9 Maret belum
lama berlalu. Namun timeline saya kali ini sepi dari ucapan “Selamat Hari Musik
Nasional”. Nyangkut di
tenggorokan-kah kalimat ini ? Atau justru bingung. Tak tau harus bahagia atau nelangsa
dengan bermacam karya yang wara-wiri di radio, TV atau portal download gratisan
belakangan ini ? Eh, siapa saya kok sok-sok-an
ngomongin musik. Musisi bukan, pemerhati musik bukan, wartawan musik juga
bukan. Lalu ? Saya hanya ingin berbagi sesuatu yang cukup mengganggu pikiran.
Saya ingat betul,
bahwa saya baru mengenal lagu dewasa saat berseragam putih biru. Sejak itulah
kami (saya & teman satu genk) gegayaan ngefans solois atau grup Manca.
Tujuannya biar dicap jago pelajaran Bahasa Inggris-nya. Okay, lagipula saat itu
saya merasa bingung dengan nama-nama grup yang muncul dari dalam negeri. Karena
sebagian besar masih merupakan favorit Pakle-Bulek. Mosok ngefansnya samaan
orang tua. Mosok harus ikutan mereka koor “Kamulah
satu-satunya,..”. Tau sendiri kan ABG labil, sedang mencari sosok idola
baru. Jadilah grup macam The Corrs, The Moffats sampai boyband yang kini nggak
ada bekasnya kami idolakan. Wajar sih, toh yang begini juga berlaku kok sampai
sekarang.
Barulah jelang
SMA, saya berani menunjukkan selera yang sedikit berbeda. Tidak lagi keminggris. Saya suka NAIF! yang retro,
ngefans berat Psychadelic Hip Hop Rhytmic-nya Funky Kopral yang (waktu itu)
baru sebatas baca saja diskografinya di majalah, tergila-gila gayanya Erwin
Moron (dulu dreadlock nggak berarti reggae, Man), Nugie & Yuke PAS Band.
Atau terngiang-ngiang suara khasnya Ipang Plastik. Apa yang membuat saya
berubah ? Salah satunya adalah media yang memang mendorong selera saya beralih.
Dulu ABG angkatan saya banyak dicekoki majalah remaja legendaris yang bergaya
sangat metropolis. Radio dan televisipun sangat selektif memilih playlist. Dan
tren ini bahkan berlaku bagi kami yang tinggal di kota kecil seperti
Purbalingga ini.
Belakangan,
ketika di”daulat” (secara paksa) mengisi
(lagi) posisi Divisi Musik sebuah media lokal, saya merasa menjadi sosok antah
berantah. Anak-anak muda yang saya harap mampu memberi saya referensi baru
musik Indonesia yang luar biasa berkembang (buktinya
: sekarang
nama labelnya banyak bangeeeettt), malah membuat saya bengong. Lirik vulgar
dalam balutan hingar bingar night club banyak diminati. Musik super mellow
dengan lirik penuh keputus-asaan (dan
kadang berbahasa aneh) semakin dinyanyikan. Notasi dan cengkok yang mirip
terdengar dimana-mana. Saya tidak paham, apakah ini hanya berlaku di kota tempat
saya tinggal saja ? Saya pun jadi senyam-senyum berasa salah dunia ketika
melihat koleksi lagu hasil download gratisan (STOP PEMBAJAKAN dong Guys !!) di ponsel pintar mereka. Waktu
ditanya tau dari mana ada lagu baru
begitu ? Dengan enteng mereka menjawab, “Nonton
sinetron dong Mba,..”. Dududududu, padahal jaman dulu soundtrack sinetron
tidak selalu bisa direquest di radio lho. Lagu tema serial remaja yang paling
beken dan bisa direquest ya kayaknya “KITA” – SO7 (LUPUS MILENIA) deh.
Saya bukannya
sedang mengkotak-kotakkan musik. Tidak. Sejak pertama bergabung di Divisi
Musik, 10 tahun lalu, saya justru terbuka pada bermacam genre. Bahkan sudah
bukan lagi masalah jika ada “Gendhingan” mengalun di ruangan kerja saya. Selama
ada dalam daftar koleksi kantor, minimal sekali pernah saya dengarkan. Tapi
ketika liriknya mengganggu, reflex tangan saya gatal ingin mendelete-nya.
Sambil berharap KPI segera mengirim surat berisi pembatasan atau pelarangan karya
tersebut. Musik Indonesia memang sudah menjadi raja di negerinya sendiri.
Bahkan sekarang sangat banyak media radio yang tidak memutarkan karya Manca.
Tapi, kalau keberuntungan itu dirusak dengan lolosnya karya-karya yang
(terutama dari segi lirik) bikin “ngeri”, gemana dong jadinya ? Semestinya kita
ingat, musik bis amenjadi slaah satu saranan komunikasi yang efektif. Jadi,
sebagai pendengar & pecinta karya Indonesia, seleksi telinga kita untuk
hanya mendengar musik Indonesia berkualitas.
Komentar
Posting Komentar