Langsung ke konten utama

Kali ini Tentang Pekinangan

"Nyemplu..", itulah yang ada di otak saat melihat kotak-kotak mungil berbentuk manggis berbahan kuningan ini. Lucu banget kayak pipi kamu. Eh ? Ternyata namanya pekinangan. (Oleh : Anita W.R.)


Postingan kali ini masih saja berkutat pada urusan kinang. Bedanya, wadah kinangan itulah yang akan tema kali ini. Mengapa wadah ? Karena luuucccuuu.... Suka banget liatnya. Apalagi kalau boleh pegang. Sayangnya enggak. Karena pekinangan yang saya lihat langsung adalah koleksi museum daerah Soegarda Purbakawatja Purbalingga.

Sebagian orang menyebutnya sebagai kotak sirih. Juga tlepok. Dalam sejarahnya, kotak sirih sudahlah diketemukan di Sulawesi Selatan bersama benda-benda prasejarah lainnya semisal kail perunggu, gelang, anting bentuk hewan serta arca. Ini seolah menegaskan jika sirih sudah dikonsumsi sejak jaman logam. Dibuktikan dengan adanya kotak sirih itu. Kotak sirih bahkan pernah menjadi salah satu cinderamata antar kerajaan.

Selanjutnya kotak sirih berkembang dalam bermacam bentuk. Pekinangan yang lebih modern disebut juga sebagai cerana.  Bentuknya bisa saja berupa kotak kayu dengan atau tanpa sekat, kotak kuningan beraneka bentuk atau tidak jarang pula ada yang terbuat dari kaca. Pekinangan (betel nut set) diperkirakan mulai digunakan seiring dengan kebiasaan nginang berkembang. Pekinangan yang lengkap tidak hanya berisi tempat menyimpang sirih, kapur sirih, pinang, gambir dan tembakau saja. Namun menyertakan paidon dan duplak. (Kalau foto yang sebelah diunduh dari salah satu akun instagram ya)

Paidon atau kecohan ini biasanya berukuran cukup besar. Berfungsi sebagai tempat membuang ludah merah. Dubang, idu abang. Warna merah dihasilkan dari gambir. Nah, warnanya bisa jadi lipstik alami tuh dan dijamin waterproof kalau setiap hari nginang. Haha.. Sementara itu duplak atau locokan dalam bahasa Sunda, sangat membantu mereka yang sudah tidak sanggup mengunyah bahan kinangan utuh. Alat ini berfungsi untuk menumbuk kinangan hingga lebih mudah berproses saat dikunyah. Ompong contohnya. Hmmm, mungkin yang nggak doyan kinang dulu juga pakai ini ya. Supaya nggak terlalu lama ngunyah tapi khasiat yang dicari tetap dapet. Muuungkkkin. Aku ya ora njamaniPelengkap lainnya adalah gunting khusus untuk mengerat gambir. Namanya kacip. Sayangnya, di Museum, kacipnya sudah tidak ada. "Sejak diserahkan ke Museum oleh pemiliknya, memang dalam kondisi nggak lengkap", kata Sugito, salah seorang petugas disana.


Eh, kok sepertinya saya perlu meralat kalimat di postingan seminggu lalu nih yang menyebut jika nginang kurang sesuai dengan standar kebersihan. Bukankah paidon kemudian disediakan dalam menginang ? Artinya mereka nggak meludah sembarangan dong. Tapi sudahlah, toh orang-orang tetap sudah terlanjur meninggalkan nginang dengan alasan "reged". Sekarang gemana kitanya aja. Nggak nginang ya nggak apa-apa, yang penting nggak mbuang idu sembarangan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...