Tanah
Para Dewa kembali saya tapaki. Keelokan panorama dan misteri peradaban kawasan
dengan suhu maksimal 20° C menjadi alasan sebuah ajakan yang sulit untuk
ditolak. (Oleh : Anita W.R.)
Jalan
berkelok menjadi penanda perjalanan pagi bersama rekan-rekan kantor pusat.
Suasana canggung membuat saya lebih sibuk dengan pemandangan sepanjang
jalur yang dilalui. Mari nikmati suasana menuju Banjarnegara melalui Wonosobo.
Pemberhentian
pertama pun dilakukan. Driver menyarankan kami mengunjungi Sitieng terlebih
dulu. Sitieng atau Gardu Pandang Tieng berada di ± 1.789 mdpl. Inilah tempat
terbaik kedua menyaksikan matahari terbit setelah Puncak Sikunir. Gardu Pandang
ini memang terletak satu garis lurus dengan Sikunir. Karena sudah melewati jam
8 pagi, maka kami cukup dimanjakan dengan hamparan langit biru, Sindoro,
Sikunir, Pakuwojo, pedesaan padat dibawah sana hingga lahan pertanian kentang
di punggung-punggung bukit. Sitieng akan ramai pada waktu matahari terbit
maupun terbenam. Terutama bagi yang berminat menyaksikan golden sunrise namun
gagal atau tidak berani sampai di Sikunir. Oh iya soal nama Tieng, ini jelas
bukan salah tulis kok. Tieng merupakan nama salah satu tempat di Dieng. Tieng
konon bermakna tanah berbatu yang subur. (Khusus foto paling atas diunduh dari sini)
Target
selanjutnya adalah kawasan Candi Arjuna. Kabut dan tetesan embun mulai menyapa.
Beberapa orang mengingatkan saya untuk tidak mengeluhkan dingin agar "sampai" pada tujuan. Namun jaket yang
tertinggal di kendaraan membuat kata itupun lolos terucap. Alhasil hanya candi
Sembadra, Puntadewa dan Srikandi yang bisa saya saksikan dari dekat. Candi
Semar dan Arjuna saya lewatkan dengan alasan tergoda Mas-mas Yaksa dan Hanoman.
Ditambah masih banyak antrian orang yang berfoto di candi Arjuna. Hehehe, herannya masih ada juga nih Tante berkerudung jingga yang tiba-tiba nyeletuk "Mbak, fotoin saya sama Mas Hanoman ya". Ehm, honor-nya mana ya Te ?
Sebelum
memasuki kawasan candi Arjuna, terdapat Darmasala. Saat ini tersisa bentuk pondasinya
saja. Terdapat dua pondasi dan lingga yoni di kawasan ini. Darmasala merupakan
tempat bagi para Brahmana mengabdikan diri. Serta menyambut tamu.
Tidak
jauh dari Darmasala, sampailah kami pada kawasan candi Arjuna. Ada empat candi
utama dan satu candi pendamping. Keempatnya adalah Arjuna, Srikandi, Puntadewa
dan Sembadra yang berdiri berjajar menghadap arah terbenam matahari. Sementara
candi pendamping yaitu candi Semar berada tepat didepan Arjuna dengan menghadap
matahari terbit. Candi di wilayah Dieng ini diperkirakan dibangun pada sekitar
akhir abad ke-7 hingga awal abad ke-8, tepatnya masa Dinasti Sanjaya.
Di
dalam candi Arjuna terdapat yoni yang menampung air suci dan tak pernah surut.
Air ini masih diyakini kesakralannya. Apabila penuh, air akan secara otomatis
mengalir ke lingga dan keluar candi. Candi utama Arjuna memiliki bentuk khas
dengan atap mengerucut dan disebut Padma (teratai).
Sementara
dihadapannya terdapat candi Semar. Berbentuk persegi panjang dengan beberapa
lubang mirip ventilasi dan beratap limasan. Candi ini jauh lebih pendek
dibanding lainnya. Dulu, candi Semar difungsikan sebagai tempat menyimpan
peralatan sembahyang. Sekarang ? Kan saya
nggak masuk....
Disebelah
candi Arjuna terdapat candi Srikandi. Keunikannya terletak pada relief dinding
candinya. Tri Murti. Ada relief Wisnu di utara, Shiwa di timur dan Brahma di
selatan. Tidak terlalu jelas tapi cukup mudah dikenali.
Sabtu
kemarin, candi Puntadewa sedang dalam persiapan dipugar. Candi yang dikatakan
tertua di kawasan candi Arjuna ini menjadi tempat perhelatan akbar ruwat bocah
gimbal dalam Dieng Culture Festival.
Dan
paling ujung, adalah candi Sembadra. Terlihat paling kecil dibanding lainnya.
Dan yang saya suka dari candi Sembadra adalah kepala makara berbentuk ikan.
Belum puas memandang, eeehh beberapa smartphone sudah tersodor didepan mata.
"Fotoin yaaaa,..", cerocos
rekan-rekan saya ini sembari bergaya bak puteri keraton.
Tidak
jauh dari kawasan candi Arjuna, terdapat candi Gatotkaca, Setyaki, Dwarawati
dan Bima. Hujan yang seketika mengguyur membuat agenda ke Setyaki, Dwarawati
dan Bima harus dibatalkan. Satu-satunya yang mungkin dijelajah hanya candi
Gatotkaca yang berada diatas kawasan candi Arjuna.
Candi
Gatotkaca sejatinya pun berupa kawasan. Yang berdiri bersama candi Nakula,
Sadewa, Gareng dan Petruk. Namun hanya candi Gatotkaca saja yang masih berdiri
kokoh. Lengkap dengan yoni didalam sana. Candi si kembar Nakula Sadewa hanya
ditandai dengan tumpukan batu tak utuh. Sementara kedua abdi Gareng dan Petruk
tak berbekas. Tak jauh dari sini, terdapat Museum Kailasa, dimana kita bisa mendapat
informasi sejarah Dataran Tinggi Dieng dan bukti peninggalan arca dan artefak
yang ditemukan disana.
Perjalanan
masih belum usai. Masih banyak pe-er,
karena lagi dan lagi tak banyak tambahan informasi yang saya peroleh dari
pesiar kali ini. Tanpa kehadiran seorang pemandu disisi saya, semoga menjadi alasan
paling dibenarkan atas kekurang-puasan
yang masih menggelayut. Semoga akan kembali ada perjalanan ke negeri
bersemayamnya para Dewa dilain waktu. Denganmu
?
Komentar
Posting Komentar