Langsung ke konten utama

Gugurnya Kembang Waru Saat Senja


#NP : Ihsan Tarore ft Dira Sugandhi – Bawalah Aku Kembali

........ tiada tempat yang paling indah selain rumah, 
tiada masa yang lebih indah selain bersama mereka yang tercinta..............

Tanpa sadar alunan salah satu soundtrack film ini menggiring saya untuk segera meluncur ke sebuah dusun tempat saya melewatkan separuh masa kecil. Beberapa kenangan pun berkelebatan. Mulai dari menangkap buah-buahan yang dilemparkan sepupu-sepupu saya yang memanjat pohon, berlarian di sepanjang pematang sawah, bermain di sungai, mengeriting rambut dengan tangkai daun waru sampai tebak-tebakan warna kembang waru.

 
Ya, kembang waru ini memang jadi favorit saya dan sepupu ketika ngumpul. Tangkai kembang bernama latin Hibiscus tiliaceus L. ini akan menempel semalaman di kepala dan baru akan dilepas keesokan paginya. Taaaarrrrrraaa, rambut kecoklatan kami pun akan menjadi lebih berombak dibanding biasanya. *Kemayu. Atau di satu waktu kami pun akan diam-diam berlarian ke pinggir sungai untuk memungut daun kembang waru sungai yang berukuran lebih besar dan kami jahit sekenanya untuk menjadi tas properti bermain. Daunnya yang berbentuk seperti jantung dengan gerigit ini kadang kala juga kami temukan sebagai pembungkus nasi oleh-oleh kondangan. Dan yang seru lagi adalah tebak-tebakan warna kembang waru, yang baru saya ketahui belakangan jika warnanya memang selalu berubah seiring waktu.

 foto ini diambil dari id.wikipedia.org

 foto ini diambil dari ml.scribd.com




Saya dan sepupu memang sering menemukan kembang waru berwarna merah tergeletak di tanah tapi tidak demikian dengan yang nempel di atas pohon. Ada yang berwarna putih ada juga yang kuning atau bahkan kadang berwarna jingga. Ternyata tanaman perdu ini memang unik. Dia adalah jam biologi. Kembang waru akan berwarna kuning seperti halnya pagi yang cerah, atau berubah menjadi jingga saat panas menjelang dan kemudian berganti menjadi sehangat senja yang merah. Dan seperti halnya hidup, sesudah menjadi merah, kembang ini bersiap untuk segera gugur saat matahari terbenam. Bahkan katanya, jika tak sempat gugur pada senja ini, kembang waru akan menunggu senja esoknya untuk kembali ke bhumi. Keistimewaannya inilah yang membuat masyarakat Sasak Lombok memiliki tradisi unik Pujawali - Rarak Kembang Waru yang digelar setahun sekali pada purnama ketujuh kalender Sasak. Dan juga adat Taek Lauk Taek Daya (Karang Bajo, Bayan , Lombok Utara) yang diadakan hari Kamis atau Jumat minggu pertama setiap bulan Rajab. Puncak dari adat ini adalah gugur atau rontoknya kembang waru. Gugurnya kembang ini mengartikan juga bahwasannya hidup pasti silih berganti. 


............bawalah aku kembali ke masa kecilku dulu. 
dan biarkan ku kenang rasa itu sebagai pelepas rinduku...................

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...