Pertemuan
kami ini tidaklah disengaja. Tanpa janji dan bahkan tanpa saling mengenal.
(Oleh : Anita W.R.)
Mukanya
terlihat kaget ketika saya merasakan daun pintu itu terbuka. "Siapa ya?", tanya ia bergetar.
Setelah menyebut nama, sayapun disilakan duduk di ruang tamunya yang cukup
lebar. Ada dua set mebelair tertata rapi. Khas ruang tamu rumah lawas yang
penuh dengan banyak kursi.
Beberapa
menit setelah ia kembali dari kamarnya, "Sebenarnya saya mau ke kantor. Tapi tidak apa-apa kalau Nak ini mau
ketemu". Ucapannya ini membuang rasa tidak enak saya yang suka slanang-slonong. Dan kisah demi
kisah pun terlontar dari perempuan sepuh bernama Sumirah Soetardjo ini.
Mbah
Sumirah adalah seorang veteran Pejuang Pembela Kemerdekaan RI di Purbalingga.
Dari beberapa perempuan pejuang seumurnya, ia yang paling sehat di usia
senjanya.Perannya
dalam perjuangan memang bukan sebagai pemanggul senjata. Namun kegesitannya
sangat dibutuhkan untuk mengumpulkan dana bagi tentara, menjadi mata-mata
hingga memasak untuk tentara. Ia memulai pengabdiannya sejak belia. Bersama
ketiga rekannya yang saat itu masih sama-sama berstatus pelajar di HIS (lokasi
SMP N 1 Purbalingga sekarang), yang kesemuanya perempuan, ia beraksi. Dengan
menyusuri sawah dan sungai mereka dibagi menjadi dua team guna menemui para
pegawai Belanda yang berjiwa Indonesia. "Saya minta uang, sabun, makanan atau rokok ke pegawai Belanda yang
berjiwa Republik. Bisa minta ke DP atau pegawai kereta api misalnya. Yang
penting jiwanya Republik", tandasnya. DP adalah sebutan untuk District
Politie.
Tidak
hanya itu, Mbah Sumirah pun bertugas mengambil surat rahasia yang berisi kapan
'operasi' di desa-desa dilakukan oleh Belanda. "Saya ngambilnya di markas Belanda, sekarang Kodim sana. Ya
sembunyi-sembunyi. Lewat belakang. Kalau lewat depan ya di dor",
katanya. Tanpa menceritakan siapa identitas tentara Belanda yang mau memberikan
surat itu padanya. Sumirah hanya menyebutnya "tentara Belanda yang
negro". Misi ini tak selamanya berhasil. Kadang surat yang dijanjikan tak
terletak ditempat yang dimaksud. Mungkin karena situasinya tidak memungkinkan.
Kadang juga keberadaannya tertangkap mata Belanda yang membuatnya harus lari
terbirit-birit nyucruk sungai. Sebuah pilihan lari yang menurutnya sulit
diikuti musuh. Beruntung rakyat yang ditemuinya di sepanjang jalur pelariannya
selalu membantu hingga ia selamat dari kejaran marabahaya.
"Yang jelas saya nggak berani lewat kota.
Bagaimanapun Belanda lama-lama hapal dengan muka saya dan teman-teman
seperjuangan. Sehingga sayapun pindah sekolah di sini saja",
kenangnya. Di dekat rumahnya ternyata terdapat sekolah dasar yang hingga kini
masih berjalan. Kepindahan ini tentunya agar tak semakin mengancam
nyawanya. "Saya kalau mau lihat
situasi di kota, harus pura-pura nyamar jadi kayak orang mau ke pasar. Bawa
tenggok. Kadang dari rumah sudah diisi gula jawa. Kalau ketemu mereka, saya
pura-puranya bilang mau jual gula di pasar," katanya sembari
tersenyum.
Apapun
dilakukan Sumirah untuk mendapatkan informasi dan bantuan untuk para tentara.
Bagaimanapun kenangan masa kecilnya yang harus digendong sang kakek berlarian
mengungsi saat Belanda patroli begitu membekas dihatinya. "Saya berjuang tidak disuruh. Itu dari dalam
hati saya sendiri", ucapnya mantap. Sumirah sendiri berasal dari
keluarga terpandang kala itu. Bapaknya saja seorang kepala desa, namun ia tak
berlindung dibalik kekuasaan besar itu. Ia memilih berjuang diluar rumah dengan
cara-cara yang mungkin dilakukan oleh seorang perempuan. Kebetulan pada masa
agresi militer itu, para pelajar juga sebagian ditugasi menjadi mata-mata. Dan
Sumirah adalah salah satunya.
Keberhasilan
yang kerap diraihnya membuat ia sering diledek oleh para tentara. "Saya dikira ditaksir tentara Belanda sama
teman-teman seperjuangan", kekehnya mengenang. Sebenarnya mungkin
saja, toh hingga kini raut ayu masih terpancar di wajahnya. Namun Sumirah
memilih menjatuhkan hati pada seorang tentara Republik saat itu.
Kini
Sumirah menikmati masa senjanya sebagai veteran dan istri veteran. "Alhamdulillah tunjangan lancar, danhor (dana
kehormatan) juga dapat", ucapnya sembari mengakhiri obrolan yang tak
terasa telah satu jam itu. Sayapun bergegas pamit, mengingat Mbah Sumirah sudah
harus bertugas piket di kantor LVRI Purbalingga.
Komentar
Posting Komentar