Langsung ke konten utama

Postingan

BERBURU KAMIR DI KAMPUNG ARAB

Hmmmm... Aroma harum adonan kue yang masih panas menyeruak dari sebuah rumah di dalam gang sana. Tanpa perlu ribet bertanya lagi, saya yakin pasti itulah tempatnya. Kamir “Cap Mawar” Ibu Chamidah, Pemalang. Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Kamir, bukanlah penganan yang asing bagi kita. Penjual jajan keleman sering membawanya. Ciri khasnya yang empuk dengan citarasa manis terasa pas menjadi penggajal perut saat lupa belum makan berat. Kamir identik dengan Pemalang. Penganan khas yang diperkenalkan warga keturunan Arab. Tak hanya di Arab, konon di Yaman pun makanan sejenis kamir ini ada. Namanya Bakhmri. Bedanya terletak pada bentuknya yang tidak bulat melainkan segitiga dengan rasa rempah yang kental. ​   Kamir diproduksi oleh keturunan Arab yang menempati wilayah tersebut sejak bertahun-tahun. Sehingga tak heran ya, jika kemudian ada "Kampung Arab"Mulyo Harjo. Banyak serupa bangunan tua di tempat ini. (Atau memang demikian). Dan Kamir Cap Mawar Bu Chamidah pun mendiami salah...

Pekinangan

Kata “pekinangan” umum ditujukan pada wadah bahan-bahan nginang. Ada yang menyebutnya kutuk sirih hingga tepak atau tlepok . Dalam bahasa Inggris disebut dengan betel nut set . Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Saya kembali berbincang dengan Triningsih, pemandu sekaligus kurator di Museum Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja. Mbak Tri, begitu ia biasa dipanggil mengajak saya berkeliling sembari menatap sederet benda-benda mungil berbentuk manggis dengan warna keemasan. “Nyemplu kayak pipi bayi”, gurau kami satu sama lain. Pada dasarnya nginang ini seperti halnya merokok. Membuat kecanduan. Tak heran, seseorang yang menginang akan membawa bahan-bahan nginang kemanapun ia pergi. Meski tanpa rujukan ilmiah, sepertinya pekinangan muncul hampir bersamaan dengan kebiasaan menginang itu sendiri. Jangan bayangkan semua pekinangan seperti benda koleksi museum yang terlihat antik ya. Karena mbah-mbah kita pun ada yang cukup membungkus bahan kinang dengan sehelai kain serbet. Jangan-jangan dahulu ma...

Kenangan Akan Kinang

Saya memiliki dua nenek dimana satunya suka tingwe (ngelinting dhewe) dan lainnya nginang . Sama-sama menguarkan aroma tembakau. Namun, Mbah Putri yang merokok jelas akan menghembuskan asap yang menyesakkan. Sementara Mbah Buyut Putri yang nginang kerap meludah berwarna merah yang agak horror dilihat. Menariknya, sama-sama sebagai kebiasaan yang membuat candu, gigi Mbah Buyut Putri jauh lebih kokoh dan utuh. Hemm , apakah itu salah satu khasiat nginang ? Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Sejarah Nginang Nginang (menginang) merupakan kebiasaan kuno yang terdapat di Nusantara. Dari mana asalnya belum diketahui secara pasti. Ada yang menyebut dari India mendasar pada perkiraan asal sirih. Namun yang pasti saat mengintip buku "Album Pekinangan Tradisional" , disebutkan bahwa pada abad 4 M aktivitas mengunyah sirih ini sudah dimasukkan dalam sandiwara. Sementara itu dari sumber lain dikatakan jika pada relief candi Borobudur dan candi Sojiwen, masing-masing diperkirakan dibangun pa...

COKELAT JEJAMUAN, RADENTA

Jika ada yang menawari saya cokelat batangan, otomatis saya sih yes. Kalau dicampur kayu manis ? Jelas mengangguk terus macam minimka. Kalau dicampur jamu ? Tik tok tik tok. Jangan bilang "tidak" dulu ya. Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Cokelat jejamuan. Itulah yang ditawarkan Radenta. Pesona dua kutub budaya yang berbeda. Cokelat batangan yang selama ini kita kenal memang tak hanya menawarkan rasa originalnya saja yang lumer di mulut. Tapi juga sudah dengan toping atau filling terutama nuts dan buah kering macam raisin. Nah sekarang coba deh kita nikmati cokelat batangan yang sudah kita kenal tapi dengan filling jamu. Weeew !! Jamu ? Iya jamu. Kayak kunyit asam, beras kencur atau jamu pahit temulawak itu. Aneh ? "Awalnya pasti iya lah ngerasa aneh. Apalagi waktu proses bikinnya dulu. Saya sampai kasian sama yang cicip", kenang Mareta Ramadhani saat bertemu di sebuah kantor media beberapa waktu lalu. Mareta ini founder Cokelat Radenta. Cokelat Jejamuan ini bisa dis...

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Mari mengingat-ingat, berapa batik yang kita miliki ? Bisa jadi banyak. Namun bagaimana dengan batik yang khas Purbalingga? Saya bahkan tidak tahu apakah saya punya. Atau...adakah Purbalingga memilikinya? Oleh: Anita Wiryo Rahardjo Salah seorang produsen batik, Yoga "Tirtamas" Prabowo mengatakan, " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Bagi pengguna batik random semacam saya jelas bingung dengan kalimat tersebut.  Yoga berujar yakin bahwa batik bukanlah tren baru yang mengikuti kecenderungan pasar. Karena Purbalingga telah memiliki sejumlah sentra batik sejak masa pendudukan Belanda. Najendra, pelopor industri batik di Banyumas Raya Keberadaan industri batik Purbalingga konon sudah ada sejak masa Perang Diponegoro (1825-1830). Berakhirnya Perang Diponegoro atau yang dikenal dengan istilah Perang Jawa ini diperkirakan menjadi awal bermunculan sentra batik di wilayah Banyumas Raya. " Ada anak buah Diponegoro yang membuat sentra batik di Sokaraja. ...

Aku, Kamu dan Kopi Kita di Espede Cafe

Aroma pahit berbaur jeruk khas Kopi Kintamani menyeruak dari kepulan asap di cangkir yang tengah tersaji. Yang bikin surprise adalah saya menikmatinya di kota sendiri. Tepatnya Espede Cafe Purbalingga.  Oleh : Anita Wiryo Rahardjo & Ery Andini Saya cukup diuntungkan sebagai warga pusat kota Purbalingga. Akses mudah berkenalan dengan tren, walau pada dasarnya saya bukan anak gaul. Termasuk cafe baru yang memasang tagline "Aku, Kamu dan Kopi Kita". Jujur saja, susunan kata yang nampang di salah satu sudutnya inilah yang membawa saya bergegas menuju Espede Cafe di Jalan Letkol Isdiman no. 17 seberang Rumah Bersalin Panti Nugroho Purbalingga. Kalimat yang secara refleks mengingatkan saya pada salah satu karya pribadi dalam bentuk audio stories yang ditayangkan sebuah media lokal, "Kita dan Secangkir Kopi". Beda ya ? Ah, sudahlah... anggap saja mirip. Dan apakah saya bertemu Rio seperti dalam kisah yang saya tulis berminggu-minggu itu ? Tentu saja tidak. Karena s...

Anak-anak Muda ini Kerrrrreeeeennnn !!

Dari ujung telepon di negeri (begitu mereka menyebut wilayahnya) sana, seseorang ini berkata "Kesenangan itu bukan berarti nekat". Saya mengulum senyum membayangkan berapa prosentase kesenangan dan kenekatan untuk berbincang dengannya. Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Bukan kawan lama yang berucap. Namun dia (dan mereka) membawa udara segar ditengah pengapnya rutinitas. Mereka inilah sebagian kecil anak muda Purbalingga yang membuat saya iri. Terutama pada semangatnya. Tidak yang menggebu-gebu sih tapi kontinyu. Sessi obrolan ngalor ngidul ini memang dilakukan atas nama pekerjaan. Beruntung keenam anak muda ini sudah sangat akrab dengan media. Hampir tidak ada kesulitan membuat insertion mengenai mereka selain durasi yang hanya diplot 5 menit. Program ini saya garap untuk salah satu media penyiaran publik lokal di Purbalingga. Lalu, siapa sajakah mereka ? Dengan rekomendasi beberapa kawan pewarta daaaaan..... emmmm stalking di sosmed (eh, nggak murni stalking lho ya), jadila...