu-menu oke, fasilitas tempat yang cukup nyaman (kecuali saat hujan dan kehabisan tempat di dalam), wi-fi, mushola, dan alunan lagu-lagu pilihan cocok buat berlama-lama. “Setiap malam minggu, kita ada live accoustic juga Mba”, imbuhnya. Seru !

 

Perkenalan saya dengan sajian Espede café kala itu hampir berakhir. Mung karék gedoh. Tidak lama kemudian satu notifikasi di ponsel, saya terima. "Ngopi itu kerennya tanpa cemilan dan tanpa gula", balasmu yang telah saya kirimi foto kopi dan kue cubit. Saya tersenyum dan tidak seperti biasanya berseberangan pemikiran denganmu. Sesekali dengan cemilan dan sedikit gula (dan tanpamu) juga nikmat kok, apalagi di Espede Café.

Ket : Buka jam 14.00 - 23.00 WIB

Komentar

Banyak Dicari

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

KASURAN

Otak saya pernah dengan mentah menerima kata “ kasuran ” sebagai  kasur  +  an . Padahal yang dimaksud adalah  ka  +  sura  +  an . Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Kasuran merupakan nama jenis rumput yang secara khusus dipakai sebagai bahan utama Wayang Suket khas kecamatan Rembang, Purbalingga. Tepatnya di desa Wlahar. Wayang ini menjadi khas karena hanya seorang saja perajin awalnya. Yaitu Mbah Gepuk . Nama aslinya Kasanwikrama Tunut. Konon  suwargi  melewati masa kanak-kanak sebagai bocah angon yang tentunya akrab dengan alam dan padang rumput nan luas. Menghadapi usia senja, ia banyak menepi dan mulai menganyam helai demi helai rumput kasuran menjadi tokoh – tokoh legendaris dalam kisah pewayangan. Ia aktif membuat wayang suket sejak 1920-an. Meski telah menghadap sang Khalik pada 2002 silam, beberapa karya Almarhum Mbah Gepuk masih kerap dipamerkan. Seperti : Gatotkaca dan Rama Shinta.     Kasuran di Pulau Dewata Kini...