Langsung ke konten utama

Mencari Rasa Dari Secangkir Kopi


Kopi instan. Mendengar ini yang saya pikirkan adalah : minuman berwarna cokelat muda dengan aroma campuran susu, kopi, cokelat. Bukan sebuah minuman favorit. Eits,.... Ralat. Tepatnya sudah bukan lagi favorit.

Belasan tahun silam,  saat masih berseragam putih abu-abu kopi isntan adalah pelengkap untuk dicap keren. Tentu saja selain harus menjadi pengurus OSIS, anak band, dan bisa main basket. Dan stempel keren itulah yang membuat saya akrab dengan kopi instan. Bahkan sampai memasuki dunia kerja. (gambar diambil dari sini)

Jangan pernah mengartikan semua kebiasaan itu membuat saya menjadi penggila kopi. Tidak. Saya meminumnya hanya ketika menginginkannya. Bisa jadi setiap hari, dua kali sehari atau bahkan sebulan sekali. Ikut mood saja. Tujuannya adalah biar saya mendapatkan rasa seperti yang tertera dalam bungkus sachetnya. Karena buat saya, sebenarnya semua rasa kopi instan adalah sama. Paling hanya tingkat manisnya saja yang sedikit berbeda. Itupun tipis. Emmm, ini mungkin karena saya tidak punya kemampuan mengecap yang baik. Jujur, saya memang tidak bisa membedakan rasa makanan. Bagi saya semua enak. Tidak tau mana yang tidak enak atau mana yang enak sekali. Standar saya hanya perut yang menerima atau memuntahkannya.

 Gambar diambil dari sini



Begitupun kopi instan. Dan inilah yang menjadi alasan saya untuk kemudian tidak memilih merk tertentu. Sayangnya aktivitas "gegayaan" dengan kopi instan harus diakhiri sepihak setelah saya menderita gangguan lambung.  Bertahun-tahun kemudian saya tidak pernah sedikitpun menyentuh kopi.  Sampai akhirnya aroma yang merasa membuat saya "keren" itu kembali menggoda.


Bukan secangkir kopi instan dengan paduan rasa cocoa dan susu yang lembut. Hanya segelas kopi hitam panas dipadu dengan aroma hijaunya sawah yang membumi.  Senikmat itukah kopinya ? Saya tidak paham. Karena saya tidak berani mengusulkan acara join kopi. Yang saya rasa adalah semacam aroma yang pahit, berat, sedikit gosong, manis, nggak terlalu manis sih... tapiii.... apa ya ? Kok sulit untuk dideskripsikan. Mungkin udara persawahan juga mempengaruhinya menjadi lebih mellow. Ah !! Ya, aromanya kok mellow dan romantis ya ? Halllaaaahhh. 

Seperti menangkap ketakjuban saya, si pemilik segelas kopi ini berkata, "Kalau tidak pernah ngopi, coba saja kopi hitam pakai garam sedikit , supaya tidak enek". Garam ya ? Seketika yang terpikir adalah oralit rasa kopi. Hahaha.

Sampai rumah saya tidak langsung mencoba sarannya. Saya takut. Takut melukai citra kopi yang smooth dan romantis di ingatan. Iya kalau memang rasanya masih bisa disebut "not bad". Kalau ternyata malah justru bikin (sangat) enek. Uuuuuh, nggak deh. Berbulan-bulan, seperti prajurit yang berhasil memecah formasi labirin, keinginan minum kopi tak lagi terbendung. Hanya 3/4 cangkir.  Dengan tambahan sejumput kecil garam.

Seperti merapal mantra, mulut malah tak berhenti komat-kamit sebelum satu tegukan mengalir pelan di kerongkongan. Rasa kopi yang berbeda. Tidak saya kenal. Aromanya yang berat sebanding dengan rasanya yang tebal. Warnanya yang pekat membuat saya merasa menjadi seorang yang berbeda. Yang diotak saya saat itu adalah, "saya bukan lagi anak kecil yang cengeng, juga bukan lagi remaja sok cantik yang langsung ngedrop ketika diputusin". Tegukan berikutnya membawa saya pada sederet ide kreatif yang langsung membuat saya melompat mencari notes dan pena. Selanjutnya dengan sangggat pelan, saya mencoba menyesap dan menahannya di mulut. Merasakan setiap pahitnya luruh perlahan menjadi manis yang tipis. Tegukan ketiga ini ternyata malah membawa saya pada sebuah gambaran masa depan yang harus saya bangun bersama seseorang dengan segala kesiapannya tanpa main-main lagi. Dan...... berikutnya, saya hanya merasakan ada ampas yang terbawa. Habissss.. Padahal saya merasa ada sesuatu yang belum selesai. Dan sejak itulah saya selalu berupaya mencari kepingan yang hilang dari tegukan terakhir pada cangkir-cangkir kopi hitam (yang sudah tanpa garam) berikutnya. Meski tak juga saya temukan. Bonusnya, setelah minum kopi hitam plus garam untuk pertama kalinya tak ada gejolak di lambung yang menghadirkan gas. Semua aman. Entah garamnya, entah sensasinya, entah sugestinya.

Tapi jangan pernah tanyakan seberapa level kenikmatan kopi yang saya teguk. Karena saya masih tetaplah bukan “perasa” yang baik. Saya tetaplah peminum kopi yang angin-anginan. Namun dari kedua kopi ini, sepertinya saya menemukan adanya kesamaan. Yaitu rasa. Jika kopi instan merk apapun rasanya sama persis, sedangkan kopi hitam kerap menghadirkan (pe)rasa(an) yang sama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...