Kembang
Wijayakusuma itu misterius. Mekarnya bikin orang serumah sirep. Memang “kekuatannya” yang bisa membuat kami kena sirep atau pada dasarnya kami sudah
ngantuk berat, tidaklah diketahui pasti. Yang pasti itulah yang terjadi saat
jelang mekarnya Wijayakusuma beberapa waktu lalu.
Kembang
cantik berwarna putih ini dikenal akan mitosnya. Bahkan disebut-sebut sebagai
salah satu syarat bagi calon Raja yang akan naik tahta di Keratonan Jogja-Solo.
Adapula seorang teman yang menyebut, jika Queen
of the Night ini ditunggu seekor macan. Sehingga sangat tidak mudah untuk
bisa menyaksikan mekarnya yang hanya beberapa menit saja. Apapun (kata orang)
itu, saya pribadi memang menunggu mekarnya bunga cantik berwarna putih ini.
Saya
harus menunggu hampir sebulan untuk melihat bakal bunganya ini siap untuk
mekar. Jelang senja adalah waktu yang bisa menjadi penanda kapan ia mekar. Saat
kelopaknya mulai terlihat gendut, artinya malam nanti ia siap untuk menebarkan
aroma harumnya. Atau “tunggulah malam
Jumat” nasihat seorang tetangga yang bolak-balik mekar koleksi
Wijayakusumanya.
Kebetulan
waktu itu bertepatan dengan malam Jumat Kliwon. Sejak sore saya sudah menunggu
bunga asli Venezuela (dan Caribia) ini lengkap dengan secangkir kopi no sugar.
Berharap kafein-nya bisa menahan kelopak saya tidak menutup dulu. Memang sejak
sedikit terbuka ujung kelopaknya, kembang bernama latin Epiphyllum oxypetalum ini
sudah mulai mengeluarkan aroma khas bunga berwarna putih. Sepintas ia
mengingatkan saya pada keharuman Bakung putih yang tajam. Beginikah
keharumannya ? Agak sedikit diluar expectasi saya. Tapi sudahlah, mari nikmati prosesnya.
Saya
pikir bisa menyaksikan sedikit demi sedikit proses “pembukaan” (kelopak)nya
adalah suatu keberuntungan. Bagaimana tidak ? Wong nggak semua rumah nanem
bunga jenis kaktus-kaktusan ini kok. Meski tanpa DSLR yang canggih, setiap
sudut kembang yang dibawa oleh para pedagang China pada jaman Majapahit ini
seperti halnya fotomodel nan elok. Saya suka benang sarinya yang mirip taman
menuju sebuah lorong, saya suka setiap gerak tari kelopaknya yang mekar satu
per satu dan menghasilkan irama tersendiri, saya bahkan jatuh cinta pada setiap
angle-nya.
(inilah posisi paling mekar yang saya temui)
Tak
mau kehilangan moment, kami pun terpikir memindahkannya ke dalam rumah.
Untungnya bunga ini ditanam dalam pot, jadi mudah saja menggeser posisinya. Sayangnya
kafein yang terdapat dalam kopi hitam saya kali ini tak mampu menujukkan
khasiatnya. Sekitar pukul 23.00 WIB, hening menggiring saya dan keluarga dalam
suasana alam mimpi yang tak bisa diganggu gugat.
Ia
yang disebut sebagai Bakawali di Tanah Melayu, Keng Hwah di Tiongkok atau
Dutchman’s Pipe dan Kardable di Inggris inipun berlalu meninggalkan tengah
malam dengan keharuman lembut yang membangunkan saya. Wanginya sangat berbeda dari sebelumnya. Mirip keelokan aroma anggrek namun lebih mempesona. Saya sempat berpikir ia
belum mekar sempurna karena bentuknya masih sangat mirip dengan satu jam
sebelumnya. Hanya posisinya yang lebih menunduk membuat saya tersadar jika
Queen Of Midnight ini sudah mulai layu. Huuuffftttt.... Apakah keberuntungan
saya jadi tidak sempurna ? Ah, tidak. Saya masih sangat beruntung, karena saya
tak jadi ngantuk di kantor akibat begadangan. Hehe, kan jadi nggak diomelin Ibu
Bos....
Komentar
Posting Komentar