Belakangan
ini orang-orang heboh ngomongin batu
klawing. Bahkan anak-anak SD pun ikut keranjingan menyusuri sungai hanya untuk
mendapatkah sebongkah batuan unik khas dengan motif dan warna-warninya yang
cantik. Dan seperti terhipnotis tren, saya pun iseng ikutan memajang di sosmed beberapa
koleksi milik teman-teman sekantor yang memang tengah gila batu klawing. Hasilnya
? Meski hanya like this yang terbaca, namun saya tau satu dua barang sudah
berpindah kepemilikan dengan harga yang mencengangkan.
Kalau tidak salah ini yang disebut Nogosui atau Batuan Darah Kristus
Nah,
seketika saya pun teringat. Tiga tahunan lalu, saya sempat “main-main” ke Limbasari bersama seorang
teman jurnalis (halo mba Engky) dan seorang arkeolog (Adi Purwanto) di kota
Perwira ini. Awalnya, kami hanya ingin menengok salah satu lahan yang dulu
pernah menjadi lokasi penelitian Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak. Namun
lama-lama saya pun iseng memunguti beberapa pecahan batuan rijang yang terlihat
cukup banyak di sekitar sungai. Nah, bebatuan rijang atau jesper ini awalnya
digunakan sebagai bahan dasar pembuatan gelang batu yang banyak ditemukan di
Purbalingga. Dan ternyata, ada beberapa warga di sekitar Sungai Tuntunggunung ini
yang pada saat itu sudah berprofesi sebagai penambang bebatuan warna-warni
tersebut. Bahkan ternyata pria setengah baya yang saya lupa namanya ini
bertugas menyetok batu untuk sebuah gerai perhiasan di Bandung Jawa Barat. Saya
yang tadinya mau iseng-iseng bawa pulang serpihan batunya jadi mundur teratur.
Takut disuruh bayar, hahahaha.
batu jesper yang saya ambil di S. Tuntunggunung saat itu
batu jespernya berubah bentuk setelah dibawa adek pulang ke Bogor
Tidak
disangka kini bebatuan dari sungai manapun di Purbalingga terus diburu. Dengan
harga yang luar biasa pula. Dari yang tanpa motif seharga Rp. 20.000,- s.d.
yang kualitas festival dengan harga milyaran. Bahkan komunitas bebatuan Klawing
pun terus bermunculan.
Saya tidak punya koleksi batu klawing, hanya foto di lokasi S. Klawing saja yang saya punya :)
Selama
ini bebatuan Klawing lebih banyak digunakan sebagai batu cincin atau liontin.
Namun karena ukurannya yang masih terbilang besar buat saya, sampai hari ini
sayapun masih belum terpikir untuk memakainya. Habis sering pada bilang ukurannya mirip cincin Tessy sih… Mungkin
kalau dibentuk gelang baru deh saya terpikir pakai. Mungkiiiiiin sih. Hehehe. Okay,
balik lagi ke batunya nih. Saya memang bukan seorang ahli dalam hal ini, entah
secara ilmu pengetahuan ataupun secara ilmu perbatuan (hahaha, maksudnya?),
makanya saya tidak bisa memberikan informasi banyak terkait karakter bebatuan
ini. So ? Yaaaaa, saya juga lagi mikir mau
nulis apa (sambil garuk-garuk kepala).
Okay
deh, begini… ada beberapa hal yang saya ingat terkait dengan kata kunci “batu
klawing” ini. Pertama, sekitar Agustus 2014 lalu, bersama beberapa teman, saya melewati
Sungai Gintung. Siang itu sungainya cukup ramai. Beberapa pria terlihat membawa
keranjang pikulan berisi bebatuan. Teman-teman yang tengah kalap dengan batu
langsung saya meminta berhenti. Tujuannya adalah ikut menambang batu. Namun
belum juga kami turun mereka dengan sopan meminta kami pulang saja kalau tujuan
kami memang mencari batu. Dalam hati saya bersorak, karena artinya saya tidak
akan pulang kesorean. Tapi beberapa teman tampak meradang. Dan sebelum adegan
saling ngeyel terjadi, saya memilih bertindak sok pahlawan dengan mengatakan, “Saya cuma mau motret kupu-kupu, Pak”. Tentu
saja diikuti adegan berjongkok di dekat sungai dan membidik seekor kupu-kupu
kuning tak berdosa yang menjadi tameng rasa malu kami. Dalam hati sayapun
menyimpan tanda tanya besar, sampai akhirnya seorang teman, yaitu mas Aris dari
Vertical Indonesia mengatakan bahwa semua ini berkaitan dengan Perdes yang
telah dibuat untuk desa-desa wisata di Purbalingga. Oooooohhh syukurlaaah,… tapi….
saya kok kuper amat ya sampai ngak tau ?
Katanya sih bermotif Gn. Slamet, haha... bukan hak milik kok, hanya hak motret saja
mirip steak atau pulau ya ? hehe... bukan hak milik juga
Nah
terjawab sudah teka-teki kejadian pelarangan penambangan batu oleh orang asing.
Yang kedua, dengan semakin naiknya pamor batu Klawing otomatis harganya pun
semakin mahal. Orang-orang berlomba mencari bebatuan jenis ini dimanapun.
Masalahnya, mencari di sungai tak lagi semudah dulu. Hasilnya, ada yang nekat
membongkar pondasi rumahnya demi Rupiah yang tercipta dari bebatuan khas ini.
Mirisnya lagi, ada yang nekat mencongkelnya dari badan jalan yang terkelupas. Mau
saya ingatkan, tapi saya juga nggak punya dasar apapun. Mungkin kalau jalan
yang berada diatas sebuah sungai ini (haiyo dimana ya jalannya?) ambruk barulah
terasa.
(Foto sekedar ilustrasi)
Nah,
hebohnya bebatuan ini mengingatkan saya pada era kejayaan tanaman senthe
(keladi) wulung ataupun gelombang cinta. Adegan memberi lotion pada daun sampai
pencurian tanaman berharga mahal itu marak terjadi. Yang perlu kita pikirkan
adalah bagaimana kalau bebatuan inipun hanya tren ? Yang artinya hanya
sementara saja ? Tidak semestinya juga kan kita sampai nekat melakukan apapun
demi sebongkah batu yang (memang mungkin) bisa menghasilkan uang untuk kita.
Mari bijak dengan semua tren yang ada.
Komentar
Posting Komentar