Langsung ke konten utama

HARUSKAH SAYA TAKUT SAAT NONTON EBEG ?

Salah satu kesenian yang saya "takuti" adalah EBEG. Saya bisa ikut jegjegnong (seketika kabur) sendiri begitu mendengar alunan gamelan bertambah cepat seiring “Eling-Eling” dinyanyikan. 

Oleh : Anita Wiryo Rahardjo



Dulu sebenarnya saya tidak masalah menyaksikan kesenian rakyat ini. Namun ketika beberapa kali melihat aksi brutal anak-anak muda yang bahkan kadang cewek membuat saya ngeri. 

Bagaimana tidak, kita yang semestinya senang melihat tarian gagah para prajurit penunggang kuda malah jadi dibuat kedodoran ketika pecut mulai disabetkan ke tanah. Okay saya maklum ketika para penari itu kemudian mengalami trance. Memang begitu adanya setiap kesenian tradisional ini dilangsungkan. 

Trance atau wuru atau mendem atau ndadi (terserah bagaimana kita menyebutnya) memang menjadi wujud puncak dari sebuah atraksi seni tradisi. Tak hanya ebeg kok. Ini melambangkan ke-khusyuk-an pelaku dalam berkesenian. Karena pada dasarnya setiap berlangsungnya seni tradisional juga menjadi wujud “kulonuwun” ataupun “maturnuwun”.

Nah, terus apa masalahnya ? Ya itu seperti yang saya sebut sebelumnya ketika saya melihat penonton yang ketemper (ikut wuru) bukan lagi mereka yang sama-sama penari ebeg beda group. Melainkan sekelompok anak muda yang gegayaan memainkan seni ini hanya sekedar pengen wuru. 

Salah seorang seniman Ebeg senior yang saya lupa namanya bahkan pernah mengungkapkan keprihatinannya akan hal ini. “Wurunya mereka beda Mbak, wuru minuman”, katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala, miris. Padahal untuk menjadi seorang penari ebeg, dia –pada jamannya- haruslah melakoni bermacam puasa, hidup sehat dan bersih “jiwa raga”. Ditambah diapun harus menguasai perbendaharaan seni karawitan dan seni tari dengan baik. Berbeda 180° dengan yang sekarang terjadi.



Mendengar penuturannya, saya pun memberanikan diri berada di tengah-tengah penonton ketika kelompok keseniannya unjuk aksi. Beberapa gambar berhasil saya ambil dengan baik, hingga tanpa sadar sebuah suara lecutan seolah persis disamping telinga saya. Mereka yang ada di sekitar saya lari tunggang langgang sembari berteriak histeris. 

Dalam pikiran saya saat itu adalah “apakah saya ikut ngejejer wuru ?”. Sepersekian detik kemudian saya tersadar, ada rasa perih dan panas di mata kanan. Darah. Itulah yang membuat orang-orang berteriak tadi. Muka saya yang berubah menakutkan karena ada darah dari mata kanan yang tersabet pecut. Siapa pelakunya ?

Ternyata disamping saya sudah ada dua anak muda yang tengah bergaya wuru sambil melepaskan pecutnya ke udara. Mereka bukan bagian dari kelompok yang tengah bermain. Entah darimana mereka ini datang. Tadinya saya ingin memotret tapi merasakan ada aroma yang berbeda saya pun batal dan menyingkir.

Tapi kekecewaan berhasil mengantarkan keberanian saya untuk mendamprat mereka sambil berkata : “Bawa saya ke Dokter !!”. Seketika mereka berhenti wuru dan dengan gelagapan berkata “Nggak papa itu kok Mba, besok juga sembuh, saya sering kok begitu Mba” dan kemudian kabur lupa dengan adegan indang-indangannya. Ya,.. apa yang dikatakan senior mereka benar. Wuru-nya memang sudah berbeda.

Pengalaman ini membuat saya harus berpikir ulang pada ketakutan saya. Ebeg sebenarnya tidaklah menakutkan. Tapi perilaku “tidak benar” dari pihak-pihak tak bertanggung jawab di sekitar ebeg itulah yang MENGERIKAN.

Ket : Seluruh foto hanya sekedar ilustrasi.

Komentar

Posting Komentar

Banyak Dicari

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

TRADISI WISUHAN

Daur hidup manusia tak lepas dari rangkaian adat istiadat. Saat memasuki 40 hari, dilaksanakanlah tradisi Wisuh atau Wisuhan. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Pagi itu seorang pria pensiunan Polantas sibuk mencari anak-anak kecil. Minggu pagi memang tak mudah mencari para bocah di rumah. Mereka sedang asyik jalan-jalan bersama keluarga tentunya. Beruntung ada tiga bocah kelas 1 SD yang baru bangun keluar rumah dan kemudian dimintalah mereka bersiap memperebutkan uang. Ketiganya hanya mantuk-mantuk bingung. Mereka tak tahu bahwa mereka tengah dilibatkan dalam tradisi Wisuh. • Cukur rambut • Didalam rumah, seorang bayi mungil sedang dicukur bergantian oleh dukun bayi dan pihak keluarga. Dalam kebiasaan lain, saat seperti ini juga sambil dibacakan shalawat. Namun tidak hari itu. Pemandangan ini berbeda dengan yang pernah dilakoni saudara sepupu saya. Menjelang hari ke-40 (bisa dimulai dari hari ke-35 atau selapan dina), dukun bayi yang biasa mengurus ia dan puteri kecilnya secara khus...