Langsung ke konten utama

Postingan

Anak-anak Muda ini Kerrrrreeeeennnn !!

Dari ujung telepon di negeri (begitu mereka menyebut wilayahnya) sana, seseorang ini berkata "Kesenangan itu bukan berarti nekat". Saya mengulum senyum membayangkan berapa prosentase kesenangan dan kenekatan untuk berbincang dengannya. Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Bukan kawan lama yang berucap. Namun dia (dan mereka) membawa udara segar ditengah pengapnya rutinitas. Mereka inilah sebagian kecil anak muda Purbalingga yang membuat saya iri. Terutama pada semangatnya. Tidak yang menggebu-gebu sih tapi kontinyu. Sessi obrolan ngalor ngidul ini memang dilakukan atas nama pekerjaan. Beruntung keenam anak muda ini sudah sangat akrab dengan media. Hampir tidak ada kesulitan membuat insertion mengenai mereka selain durasi yang hanya diplot 5 menit. Program ini saya garap untuk salah satu media penyiaran publik lokal di Purbalingga. Lalu, siapa sajakah mereka ? Dengan rekomendasi beberapa kawan pewarta daaaaan..... emmmm stalking di sosmed (eh, nggak murni stalking lho ya), jadila...

Saat MBAH SUMIRAH Berkisah

Pertemuan kami ini tidaklah disengaja. Tanpa janji dan bahkan tanpa saling mengenal. Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Mukanya terlihat kaget ketika saya merasakan daun pintu itu terbuka. "Siapa ya?", tanya ia bergetar. Setelah menyebut nama, sayapun disilakan duduk di ruang tamunya yang cukup lebar. Ada dua set mebelair tertata rapi. Khas ruang tamu rumah lawas yang penuh dengan banyak kursi. Beberapa menit setelah ia kembali dari kamarnya, "Sebenarnya saya mau ke kantor. Tapi tidak apa-apa kalau Nak ini mau ketemu". Ucapannya ini membuang rasa tidak enak saya yang suka slanang-slonong. Dan kisah demi kisah pun terlontar dari perempuan sepuh bernama Sumirah Soetardjo ini. Mbah Sumirah adalah seorang veteran Pejuang Pembela Kemerdekaan RI di Purbalingga. Dari beberapa perempuan pejuang seumurnya, ia yang paling sehat di usia senjanya.Perannya dalam perjuangan memang bukan sebagai pemanggul senjata. Namun kegesitannya sangat dibutuhkan untuk mengumpulkan dana bagi ten...

TUK WINONG

"Kalau tidak kebeneran, pulang dari sini bisa sakit", katanya saat mengantar kami menuju pesarean Eyang Kertapati siang itu.  Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Sabtu siang di musim kemarau dampak el-Nino, salah seorang atasan mengajak saya mengunjungi sebuah mata air yang tak pernah kering. Bahkan pada musim kemarau sekalipun. Tuk ini berada di Kali atau Sungai Kabong grumbul Padaurip, dukuh Loji, desa Prigi. Saat itu matahari sudah hampir menuju puncaknya. Namun gemericik air yang terdengar sepanjang ladang jagung yang kami lalui terasa menyejukkan. Pak Mad Wiyardi, salah seorang sesepuh yang mengantar kami ke lokasi menyarankan sowan sejenak di pesarean Eyang Kertapati. Leluhur desa sekaligus 'penjaga' Tuk Winong. Dalam bahasa Jawa Banyumasan, pria sepuh yang kini sibuk bertani ini memintakan ijin kedatangan kami siang itu. Ketika ditanya maksud dan tujuan, kami serempak menjawab, "sekedar main". Karena memang itu tujuan awal kami. Yang ada dibenak kami adal...

ALUN-ALUN PURBALINGGA

"Ana Ndara Kanjeng, nyembah.. nyembah", kenang Mbah Jupri saat diajak berbincang seputar Alun-alun Purbalingga. Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Memori masa kecil pria sepuh yang dikenal sebagai penjual dawet keliling ini berbeda jauh dari apa yang saya temui dua dekade silam. Tak hanya jaman yang berubah, nilai Alun-alun sebagai tradisi Nusantara pun seolah menguap. Kini kita melihatnya semata hanyalah taman luas di pusat kota yang dikelilingi Kantor Pemerintahan, Masjid, Pasar dan Penjara.  (Ket foto : Alun-alun Purbalingga tempo dulu) Alun-alun memang sangat identik dengan pusat kota. Bahkan Alun-alun sudah menjadi salah satu identitas bagi kota-kota di Pulau Jawa yang berlangsung sejak masa Pra-Kolonial. Secara pasti kapan dan dimana Alun-alun pertama dibentuk memang tidak ada catatannya. Namun menurut informasi yang bersumber dari Wacananusantara.org, pada rentang abad ke-13 sampai 18 atau pada masa Majapahit hingga Mataram, Alun-alun selalu menjadi bagian dari suatu komp...

KAMPEL WANGON

Musim dingin ini memaksa kita untuk terus dan terus mengunyah agar tak kehilangan panas tubuh.  Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Selain menu-menu berkuah, jenis gorengan pun tak ketinggalan disajikan sebagai teman minum kopi atau teh panas. Salah satu yang bisa jadi pilihan adalah Kampel. Ya, atis-atis ya cocoke kampelan (*). Haaaiiiizzzzz..... Tak pelak ocehan seorang kawan asli Ajibarang ini memancing keriuhan. Otak-otak mulai berputar mencari topik yang lebih hangat lagi. Hahaha.. Bicara soal Kampel, inilah menu khas daerah Wangon, Banyumas. Salah satu marga gorengan yang malah mengingatkan saya pada sandwich. Rotinya adalah irisan ketupat, inti atau isinya diganti dengan dage dan sausnya menggunakan sambal ulek yang pedesssss. Susun sandwich khas Wangon ini dengan rapi dan celupkan ke adonan tepung goreng dan.... sreeeeenngg. Suapan pertama Kampel ini terasa aneh dimulut saya. Ada efek kenyal dari ketupat yang berpadu dengan rasa khas dage yang manis-gurih-pahit plus sambelnya ...

MERIAHNYA FESTIVAL GUNUNG SLAMET

Festival Gunung Slamet (FGS) memang belum bisa disebut kelar. Namun rangkaian prosesi tradisi sudah bisa dipastikan selesai dihelat. Inilah Festival budaya pertama yang saya saksikan di Purbalingga. Berlokasi di Desa Wisata Serang, FGS digelar selama 3 hari berturut-turut mulai tanggal 4 hingga 6 Juni 2015 ini. Oleh : Anita Wiryo Rahardjo HARI PERTAMA    (keterangan foto : kirab budaya hari ketiga) Keramahan penduduk lokal dan keterbukaan mereka untuk membagi banyak informasi membuat saya menyesal melewatkan helatan hari pertama yang justru penuh dengan nuansa sakralnya. Informasi yang saya dapatkan dari teman-teman media menyebut bahwa hari pertama FGS dilalui dengan perjalanan melewati jalan menanjak menuju Tuk Sikopyah di Dukuh Kaliurip. Inilah salah satu dari tiga mata air terbesar di lereng timur Gunung Slamet selain sumber air panas Guci dan Baturaden. Tak hanya penduduk Serang, mereka yang berasal dari Kutabawa, Siwarak, hingga perbatasan dengan Tegal dan Pemalang. A...

TLAGA KUTASARI, WISATA MURAH MERIAH BERTUAH

Setiap akhir pekan menyapa, pasangan muda-mudi dekat rumah sering berseloroh, “Ikut kami yuk, ke Tlaga”. Hmmmm, bener nih mau acara pacarannya saya gangguin ? Saya sih mau-mau saja, tapi takut akting sok tenggelamnya saya, bikin sang cowok berpaling dari pacarnya. Ups !! Eh, tapi nggak mungkin banget sih untuk pura-pura tenggelam di Tlaga ini. Yang ada kita benar-benar NYATA merasakan kedinginan. Brrrrrr. Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Kolam ini terletak di salah satu sisi Tlaga. Pada malam Kliwon konon ada juga yang semedi di gundukan di tengah itu. Tlaga ini merupakan objek wisata lokal yang terletak di dusun Tlaga, desa Karang Cegak, Kutasari. Dari SMK Kutasari kita tinggal belok kiri dan…… tanya orang saja kalau bingung. *Ampppuuun, suer saya orangnya nyasaran. Penduduk setempat memang sudah sangat paham dengan Tlaga bernama Situ Tirta Marta ini. Tempat ini akan sangat ramai dikunjungi saat weekend, hari libur maupun malam Kliwon. Heemm, sepertinya tempat ini dipercaya bertuah nih...