TERLILIT (PESONA) BELUT


"Belut ini jarang yang mantang, Mba", tandas anak muda didepan saya ini mantap. "Kayaknya nggak ada deh Mba, orang makan belut lalu susuknya rontok", kelakarnya sembari menyodorkan Rica-rica Belut yang pedasnya giiiillaaa. (Oleh : Anita W.R.)

Welut. Begitulah orang kami menyebutnya. Ikan tanpa sisik dan sirip yang kerap dipesan saat upacara tradisi mitoni dihelat. Dibakar dan kemudian diulek bersama bumbon menjadi sambel welut yang "hhaasssttt" nikmatnya itu lhooo... Eksotik.

Ya, rasanya memang se-sexy khasiatnya. Kandungan proteinnya yang lebih tinggi dari ikan membuat belut oke saja tuh dikonsumsi berbagai kalangan usia. Tapi ngapunten yang punya riwayat asam urat, tahan kepengen ya.


NGOBOR


Kaya manfaat, tapi nggak kaya jumlah. Itu masalahnya. Badannya yang licin membuat tangan-tangan awam tak sanggup menyentuhnya. Ditambah habitatnya yang menyukai lumpur sebelum musim tanam padi membuat kita yang bukan pemilik sawah semakin merindukan belut. Masak mau ngobor di sawah Pak Lurah. "Ya tidak laaah....". Lagipula ngobor ini bukan aktivitas yang semudah bayangan. Perlu telaten, cekatan dan feeling yang tajam untuk menemukan belut. Fisiknya yang berbeda dari ikan pada umumnya, membutuhkan cara khusus untuk lari dari predator. Berkelit diantara lumpur dan menghindari cahaya adalah cirinya. Para pengobor juga sudah paham belut tidak akan terlihat kala purnama, apalagi siang. Malam dingin berbintang adalah waktu favoritnya keluar menghirup udara segar. (Ilustrasi diatas di unduh dari sini)

Dengan bekal petromax (bukan lagi obor seperti alasan namanya), pengobor berjibaku ditengah hawa yang menusuk tulang. Aktivitas ini banyak dilakukan dengan nama bermacam. Seperti nyuluh, ngadamar, dan sebagainya.(Ilustrasi anak-anak mencari belut diunduh dari sini)

DALAM TRADISI




Tak melulu di lumpur, belut pun bisa hidup di air. Bagaimanapun belut termasuk ikan. Bahkan belut kerap "ditugasi" mencari mata air lain saat ada sumber air baru ditemukan.

Yang paling sering ditemui, tentu saja dalam acara mitoni atau tingkeban. Belut akan dibrojolkan dari arah atas oleh calon nenek ke dalam sarung ibu mbobot dan harus ditangkap oleh bapak si janin. Maksudnya agar proses persalinan gangsar. Segampang lolosnya belut. Ada pula yang mengatakan agar si anak kelak bisa selalu bersih seperti belut yang walau hidup diantara lumpur tidak terkotori sama sekali. Namun belutnya sendiri termasuk salah satu makanan panas selain durian, ikan gabus, kepiting dan maja yang pantang dikonsumsi ibu hamil. 

Saya inget banget, jaman dulu belut akan dimasak dengan cara dibakar terlebih dulu pada tungku batu (pawon). Tentunya ditusuk dulu ya, bukan dilempar-lemparin ke tengah tungku seperti yang pernah saya lihat dipraktekkan Ibu' saya. Setelah dibakar, barulah dibersihkan dan dimasak seperti yang diharapkan. Rasanya memang jauh lebih membuat dejavu dibanding jika digoreng. 





KINI


Apapun, apalagi di saat ini bisa saja jadi tren. Belut mungkin salah satunya. Pasar luar negeri pun kabarnya kerap membeli belut dari negeri kita. Mereka konon lebih menyukai belut asap. Hmmmm, ini memang lebih menyehatkan sih dibanding jika digoreng.

Di Purbalingga, meski sepertinya baru satu warung tenda belut, namun tak pernah sepi pengunjung. Inilah awal perkenalan (kembali) dengan belut setelah saya urbanisasi dari dusun kecil itu. Rasanya memang agak beda. "Sebenernya yang gurih itu belut sawah", kata anak muda yang diawal saya sebut. Dia memang tengah menggeluti usaha jual belut hidup dan sembelihan. Usaha yang terus naik trennya. (Ket foto : Mas Inyong dengan menu belut olahan Dapur Bunda Ficky)

Mas Inyong, begitu ia menyebut dirinya, sengaja berkeliling sampai ke pelosok Bhumi Perwira (bahkan kadang nyebrang Kabupaten) untuk mendapat belut sawah yang dicecarnya. "Biasanya ukurannya kecil-kecil. Saya beli dari hasil orang-orang ngobor", tambah dia. Ada pula yang ukuran besar seperti halnya ular. Namun sangat terbatas jumlahnya. Dan dengan tingkat kepraktisan manusia jaman sekarang, dia pun menerapkan layanan delivery order. "Dalam kota (Purbalingga) minim 1/2 kg. Pinggiran minim 1 kg. Kabupaten tetangga ya minim 3 kg lah. Pesennya minim sehari sebelumnya, kecuali dalam kota", terangnya. Harganya pas saya cek sih lebih miring ya. Lumayan kan bisa hemat tapi tetep sehat.





Tipsnya adalah maximal 4 jam sejak penyembelihan belut harus langsung diolah agar aroma tidak berubah. Atau segera simpan di freezer dalam kemasan rapat kedap udara. "Ini bisa bertahan sampai 5 hari", terangnya. (Foto koleksi pribadi Mas Inyong)

Dengan menggandeng Dapur Bunda Ficky, Belut Mas Inyong mengundang saya dan beberapa insan radio untuk mencicipi bermacam menu. Beruntung kali ini Rica-rica belut-nya masih bisa ditoleransi.

Tidak terasa pucuk tumpeng dipiring saya dengan lauk tonseng belut, rica-rica belut, belut sambel ijo dan belut teriyaki (iki lawuhane gur sa'sendok per menu lho) sudah ludes. Mungkin mereka sudah sibuk arisan manis dalam perut. Sore itu pun berakhir. Menyisakan aroma kenangan sambel belut yang dibakar di tungku rumah Eyang saat kecil.

Komentar