NIKMATNYA MENU NOSTALGIA "LERI"

Warung makan tua di pusat kota ini menawarkan menu istimewa. Yaitu : Nostalgia. (Oleh : Anita W.R.)

Diantara lelah berlarian mencari segala kebutuhan di pusat perbelanjaan, sempatkanlah mengisi perut dengan menu utama terik sapi a la Warung Makan Leri. Terletak di jalur provinsi Jalan Jendral Sudirman, Leri telah beroperasi sejak 1936.

Lokasinya memang sedikit tersembunyi. Namun sebuah etalase kayu kuno menjadi penandanya. Disinilah deretan menu masterpiece disajikan. Terik (opor kuning) Sapi, Bedhelan (sayur tempe kuah dengan ciri khas cabai hanya dibelah atau dibedhel), Jangan Endhog (telur kuah pedas), Jangan Tahu (tahu kuah pedas), Jangan Garing (kering tempe), Rempeyek hingga Bubur Sum-sum.

Siang itu, saya dan seorang teman janjian makan disana. "Bubur Sumsum aja ya, tanggal tua nih", kata saya. Oh iya, kita memang perlu merogoh kantong lebih dalam untuk menikmati menu-menu disini. Selain lezat, menunya juga bebas MSG. Jadi sebanding kok.

Seorang perempuan keturunan Tionghoa menyapa kami dengan ramah. Sama seperti yang dilakukannya pada tiap pembeli yang datang, ia pun menanyai kami untuk siapa dan kepentingan apa bubur sumsum itu dibeli. "Saya kangen kayak jaman kecil. Pengen makan disini boleh ?", kata teman saya ini sembari mengitarkan pandang. Ah, ternyata ruang untuk makan sudah tidak ada. Pantas Leri jadi terlihat makin ciut saja. "Sebelah saya sewakan Mba, kalau nggak ya repot", terang Cik Eli seraya menawari kami makan di dalam.

Mulailah saya menikmati satu porsi bubur sumsum kecil. Ada satu yang berbeda dari segi tampilan. Daun pembungkusnya sudah tidak lagi dibalik. Namun rasa tidak berubah. Bubur tetap kakal dan juruh tetap kental alami. Beda. Recomended.

Ini versi saya bawa pulang di hari berbeda. Harga Rp. 2.000,- 

Kebetulan tidak berapa lama saya bertemu Koh Budi Prayitno ( Lee Bun Seng ). Dialah generasi ketiga warung makan Leri. Bersama Cik Eli, istrinya, mereka mempertahankan usaha turun temurun ini dengan alasan masih diminati orang-orang tua. "Kasihan kan kalau ada orang jauh-jauh datang. Katanya pengen beli teriknya Leri. Biasanya disuruh sama Mbahnya itu. Dan mereka selalu bilang, berapapun harganya saya beli", kenang Cik Eli.

Memang, menu-menu disini adalah klangenan bagi keluarga yang sudah sepuh. Tidak heran juga sebenarnya. Karena pendirinya Ong Po Sit Nio juga sudah menawarkan menu lezat ini dari masa ke masa. "Nama nenek saya, Ong Po Sit Nio", cerita Koh Budi. Perempuan asal Batur, Banjarnegara ini dikenal piawai memasak sejak belia. Nah perjalanan hidupnya yang cukup keras, membawanya ke desa Waleri, Kendal. Tentunya untuk meracik bahan-bahan pangan menjadi menu lezat. Dan pengalaman kulinernya jugalah yang mengembriokan WM Leri. "Dulu, warung Mbah Buyut (panggilan untuk Ong Po Sit Nio) belum permanen. Awalnya hanya jual mendoan dan kinang. Paling ramai kalau Alun-alun ada pasar malam, bandar-bandar roulette kan pada ke warung", kenangnya. Saat itu kedainya belumlah memiliki nama. Baru setelah ada usulan dari Lurah Gemuruh waktu itu, dibangunlah WM Leri ini.

Saat memulai warung barunya, Ong Po Sit Nio masih senang berwisata kuliner ke luar kota. Keuntungan penjualan kerap digunakannya untuk mencicip menu-menu khas yang ada. Tentunya juga sebagai referensi masakannya. Indera pengecapnya terbukti jeli. Hingga WM Leri identik dengan Terik (Opor Kuning), Dendeng, Serundeng hingga Bedhelan. Tidak hanya itu, menu yang berkait dengan tradisi yaitu sega mapasi dan sega jalak pun tersedia. Eits, dulu es campur juga bisa kita dapatkan disini. "Lilis Suryani aja suka banget ama es campurnya", kata Koh Budi. Sayangnya, tenaga yang tidak lagi muda membuat keduanya membatasi menu. "Dulu sehari untuk teriknya bisa sampai 25 kg daging, sekarang cukup 5 kg saja", ujar mereka sembari tertawa. Mempertunjukkan kerut diwajah orientalnya.

Obrolan kami kembali terhenti. Kali ini seorang pria muda. "Beli teriknya, Tante. Mau saya bawa ke Jakarta", ucapnya sambil menyodorkan lunch box. Sebagai menu nostalgia, tentulah terik Leri kerap dijadikan buah tangan. Dan untuk perjalanan darat 24 jam, kita tak perlu khawatir akan daya tahannya. "Kalau sudah sampai Jakarta, angetin saja sampai kuahnya habis. Lebih enak kok. Kuahnya juga jadi mirip petis", bocornya. Harga per potongnya Rp 14.000,-. Lumayan mahal ya, tapi wajib coba nih.

Kini, ditengah maraknya warung makan dengan harga ekonomis, pengelola Leri memang merasa sedikit ngos-ngosan. "Bahannya saja sudah mahal, masak harga harus diturunkan", keluhnya. Memang, Leri tak lagi menikmati masa kejayaannya. Namun citarasa kenangan tidak akan terganti.

Ket buka : jam 06.00 s.d 21.00 WIB


Komentar

  1. kie deretane famili ngarep ABC ya mba? enak ke yakin, hahaha. Salam kenal mba. Kunjungi balik ya mba http://www.idiotraveler.com

    BalasHapus
  2. Betul sekali.. seberang Selera tepatnya.. Hehe, klangenan akeh wong Purbalingga kuweh.. Siiiaaap, sudah saya kunjungi. Sip lah

    BalasHapus

Posting Komentar