Warung makan tua di pusat kota ini menawarkan menu
istimewa. Yaitu : Nostalgia. (Oleh : Anita W.R.)
Lokasinya memang sedikit tersembunyi.
Namun sebuah etalase kayu kuno menjadi penandanya. Disinilah deretan menu
masterpiece disajikan. Terik (opor kuning)
Sapi, Bedhelan (sayur tempe kuah dengan
ciri khas cabai hanya dibelah atau dibedhel), Jangan Endhog (telur kuah
pedas), Jangan Tahu (tahu kuah pedas), Jangan Garing (kering tempe), Rempeyek
hingga Bubur Sum-sum.
Seorang perempuan keturunan Tionghoa
menyapa kami dengan ramah. Sama seperti yang dilakukannya pada tiap pembeli
yang datang, ia pun menanyai kami untuk siapa dan kepentingan apa bubur sumsum
itu dibeli. "Saya kangen kayak jaman
kecil. Pengen makan disini boleh ?", kata teman saya ini sembari
mengitarkan pandang. Ah, ternyata ruang untuk makan sudah tidak ada. Pantas
Leri jadi terlihat makin ciut saja. "Sebelah
saya sewakan Mba, kalau nggak ya repot", terang Cik Eli seraya
menawari kami makan di dalam.
Mulailah saya menikmati satu porsi bubur
sumsum kecil. Ada satu yang berbeda dari segi tampilan. Daun pembungkusnya
sudah tidak lagi dibalik. Namun rasa tidak berubah. Bubur tetap kakal dan juruh
tetap kental alami. Beda. Recomended.
Ini versi saya bawa pulang di hari
berbeda. Harga Rp. 2.000,-
Kebetulan tidak berapa lama saya bertemu
Koh Budi Prayitno ( Lee Bun Seng ). Dialah generasi ketiga warung makan Leri.
Bersama Cik Eli, istrinya, mereka mempertahankan usaha turun temurun ini dengan
alasan masih diminati orang-orang tua. "Kasihan kan kalau ada orang jauh-jauh datang. Katanya pengen beli
teriknya Leri. Biasanya disuruh sama Mbahnya itu. Dan mereka selalu bilang,
berapapun harganya saya beli", kenang Cik Eli.
Memang, menu-menu disini adalah
klangenan bagi keluarga yang sudah sepuh. Tidak heran juga sebenarnya. Karena
pendirinya Ong Po Sit Nio juga sudah menawarkan menu lezat ini dari masa ke
masa. "Nama nenek saya, Ong Po Sit
Nio", cerita Koh Budi. Perempuan asal Batur, Banjarnegara ini dikenal
piawai memasak sejak belia. Nah perjalanan hidupnya yang cukup keras,
membawanya ke desa Waleri, Kendal. Tentunya untuk meracik bahan-bahan pangan
menjadi menu lezat. Dan pengalaman kulinernya jugalah yang mengembriokan WM
Leri. "Dulu, warung Mbah Buyut
(panggilan untuk Ong Po Sit Nio) belum permanen. Awalnya hanya jual mendoan dan
kinang. Paling ramai kalau Alun-alun ada pasar malam, bandar-bandar roulette
kan pada ke warung", kenangnya. Saat itu kedainya belumlah memiliki
nama. Baru setelah ada usulan dari Lurah Gemuruh waktu itu, dibangunlah WM Leri
ini.
Saat memulai warung barunya, Ong Po Sit
Nio masih senang berwisata kuliner ke luar kota. Keuntungan penjualan kerap
digunakannya untuk mencicip menu-menu khas yang ada. Tentunya juga sebagai
referensi masakannya. Indera pengecapnya terbukti jeli. Hingga WM Leri identik
dengan Terik (Opor Kuning), Dendeng, Serundeng hingga Bedhelan. Tidak hanya
itu, menu yang berkait dengan tradisi yaitu sega mapasi dan sega jalak pun
tersedia. Eits, dulu es campur juga bisa kita dapatkan disini. "Lilis Suryani aja suka banget ama es
campurnya", kata Koh Budi. Sayangnya, tenaga yang tidak lagi muda
membuat keduanya membatasi menu. "Dulu
sehari untuk teriknya bisa sampai 25 kg daging, sekarang cukup 5 kg saja",
ujar mereka sembari tertawa. Mempertunjukkan kerut diwajah orientalnya.
Obrolan kami kembali terhenti. Kali ini
seorang pria muda. "Beli teriknya,
Tante. Mau saya bawa ke Jakarta", ucapnya sambil menyodorkan lunch
box. Sebagai menu nostalgia, tentulah terik Leri kerap dijadikan buah tangan.
Dan untuk perjalanan darat 24 jam, kita tak perlu khawatir akan daya tahannya.
"Kalau sudah sampai Jakarta, angetin
saja sampai kuahnya habis. Lebih enak kok. Kuahnya juga jadi mirip petis",
bocornya. Harga per potongnya Rp 14.000,-. Lumayan mahal ya, tapi wajib coba
nih.
Kini, ditengah maraknya warung makan
dengan harga ekonomis, pengelola Leri memang merasa sedikit ngos-ngosan. "Bahannya saja sudah mahal, masak harga harus
diturunkan", keluhnya. Memang, Leri tak lagi menikmati masa
kejayaannya. Namun citarasa kenangan tidak akan terganti.
Ket buka : jam 06.00 s.d 21.00 WIB
kie deretane famili ngarep ABC ya mba? enak ke yakin, hahaha. Salam kenal mba. Kunjungi balik ya mba http://www.idiotraveler.com
BalasHapusBetul sekali.. seberang Selera tepatnya.. Hehe, klangenan akeh wong Purbalingga kuweh.. Siiiaaap, sudah saya kunjungi. Sip lah
BalasHapus