Salah satu kesenian yang
saya takuti adalah EBEG. Saya bisa ikut jegjegnong
sendiri begitu mendengar alunan gamelan bertambah cepat seiring “Eling-Eling” dinyanyikan. Eittts,
jangan kira saya punya indang, lha
wong saya punyanya Bu Endang kok *Hai Mom,..
Jegjengnong disini adalah kondisi
saya akan kabur ngeciput,..ngitharrr ketika mendengarnya.
Dulu sebenarnya saya tidak
masalah menyaksikan kesenian khas ini. Namun ketika beberapa kali melihat aksi
brutal anak-anak muda yang bahkan kadang cewek membuat saya ngeri. Bagaimana
tidak, kita yang semestinya senang melihat tarian gagah para prajurit
penunggang kuda malah jadi dibuat kedodoran ketika pecut mulai disabetkan ke
tanah. Okay saya maklum ketika para penari itu kemudian mengalami trance.
Memang begitu adanya setiap kesenian tradisional ini dilangsungkan. Trance atau
wuru atau mendem atau ndadi
(terserah bagaimana kita menyebutnya) memang menjadi wujud puncak dari sebuah
atraksi seni tradisi. Tak hanya ebeg kok. Ini melambangkan ke-khusyuk-an pelaku
dalam berkesenian. Karena pada dasarnya setiap berlangsungnya seni tradisional
juga menjadi wujud “kulonuwun” ataupun “maturnuwun”.
Nah, terus apa masalahnya
? Ya itu seperti yang saya sebut sebelumnya ketika saya melihat penonton yang ketemper (ikut wuru) bukan lagi mereka
yang sama-sama penari ebeg beda group. Melainkan sekelompok anak muda yang
gegayaan memainkan seni ini hanya sekedar pengen wuru. *Wualaaaahhhh, sini-sini kamu nyuci piring di kantor saya saja pasti
cepet wuru kok. Wong tiap 5 menit sudah ada saja piring kotor. Pasti wuru toh
?!
Salah seorang seniman Ebeg
senior yang saya lupa namanya bahkan pernah mengungkapkan keprihatinannya akan
hal ini. “Wurunya mereka beda Mbak, wuru
minuman”, katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala, miris. Padahal untuk
menjadi seorang penari ebeg, dia –pada jamannya- haruslah melakoni bermacam
puasa, hidup sehat dan bersih “jiwa raga”.
Ditambah diapun harus menguasai perbendaharaan seni karawitan dan seni tari
dengan baik. Berbeda 180 ° dengan yang sekarang terjadi.
Mendengar penuturannya,
saya pun memberanikan diri berada di tengah-tengah penonton ketika kelompok
keseniannya unjuk aksi. Beberapa gambar berhasil saya ambil dengan baik, hingga
tanpa sadar sebuah suara lecutan seolah persis disamping telinga saya. Mereka
yang ada di sekitar saya lari tunggang langgang sembari berteriak histeris.
Dalam pikiran saya saat itu adalah “apakah
saya ikut ngejejer wuru ?”. Sepersekian detik kemudian saya tersadar, ada
rasa perih dan panas di mata kanan. Darah. Itulah yang membuat orang-orang
berteriak tadi. Muka saya yang berubah menakutkan karena ada darah dari mata
kanan yang tersabet pecut. Siapa pelakunya ?
Ternyata disamping saya
sudah ada dua anak muda yang tengah bergaya wuru
sambil melepaskan pecutnya ke udara. Mereka bukan bagian dari kelompok yang
tengah bermain. Entah darimana mereka ini datang. Tadinya saya ingin memotret
tapi merasakan ada aroma yang berbeda
saya pun batal dan menyingkir. Tapi kekecewaan berhasil mengantarkan keberanian
saya untuk mendamprat mereka sambil berkata : “Bawa
saya ke Dokter !!”. Seketika mereka berhenti wuru dan dengan gelagapan berkata “Nggak papa itu kok Mba, besok juga sembuh,
saya sering kok begitu Mba” dan kemudian kabur lupa dengan adegan indang-indangannya. Ya,.. apa yang
dikatakan senior mereka benar. Wuru-nya memang sudah berbeda.
Pengalaman ini membuat
saya harus berpikir ulang pada ketakutan saya. Ebeg sebenarnya tidaklah
menakutkan. Tapi perilaku “tidak benar” dari pihak-pihak tak bertanggung jawab di
sekitar ebeg itulah yang MENGERIKAN.
Ket : Seluruh foto hanya sekedar ilustrasi.
Ebeg adalah kesenaian tradisional yag harus di lestarikan
BalasHapus