KENANGAN AKAN KINANG


Banyak yang sedang saya rindukan belakangan ini.Salah satunya aroma khas itu.Mungkin mirip feromon ya karena efeknya jadi ngangenin.Sepet kecut pedes yang mendamaikan. (Oleh : Anita W.R)

Sembari mengisahkan legenda Batu Menangis asal tanah kelahirannya, perempuan sepuh itu tak berhenti mengunyah. Sesekali, sekelompok anak kecil yang mengelilinginya mendapat bonus ditempel apa yang dikunyahnya. Mereka tergelak riang, dan tak jarang nimbrung aja minta ikut mengunyah kinangannya.

Kinang (foto diunduh dari sini) jadi pelengkap suasana kebersamaan yang terbangun ditengah-tengah keluarga besar kami.Saya bahkan sudah mencobanya diusia SD. Eyang Buyut Putri saya adalah salah seorang yang nginang.Kebiasaan itu konon sudah dilakoninya saat masih tinggal di tanah seberang.Dipercaya bisa mengharumkan badan dan menguatkan gigi, kinang menjadi salah satu ramuan ampuh favoritnya. Ah, Uyut peduli penampilan juga ternyata. Sayangnya, pada kemudian hari mereka yang ndatuk nginang malah memiliki gigi kehitaman.Dari segi kebersihan dan keindahan jelas mengganggu. Apalagi dubangnya itu lho... Hmmmm, tapi masak iya gegara dubang saja kitapun ikut sepakat menghindari kinang ?

Kinangan masih bisa kita dapatkan di pasar-pasar Tradisional. Di Pasar Besar Segamas Purbalingga, satu paket kinangan dihargai Rp.10.000,- "Kalau sirih saja satu ikatnya tujuh ribu", kata seorang Mbah Penjual Kinang sejak tahun 80'an. Untuk paketannya berisi sirih, gambir, enjet atau kapur sirih, jambe atau pinang dan tembakau.

Nginang merupakan kebiasaan kuno yang terdapat di Nusantara.Dari mana asalnya belum pasti.Ada yang menyebut dari India berdasar perkiraan asal sirih.Namun yang pasti saat mengintip buku "Album Pekinangan Tradisional", disebutkan bahwa pada abad 4 M aktivitas mengunyah sirih ini sudah dimasukkan dalam sandiwara. Sementara itu dari sumber lain dikatakan jika pada relief candi Borobudur dan candi Sojiwen, masing-masing diperkirakan dibangun pada abad ke-8 dan 9, ditemukan gambar tempat sirih, tempat ludah dan orang sedang mengunyah.Oleh beberapa arkeolog, aktivitas ini diartikan sebagai nginang. Dan kembali ke sumber buku diatas, pada abad ke 10 - 14 M, berita dari Dinasti Sung juga mencantumkan sirih dan pinang sebagai salah satu dagangan yang diekspor pedagang Jawa. Dari mana dan sejak kapan bermula memang belum ada kepastian.Yang jelas aktivitas ini bisa dijumpai dari Aceh hingga Papua. Foto diambil dari sini

Nginang ini kosakata bahasa Jawa.Yang lebih umum digunakan adalah nyirih. Sementara di Batak akan disebut sebagai napuran, di Sulawesi disebut mota dan sebagainya. Dalam prakteknya dahulu, nginang kerap dilakukan sebagai bagian dari upacara selamat datang, salam perkenalan, seserahan pernikahan tradisional sampai sesaji. Namun tak sedikit pula yang melakukannya sebagai pengisi waktu santai saja. "Kalau jaman kerajaan katanya kinang juga untuk nge-rem nafsu lelaki", kata Triningsih, salah satu kurator Museum Daerah Soegarda Purbakawatja Purbalingga."Maksudnya adalah dengan nginang, otomatis dubang akan mengotori muka para puteri keraton yang bikin mupeng kompeni", terangnya. Saya manggut-manggut saja seraya meminta nalar segera mengiyakan. Foto diambil dari sini

Tak hanya dipercaya berkhasiat bagi kesehatan, kinangan juga memiliki filosofi khusus.Sirih misalnya. Tanaman yang memiliki nama latin Piper Betle ini kabarnya mengandung minyak atsiri dan chavicol yang efektif membunuh kuman, anti jamur, menyembuhkan luka dan utamanya menyegarkan nafas. Dalam bahasa Jawa, orang terbiasa menyebutnya dengan Suruh. Siapa suruh ? Tentu bukaaaan. Dari artikel berjudul makna pecanangan Bali, suruh terdiri atas dua suku kata. Su yang berarti baik dan Wruh dari kata kawruh yang maksudnya pengetahuan.

Ada pula pinang atau jambe. Ada yang bilang mengunyah jambe ini mirip ngunyah tepes (serabut kelapa). Haduh ! Tapi seperti apapun rasanya, jambe inilah yang mampu membersihkan gigi dan bikin kesat. Tidak disarankan menambahkan jambe kebanyakan ya. Kandungan alkaloidnya, jika over malah akan merusak gigi. Jambe diperkirakan erat kaitannya dengan kata jampi atau mantra. Mantra secara suku katanya yaitu Man dan Tra bermaksud membebaskan pikiran dari segala macam bentuk napsu. Karena sumber dari segala perbuatan napsu adalah pikiran.Foto diambil dari sini

Terus, saat nginang pun apu atau enjet atau kapur sirih tidak boleh ketinggalan. Yang benar sih, enjet terbuat dari abu hasil cangkang yang dibakar. Penggunaannya mesti dilarutkan terlebih dulu. Hehe, ngomongin sola enjet ini entah mengapa saya malah jadi inget labur. Itu lho cairan putih yang dipakai untuk pelapis dinding, terutama pada anyaman bambu. Kata Uyut, dulu untuk membedakan enjet yang terbuat dari cangkang dengan labur itu haruslah dilihat ukuran bungkusnya. Jika  dibungkus daun pisang dan ukuran kecil maka bisa dipastikan itulah kapur sirih. Nah, kalau bungkusannya besar dan tidak dibungkus daun pisang berarti kapur bangunan alias labur. Iya,.. ada kalanya labur memang kerap jadi pengganti enjet. Hahalamaak.. mungkin karena sama-sama putih ya ? Secara filosofis putih ini identik dengan hati bersih atau kebaikan.
Kemudian yang tidak boleh ketinggalan adalah gambir (Uncaria gambir). Dengan ciri khas rasanya yang pahit, gambir ini dikerat dulu isinya. Tipis sajalah. Ini lho bahan yang ketika bercampur dengan cairan di mulut kita akan berubah warna menjadi merah. Gambir pun sering ditambahkan dalam bahan pembuat obat atau kosmetik. Gambir katanya berasal dari Gambiraning Ati. Foto diambil dari sini

Nah dari keempat bahan utama ini yaitu suruh, jambe, enjet dan gambir akan memberikan rasa getir, pahit, pedas namun akan terasa menyegarkan mulut di akhir. Nah, ini sama seperti kandungan tersiratnya. Bahwa untuk menuju kebahagiaan batin, seseorang perlu pengetahuan yang benar, pembebasan pikiran dari napsu hingga kebersihan jiwa yang tanpa pamrih.

Terakhir, nginang bisa juga ditutup dengan nyusur. Yaitu membersihkan gigi dengan tembakau, sekaligus untuk menambah nikmatnya nginang. Ada yang menyebut nyusur inilah yang menjadi cikal bakal keberadaan kretek. Eits, tapi ingat nih, jangan nyusur saat siang sedang galak-galaknya. "Alamat pingsan Mbak", kata Sri Wahyuni pengusaha Wedangkoe yang juga kebetulan sesekali nginang. "Nggak tau ya ada  kandungan apanya. Yang jelas orang-orang tua sering bilang jangan nyusur panas-panas, mbok semaput", kata perempuan yang tidak berani nyusur ini. Foto diunduh dari sini

Dari keseluruhan bahan pokok kinang, yang paling nempel di ingatan ya tentu saja ludah merah atau idu abang (dubang). Inipun bukan tanpa makna lho. Idu mengartikan ucapan. Inget "tinibane idu" kan ? Sedangkan merah, jelas sudah kita kenal banget berarti berani. Nah dubang ini kemudian dimaknai sebagai berani mengucapkan sesuatu yang baik dan benar. Ini seperti yang pernah dilakukan salah seorang tokoh asal Pulau Dewata yaitu I Gusti Ktut Jelantik. Ini seperti yang tertuang dalam sebuah narasi pada 1845. Kecintaannya pada tanah air, membuat Jelantik begitu marah pada kedatangan Belanda dan meludahkan dubang pada surat ijin berlayar Belanda. Sejak saat itu juga, makna komunikatif dubang sering kali digunakan sebagai cara untuk mengekspresikan kemarahan kepada kolonial.

Namun kini, dengan alasan tidak sesuai standar kebersihan dan keindahan, nginang semakin ditinggalkan. Nginang memang bukan tren budaya glamor masyarakat pusat kota, namun bukan juga dominasi industri. Nginang adalah tradisi leluhur yang kalau kita mau menggalinya, ada banyak pesan yang ingin disampaikan oleh nenek moyang kita lewat nginang. Tentang pencapaian kebahagiaan batin yang dapat kita lakoni dengan bermacam cara. Seperti : menimba ilmu pengetahuan, kebersihan hati dan jiwa, tanpa pamrih hingga kecintaan terhadap tanah air. Semua itu berat bahkan tak jarang getir. Namun ketika berhasil, ketenangan dan kedamaian jiwa ada dalam diri. Foto diambil dari sini.

Mba Anita, panjenengan nantinya kalau sudah sepuh nginang juga kan ?”, tanya Mba Triningsih sesaat sebelum saya mengakhirkan sesi ngobrol di Museum siang itu. Saya mencoba tertawa seringan mungkin, seraya berucap dalam hati, “Semoga”.



Komentar