Langsung ke konten utama

Postingan

ELOK DAN MISTERI-NYA CANDI DIENG

Tanah Para Dewa kembali saya tapaki. Keelokan panorama dan misteri peradaban kawasan dengan suhu maksimal 20° C menjadi alasan sebuah ajakan yang sulit untuk ditolak.  Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Jalan berkelok menjadi penanda perjalanan pagi bersama rekan-rekan kantor pusat. Suasana canggung membuat saya lebih sibuk dengan pemandangan sepanjang jalur yang dilalui. Mari nikmati suasana menuju Banjarnegara melalui Wonosobo. Pemberhentian pertama pun dilakukan. Driver menyarankan kami mengunjungi Sitieng terlebih dulu. Sitieng atau Gardu Pandang Tieng berada di ± 1.789 mdpl. Inilah tempat terbaik kedua menyaksikan matahari terbit setelah Puncak Sikunir. Gardu Pandang ini memang terletak satu garis lurus dengan Sikunir. Karena sudah melewati jam 8 pagi, maka kami cukup dimanjakan dengan hamparan langit biru, Sindoro, Sikunir, Pakuwojo, pedesaan padat dibawah sana hingga lahan pertanian kentang di punggung-punggung bukit. Sitieng akan ramai pada waktu matahari terbit maupun terbe...

PURA PEDALAMAN GIRI KENDENG

Saya merasa tengah dibawa keluar Banyumas. Pemandangan akan Pura megah dikelilingi alam asri itulah alasan utamanya. Seolah di Pulau Dewata. Namun sesuara orang yang lewat, membuat kesadaran pulih. Bahwa ini di Banyumas. Pura ini ada di Banyumas. Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Foto oleh : Billy Kamajaya Pura Pedalaman Giri Kendeng merupakan Pura terbesar di Banyumas. Dibangun sejak 1987 dengan sebagian material pembangunan langsung dibawa dari Bali. Tahun pembangunannya bersamaan dengan pen-sudhiwedhi-an para penganut kepercayaan Wayah Kaki yang mendiami kaki Pegunungan Kendeng Selatan ini. Semula penduduk asli desa Klinting -kecamatan Somagedhe, Banyumas- ini, menganut aliran kepercayaan Wayah Kaki. Aliran ini sangat mengagungkan Eyang Semar sebagai pemomong nyata (bukan sekedar dalam pewayangan) yang luar biasa bijak. Wayah Kaki, secara arti kata adalah cucu kakek. Sehingga gambar Semar banyak terpampang di kediaman para penghayat ini. Aliran Wayah Kaki berpusat di Kroya, Cilaca...

NIKMATNYA MENU NOSTALGIA "LERI"

Warung makan tua di pusat kota ini menawarkan menu istimewa. Yaitu : Nostalgia.  Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Diantara lelah berlarian mencari segala kebutuhan di pusat perbelanjaan, sempatkanlah mengisi perut dengan menu utama terik sapi a la Warung Makan Leri. Terletak di jalur provinsi Jalan Jendral Sudirman, Leri telah beroperasi sejak 1936. Lokasinya memang sedikit tersembunyi. Namun sebuah etalase kayu kuno menjadi penandanya. Disinilah deretan menu masterpiece disajikan. Terik (opor kuning) Sapi, Bedhelan (sayur tempe kuah dengan ciri khas cabai hanya dibelah atau dibedhel), Jangan Endhog (telur kuah pedas), Jangan Tahu (tahu kuah pedas), Jangan Garing (kering tempe), Rempeyek hingga Bubur Sum-sum. Siang itu, saya dan seorang teman janjian makan disana. "Bubur Sumsum aja ya, tanggal tua nih", kata saya. Oh iya, kita memang perlu merogoh kantong lebih dalam untuk menikmati menu-menu disini. Selain lezat, menunya juga bebas MSG. Jadi sebanding kok. Seorang perempuan...

BERBURU KAMIR DI KAMPUNG ARAB

Hmmmm... Aroma harum adonan kue yang masih panas menyeruak dari sebuah rumah di dalam gang sana. Tanpa perlu ribet bertanya lagi, saya yakin pasti itulah tempatnya. Kamir “Cap Mawar” Ibu Chamidah, Pemalang. Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Kamir, bukanlah penganan yang asing bagi kita. Penjual jajan keleman sering membawanya. Ciri khasnya yang empuk dengan citarasa manis terasa pas menjadi penggajal perut saat lupa belum makan berat. Kamir identik dengan Pemalang. Penganan khas yang diperkenalkan warga keturunan Arab. Tak hanya di Arab, konon di Yaman pun makanan sejenis kamir ini ada. Namanya Bakhmri. Bedanya terletak pada bentuknya yang tidak bulat melainkan segitiga dengan rasa rempah yang kental. ​   Kamir diproduksi oleh keturunan Arab yang menempati wilayah tersebut sejak bertahun-tahun. Sehingga tak heran ya, jika kemudian ada "Kampung Arab"Mulyo Harjo. Banyak serupa bangunan tua di tempat ini. (Atau memang demikian). Dan Kamir Cap Mawar Bu Chamidah pun mendiami salah...

Pekinangan

Kata “pekinangan” umum ditujukan pada wadah bahan-bahan nginang. Ada yang menyebutnya kutuk sirih hingga tepak atau tlepok . Dalam bahasa Inggris disebut dengan betel nut set . Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Saya kembali berbincang dengan Triningsih, pemandu sekaligus kurator di Museum Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja. Mbak Tri, begitu ia biasa dipanggil mengajak saya berkeliling sembari menatap sederet benda-benda mungil berbentuk manggis dengan warna keemasan. “Nyemplu kayak pipi bayi”, gurau kami satu sama lain. Pada dasarnya nginang ini seperti halnya merokok. Membuat kecanduan. Tak heran, seseorang yang menginang akan membawa bahan-bahan nginang kemanapun ia pergi. Meski tanpa rujukan ilmiah, sepertinya pekinangan muncul hampir bersamaan dengan kebiasaan menginang itu sendiri. Jangan bayangkan semua pekinangan seperti benda koleksi museum yang terlihat antik ya. Karena mbah-mbah kita pun ada yang cukup membungkus bahan kinang dengan sehelai kain serbet. Jangan-jangan dahulu ma...

Kenangan Akan Kinang

Saya memiliki dua nenek dimana satunya suka tingwe (ngelinting dhewe) dan lainnya nginang . Sama-sama menguarkan aroma tembakau. Namun, Mbah Putri yang merokok jelas akan menghembuskan asap yang menyesakkan. Sementara Mbah Buyut Putri yang nginang kerap meludah berwarna merah yang agak horror dilihat. Menariknya, sama-sama sebagai kebiasaan yang membuat candu, gigi Mbah Buyut Putri jauh lebih kokoh dan utuh. Hemm , apakah itu salah satu khasiat nginang ? Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Sejarah Nginang Nginang (menginang) merupakan kebiasaan kuno yang terdapat di Nusantara. Dari mana asalnya belum diketahui secara pasti. Ada yang menyebut dari India mendasar pada perkiraan asal sirih. Namun yang pasti saat mengintip buku "Album Pekinangan Tradisional" , disebutkan bahwa pada abad 4 M aktivitas mengunyah sirih ini sudah dimasukkan dalam sandiwara. Sementara itu dari sumber lain dikatakan jika pada relief candi Borobudur dan candi Sojiwen, masing-masing diperkirakan dibangun pa...

COKELAT JEJAMUAN, RADENTA

Jika ada yang menawari saya cokelat batangan, otomatis saya sih yes. Kalau dicampur kayu manis ? Jelas mengangguk terus macam minimka. Kalau dicampur jamu ? Tik tok tik tok. Jangan bilang "tidak" dulu ya. Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Cokelat jejamuan. Itulah yang ditawarkan Radenta. Pesona dua kutub budaya yang berbeda. Cokelat batangan yang selama ini kita kenal memang tak hanya menawarkan rasa originalnya saja yang lumer di mulut. Tapi juga sudah dengan toping atau filling terutama nuts dan buah kering macam raisin. Nah sekarang coba deh kita nikmati cokelat batangan yang sudah kita kenal tapi dengan filling jamu. Weeew !! Jamu ? Iya jamu. Kayak kunyit asam, beras kencur atau jamu pahit temulawak itu. Aneh ? "Awalnya pasti iya lah ngerasa aneh. Apalagi waktu proses bikinnya dulu. Saya sampai kasian sama yang cicip", kenang Mareta Ramadhani saat bertemu di sebuah kantor media beberapa waktu lalu. Mareta ini founder Cokelat Radenta. Cokelat Jejamuan ini bisa dis...