
•Oleh : Anita W.R.•
Bermunculannya aktivitas wisata alam, membuat
tempat-tempat tersembunyi terekspos. Keperawanan yang dimiliki memang membuat
semua mata menjadi nyalang untuk merambah eksotikanya. Igir menjadi salah
satunya.
Igir adalah istilah yang merujuk pada sebuah tempat pada ketinggian
dan terletak paling tepi. Kalau kata sebagian orang di sini ya mirip dengan pereng nanging lewih duwur. Susah ya disulih-bahasakan ? Mungkin istilah tanah di atas
tebing bisa sedikit membantu untuk mengenali igir ini. Dan saat berdiri di
igir, decak kagum mulai terlontar. Nikmatilah tiap eloknya usai menaklukan
perjalanan menanjak yang terkadang bikin hawa nyerah muncul duluan.

Menikmati igir, acap saya lakukan. Duduk berlama-lama menikmati
sepoi sang bayu sembari memandang alam dibawah sana adalah keasyikan
tersendiri. Sebelum ini tren, saat berada di igir kecenderungannya kita
sendirian saja. Paling banter bertemu penduduk setempat yang berladang atau
orang repek*.
Dari igir ini, masyarakat setempat mengatakan jika saya tengah
menyaksikan segara wurung. Enaknya, disini masih ada jalan yang
memungkinkan kendaraan lewat. Bahkan angkudes pun sampai.

Tidak berapa lama saat bergeser di gundukan tanah tertinggi,
notifikasi pesan mulai berdatangan. Excited. Berjarak dua desa sebelum sampai
lokasi saya sudah kehilangan sinyal. Bahkan sebelum naik punthuk*nya juga masih
tak bisa menghubungi siapapun. Bisa dibayangkan bukan bagaimana senang dan
takjubnya. Mengingat si punthuk ini tak seberapa kok naiknya. Selain itu yang
bikin bahagia banget ya karena bisa langsung pamer DP.
Tak kalah indah, igir ini pun membuat saya betah meski tanpa
gumpalan awan mengelilingi. Berada dalam kompleks lahan perhutani, membuat saya
tak merasa sendirian. Beberapa warga sedang beraktivitas dengan batang-batang
pohon yang dipercayakan pada mereka. "Katanya
satu orang boleh ngolah batang-batang itu selama 50 tahun", bisik si
pemandu saya pagi itu. 50 tahun ? Apa ini tidak berarti seumur hidup ya, kan
kelihatannya mereka jauh diatas usia saya. Ah, entahlah. Mungkin ada kesalahan
informasi yang saya tangkap. Karena kalau sampai selama itu, bagaimana nasib
hutan kita ? Sekarang saja pohon berusia belia sudah mereka panen. Memang
ditanami kembali. Homogen. Yang memiliki nilai jual tinggi saja. Hmmmm,....
begitu ya.
Sesaat mata menangkap deretan pinus nun jauh disana. "Lha
kok wis keton kroak maning ya pinesan e*", ujarnya. Saya merasa
ada nada kekecewaan dari suaranya. Dan mulailah ia berkisah akan debit air yang
tetap kecil bahkan memasuki penghujan. Apa karena air hujan kehilangan akar
pegangannya ? Hufffttt, saya tidak mau menduga lebih jauh.
Matahari yang terus bergerak ke titik kulminasi membuat saya
ingin segera beranjak. Saya tidak ingin berlama-lama kepincut igir. Takut jadi
ingin tinggal disana. Dan takut kemudian malah ikut merusak semua yang alami
disana. Karena bagaimanapun saya memiliki jiwa perusak. Saya lhoooo ya, bukan
Panjenengan.
Salam
Ket :
* repek = mencari kayu bakar
* punthuk = gundukan
* ketiran = permainan baling-baling
* lha kok wis keton kroak maning ya pinesan e = kok area pinusnya sudah terlihat berkurang lagi
* repek = mencari kayu bakar
* punthuk = gundukan
* ketiran = permainan baling-baling
* lha kok wis keton kroak maning ya pinesan e = kok area pinusnya sudah terlihat berkurang lagi
Komentar
Posting Komentar