Langsung ke konten utama

RUMAH KELUARGA MO YONG DI EX MARKAS TENTARA BELANDA GANG MAYONG

Seperti kita ketahui bersama, Belanda bisa dibilang hampir menduduki sebagian besar wilayah Nusantara. Begitu pula dengan Poerbolinggo. Di kota ini beberapa bangunan peninggalan kolonial berusia ratusan tahun masih tampak kokoh berdiri. Sebagian ada yang milik Pemkab, namun tidak sedikit pula yang hak milik pribadi. Seperti ex- markas tentara Belanda di Gang mayong Purbalingga ini. Tepatnya di RT 3 RW 3 no 6 Purbalingga Lor.



GEDUNG MALARIA

Tidak banyak yang mengetahui jika bangunan yang terletak di sebelah GOR Mahesa Jenar ini adalah ex- markas tentara Belanda. Beberapa orang berusia 70 tahuan yang saya temui lebih mengenal tempat ini sebagai gudang penyimpanan alat fogging malaria. Diperkirakan saat itu mereka menggunakan sistem sewa untuk menempati bangunan tersebut. Karena sejak awal gedung ini memang dikenal milik perorangan.




Menurut penjaga gedung , Sukardi, bangunan yang bernomor asli 4 ini diperkirakan dibagun pada tahun 1920 - 1921. Sejak awal tidak banyak perombakan terjadi. Bentuk atapnya tetap limasan, tidak bertingkat, memiliki pilar tinggi, jendela lebar, dua daun pintu, kaca grafir pada jendela sampai kran dan talang air besi peninggalan kolonial masih terpasang rapi.




 
TIDAK BOLEH ASAL FOTO

Bersama salah seorang teman yang tengah mencecar gedung ini untuk difoto, siang itu kami mengunjungi gedung yang sering terlihat lengang ini. Beruntung keramahan Pak Sukardi membuat kami cukup nyaman.

Sukardi mengungkapkan jika selama dia menjaga, beberapa kali sekelompok fotografer luar kota datang untuk melakukan sesi pemotretan di tempat ini. Hal itulah yang membuat Sukardi pun tidak segan mengajak kami berkeliling area gedung sambil berbagi cerita.

"Monggo saja gedung Belanda-nya mau dift dari mana saja, yang penting rumah dapuran Cina dan pohon mangga-nya jangan sampai kena", ujar Sukardi beberapa kali mengingatkan saat kami memotret.

Ya, disebelah bangunan ex- markas tentara ini memang terdapat rumah kayu yang katanya semula adalah dapur. Menurut Sukardi, dahulu leluhur majikannya adalah koki atau juru masak di Markas Belanda ini. Sang juru masak adalah keturunan atau bahkan orang Tionghoa asli, sehingga rumah dapur itupun dibuat bergaya oriental. Dan setelah masa pendudukan Belandaberakhir, bangunan ex- markas itupun berpindah tangan menjadi milik sang juru masak.

SUMUR MESIU

Kembali ke bangunan sisa kolonial tadi, gedung ini memiliki luasan sekira 320 ubin. Mempunyai 13 kamar dimana salah satunya masih difungsikan sebagai kamar utama. Meski sudah tidak lagi ditempati, namun gedung ini terawat dengan baik. Hanya instlasi listrik di gedung ini sengaja diputus karena tak berpenghuni. Meski demikian, sang pemilik sesekali singgah sehingga kamipun hanya diijinkan melihat gedung ini hanya dari luar.







Di halaman belakang terdapat sisa barak yang seluruh jendela, saka dan pintunya sudah dijual. Diantara markas dan barak terdapat sumur kecil yang sudah ditutup. "Isinya sisa-sisa mesiu dan granat punya Belanda, tapi sudah aman kok", ujar Sukardi.





Dari halaman belakang ini kami diajak ke sisi sebelah kanan gedung. Bermacam tanaman cukup rimbun memenuhi lahan yang diujungnya juga terdapat makam beberapa tentara Belanda. Entah siapa nama yang dimakamkan, karena kami tidak diijinkan mendekat. Sukardi menyebut jika terdapat dua makam disana. Sementara dari arah luar makam ini tidak terlihat karena tertutup pagar hijau yang sengaja ditanam sejak awal.








 
MO YONG

Sukardi mengatakan jika rumah ini dimiliki oleh keluarga Mo Yong. Tidak dijelaskan siapakah Mo Yong ini. apakah sang juru masak atau keturunannya. Sukardi hanya menyebut jika anak cucu Mo Yong tinggal di Bogor dan Jakarta.






 
Mengapa perihal Mo Yong menggelitik saya? Hal ini dikarenakan gedung ini berada di jalan yang terkenal dengan sebutan Gang Mayong. Adakah kaitannya ? Sepertinya masih perlu penelusuran yang lebih jauh lagi ya.

(matur nuwun buat Pak Sukardi sudah mengantar kami berkeliling)


Komentar

  1. ada yang baru di http://langgamlangitsore.blogspot.com/2014/10/bangunan-ini-ada-sejak-masa-kolonial-di.html

    BalasHapus
  2. kak yang tentang mo yong ga dilanjutin soalnya saya juga lagi penelitian ttg rumah itu kak hehe makasih

    BalasHapus
  3. Belum sempet mas Fajar.. hehe.. kerjaan kantor masih numpuk. Monggo lho kalau mas Fajar berminat meneruskan. :)

    BalasHapus
  4. Bagi yang penasaran mengenai Mo Yong & Kwee Lie Keng sila dapat membuka tulisan Mas Jatmiko Wicaksono BHHC melalui link https://www.banjoemas.com/2020/04/rumah-kwee-lie-keng.html?m=1

    Semoga bisa menjawab rasa penasaran sesiapa yang sempat nyasar ke blog ini nggeh.
    - Anita W.R. -

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah sat

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma