Langsung ke konten utama

Elok Pesona Sang Igir

Banyak orang tengah tersihir pesona "igir". Pemandangan indah pun menghiasi tiap akun travellers yang memang menyukai aktivitas mbolang atau mereka yang sekedar ingin disebut kekinian. #Saya? 
•Oleh : Anita W.R.•

Bermunculannya aktivitas wisata alam, membuat tempat-tempat tersembunyi terekspos. Keperawanan yang dimiliki memang membuat semua mata menjadi nyalang untuk merambah eksotikanya. Igir menjadi salah satunya.

Igir adalah istilah yang merujuk pada sebuah tempat pada ketinggian dan terletak paling tepi. Kalau kata sebagian orang di sini ya mirip dengan pereng nanging lewih duwur. Susah ya disulih-bahasakan ? Mungkin istilah tanah di atas tebing bisa sedikit membantu untuk mengenali igir ini. Dan saat berdiri di igir, decak kagum mulai terlontar. Nikmatilah tiap eloknya usai menaklukan perjalanan menanjak yang terkadang bikin hawa nyerah muncul duluan.

Igir mana yang tengah jadi perbincangan hangat di Purbalingga ? Mau yang menawarkan rumah pohon ataupun gardu pantau, yang pasti keduanya sedang menarik perhatian muda-mudi. Foto di sebelah kri saya unduh dari sini

Menikmati igir, acap saya lakukan. Duduk berlama-lama menikmati sepoi sang bayu sembari memandang alam dibawah sana adalah keasyikan tersendiri. Sebelum ini tren, saat berada di igir kecenderungannya kita sendirian saja. Paling banter bertemu penduduk setempat yang berladang atau orang repek*.




Dari igir ini, masyarakat setempat mengatakan jika saya tengah menyaksikan segara wurung. Enaknya, disini masih ada jalan  yang memungkinkan kendaraan lewat. Bahkan angkudes pun sampai. 






Inilah salah satu igir yang pernah saya jamah. Tak ada sesiapa. Dahulu merupakan tanah lapang luas yang hanya ditumbuhi rumput dan beberapa pohon klandingan. Sekarang hampir tak ada tanah kosong. Tumbuhan tinggi menjulang di setiap sisi. Angin besar yang mereka kisahkan pada masa lampau hampir tidak saya temui pada setengah jam pertama. Barulah ketika matahari meninggi saya paham bagaimana dulu tanah di igir ini menjadi favorit untuk bermain ketiran*. Tentu saja sembari menikmati suasana desa di bawah sana dan agungnya Gunung Slamet yang menjulang didepan mata.

Tidak berapa lama saat bergeser di gundukan tanah tertinggi, notifikasi pesan mulai berdatangan. Excited. Berjarak dua desa sebelum sampai lokasi saya sudah kehilangan sinyal. Bahkan sebelum naik punthuk*nya juga masih tak bisa menghubungi siapapun. Bisa dibayangkan bukan bagaimana senang dan takjubnya. Mengingat si punthuk ini tak seberapa kok naiknya. Selain itu yang bikin bahagia banget ya karena bisa langsung pamer DP.

Tak kalah indah, igir ini pun membuat saya betah meski tanpa gumpalan awan mengelilingi. Berada dalam kompleks lahan perhutani, membuat saya tak merasa sendirian. Beberapa warga sedang beraktivitas dengan batang-batang pohon yang dipercayakan pada mereka. "Katanya satu orang boleh ngolah batang-batang itu selama 50 tahun", bisik si pemandu saya pagi itu. 50 tahun ? Apa ini tidak berarti seumur hidup ya, kan kelihatannya mereka jauh diatas usia saya. Ah, entahlah. Mungkin ada kesalahan informasi yang saya tangkap. Karena kalau sampai selama itu, bagaimana nasib hutan kita ? Sekarang saja pohon berusia belia sudah mereka panen. Memang ditanami kembali. Homogen. Yang memiliki nilai jual tinggi saja. Hmmmm,.... begitu ya.

Sesaat mata menangkap deretan pinus nun jauh disana. "Lha kok wis keton kroak maning ya pinesan e*", ujarnya. Saya merasa ada nada kekecewaan dari suaranya. Dan mulailah ia berkisah akan debit air yang tetap kecil bahkan memasuki penghujan. Apa karena air hujan kehilangan akar pegangannya ? Hufffttt, saya tidak mau menduga lebih jauh.

Matahari yang terus bergerak ke titik kulminasi membuat saya ingin segera beranjak. Saya tidak ingin berlama-lama kepincut igir. Takut jadi ingin tinggal disana. Dan takut kemudian malah ikut merusak semua yang alami disana. Karena bagaimanapun saya memiliki jiwa perusak. Saya lhoooo ya, bukan Panjenengan.

Salam


Ket :
* repek = mencari kayu bakar
* punthuk = gundukan
* ketiran = permainan baling-baling 
* lha kok wis keton kroak maning ya pinesan e = kok area pinusnya sudah terlihat berkurang lagi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...