Langsung ke konten utama

BINTANG JAHE vs PERMEN JAHE

Lihat bedanya. (Cek foto dibawah) Secara bentuk sudah terlihat jelas yach. Namun kini semua sama-sama menyebutnya sebagai permen jahe. Sementara dulu jaman kecil, warung-warung masih menjualnya dnegan label berbeda. Yaitu permen jahe dan bintang jahe.

Bintang jahe terbuat dari campuran jahe parut, ampas kelapa dan gula gemblung. Ups !! Apa maksudnya gula kok disebut gemblung segala ? Gula gemblung ini merupakan adonan gula merah atau gula Jawa yang tidak bis apadat dengan sempurna. Bisa jadi karena bahan dasarnya atau prosesnya yang kurang pas. Sehingga menghasilkan tekstur yang lengket –mulur- seperti karet. Makin gemblung gulanya, makin bagus bintang jahe-nya. Sejak kapan ini ada, tidak diketahui pasti memang. Hanya saja mengingat bahannya yang masih sangat alami, sepertinya ini sudah berlangsung turun temurun. Ada juga yang menamainya jenang jahe. Sekarang, bintang jahe, meski tak berlabel sudah tampil lebih higienis dengan kertas pilus warna-warni sebagai pembungkusnya. Hehe, dulu jaman kecil bintang jahe ini hanya dibungkus kertas sisa modul yang lengkap dengan tinta print-nya. Duuuhhhh..

Permen jahe tradisional yang ada di daerah saya umunya terbuat dari perasan jahe, gula pasir dan sedikit tepung pengental. Legitnya gula pasir yang dikaramelisasi akan berpadu dengan pedasnya jahe yang semriwing. Dan agar lebih yupi, ditambahkan adonan tersebut dengan pati agar bisa dibentuk. Dan inipun masih ditambahi taburan gula pasir disekelilingnya, hingga terasa lebih manis dipadnang dan dirasa. Permen jahe ini konon sudah hadir sejak ratusan tahun lalu, bahkan tercatat di buku Island of Java karya John Joseph Stockdale, pelancong berkebangsaan Inggris. Ia menyebutkan, pada tahun 1778 Belanda mengirimkan sebanyak 10.000 pon permen yang juga disebut Candied Ginger ini dari Batavia ke Eropa. Permen ini  beken di Eropa karena bisa menyembuhkan perut kembung. Ket : foto permen jahe diambil heldasnackfood.blogspot.com.


Ya, mau bintang jahe mau permen jahe keduanya sama-sama melegakan tenggorokan kok.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...