Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2015

ALUN-ALUN PURBALINGGA

" Ana Ndara Kanjeng, nyembah.. nyembah ", kenang Mbah Jupri saat diajak berbincang seputar Alun-alun Purbalingga (oleh : Anita W.R.). Memori masa kecil pria sepuh yang dikenal sebagai penjual dawet keliling ini berbeda jauh dari apa yang saya temui dua dekade silam. Tak hanya jaman yang berubah, nilai Alun-alun sebagai tradisi Nusantara pun seolah menguap. Kini kita melihatnya semata hanyalah taman luas di pusat kota yang dikelilingi Kantor Pemerintahan, Masjid, Pasar dan Penjara. Alun-alun memang sangat identik dengan pusat kota. Bahkan Alun-alun sudah menjadi salah satu identitas bagi kota-kota di Pulau Jawa yang berlangsung sejak masa Pra-Kolonial. Secara pasti kapan dan dimana Alun-alun pertama dibentuk memang tidak ada catatannya. Namun menurut informasi yang bersumber dari Wacananusantara.org, pada rentang abad ke-13 sampai 18 atau pada masa Majapahit hingga Mataram, Alun-alun selalu menjadi bagian dari suatu kompleks Keraton. (Ket foto :

17-8-2015

Ada sesuatu yang berbeda di peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia kali ini. Satu yang paling jelas terlihat adalah pementasan drama tari kolosal perjuangan yang dihelat di banyak wilayah di negeri kita. Tak ketinggalan Purbalingga pun menampilkan kisah perjuangan menuju detik-detik Proklamasi dan perjalanan Panglima Besar Jendral Sudirman dalam Serangan Umum 1 Maret. Sebanyak 200 pemeran dipersiapkan sejak seminggu sebelum peringatan detik-detik Proklamasi digelar di Alun-alun Purbalingga. Mereka terdiri dari pelajar dan pengajar SMP N 3 Purbalingga, SMA N 1 Purbalingga, SMK Penerbangan, Kodim 0802, Polres Purbalingga dan Lanud Wirasaba. Sutradara drama kolosal, Serma Waluyo yang ditemui saat briefing akhir di halaman Pendopo Dipokusumo mengungkapkan harapannya melalui aksi teaterikal ini. " Semoga generasi muda bisa lebih memaknai lagi perjuangan para Pahlawan yang telah mengorbankan jiwa dan raga demi kemerdekaan Indonesia

KAMPEL WANGON

Musim dingin ini memaksa kita untuk terus dan terus mengunyah agar tak kehilangan panas tubuh. Selain menu-menu berkuah, jenis gorengan pun tak ketinggalan disajikan sebagai teman minum kopi atau teh panas. Salah satu yang bisa jadi pilihan adalah Kampel. Ya, atis-atis ya cocoke kampelan (*) . Haaaiiiizzzzz.....  Tak pelak ocehan seorang kawan asli Ajibarang ini memancing keriuhan. Otak-otak mulai berputar mencari topik yang lebih hangat lagi. Hahaha.. Bicara soal Kampel, inilah menu khas daerah Wangon, Banyumas. Salah satu marga gorengan yang malah mengingatkan saya pada sandwich. Rotinya adalah irisan ketupat, inti atau isinya diganti dengan dage dan sausnya menggunakan sambal ulek yang pedesssss. Susun sandwich khas Wangon ini dengan rapi dan celupkan ke adonan tepung goreng dan.... sreeeeenngg. Suapan pertama Kampel ini terasa aneh dimulut saya. Ada efek kenyal dari ketupat yang berpadu dengan rasa khas dage yang manis-gurih-pahit plus sambelnya yang pedes. Tapi selanju

BINTANG JAHE vs PERMEN JAHE

Lihat bedanya. (Cek foto dibawah) Secara bentuk sudah terlihat jelas yach. Namun kini semua sama-sama menyebutnya sebagai permen jahe. Sementara dulu jaman kecil, warung-warung masih menjualnya dnegan label berbeda. Yaitu permen jahe dan bintang jahe. Bintang jahe terbuat dari campuran jahe parut, ampas kelapa dan gula gemblung. Ups !! Apa maksudnya gula kok disebut gemblung segala ? Gula gemblung ini merupakan adonan gula merah atau gula Jawa yang tidak bis apadat dengan sempurna. Bisa jadi karena bahan dasarnya atau prosesnya yang kurang pas. Sehingga menghasilkan tekstur yang lengket – mulur- seperti karet. Makin gemblung gulanya, makin bagus bintang jahe-nya. Sejak kapan ini ada, tidak diketahui pasti memang. Hanya saja mengingat bahannya yang masih sangat alami, sepertinya ini sudah berlangsung turun temurun. Ada juga yang menamainya jenang jahe. Sekarang, bintang jahe, meski tak berlabel sudah tampil lebih higienis dengan kertas pilus warna-warni sebagai pembungkusnya.