Langsung ke konten utama

Postingan

TUK WINONG

"Kalau tidak kebeneran, pulang dari sini bisa sakit", katanya saat mengantar kami menuju pesarean Eyang Kertapati siang itu.  Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Sabtu siang di musim kemarau dampak el-Nino, salah seorang atasan mengajak saya mengunjungi sebuah mata air yang tak pernah kering. Bahkan pada musim kemarau sekalipun. Tuk ini berada di Kali atau Sungai Kabong grumbul Padaurip, dukuh Loji, desa Prigi. Saat itu matahari sudah hampir menuju puncaknya. Namun gemericik air yang terdengar sepanjang ladang jagung yang kami lalui terasa menyejukkan. Pak Mad Wiyardi, salah seorang sesepuh yang mengantar kami ke lokasi menyarankan sowan sejenak di pesarean Eyang Kertapati. Leluhur desa sekaligus 'penjaga' Tuk Winong. Dalam bahasa Jawa Banyumasan, pria sepuh yang kini sibuk bertani ini memintakan ijin kedatangan kami siang itu. Ketika ditanya maksud dan tujuan, kami serempak menjawab, "sekedar main". Karena memang itu tujuan awal kami. Yang ada dibenak kami adal...

ALUN-ALUN PURBALINGGA

"Ana Ndara Kanjeng, nyembah.. nyembah", kenang Mbah Jupri saat diajak berbincang seputar Alun-alun Purbalingga. Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Memori masa kecil pria sepuh yang dikenal sebagai penjual dawet keliling ini berbeda jauh dari apa yang saya temui dua dekade silam. Tak hanya jaman yang berubah, nilai Alun-alun sebagai tradisi Nusantara pun seolah menguap. Kini kita melihatnya semata hanyalah taman luas di pusat kota yang dikelilingi Kantor Pemerintahan, Masjid, Pasar dan Penjara.  (Ket foto : Alun-alun Purbalingga tempo dulu) Alun-alun memang sangat identik dengan pusat kota. Bahkan Alun-alun sudah menjadi salah satu identitas bagi kota-kota di Pulau Jawa yang berlangsung sejak masa Pra-Kolonial. Secara pasti kapan dan dimana Alun-alun pertama dibentuk memang tidak ada catatannya. Namun menurut informasi yang bersumber dari Wacananusantara.org, pada rentang abad ke-13 sampai 18 atau pada masa Majapahit hingga Mataram, Alun-alun selalu menjadi bagian dari suatu komp...

KAMPEL WANGON

Musim dingin ini memaksa kita untuk terus dan terus mengunyah agar tak kehilangan panas tubuh.  Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Selain menu-menu berkuah, jenis gorengan pun tak ketinggalan disajikan sebagai teman minum kopi atau teh panas. Salah satu yang bisa jadi pilihan adalah Kampel. Ya, atis-atis ya cocoke kampelan (*). Haaaiiiizzzzz..... Tak pelak ocehan seorang kawan asli Ajibarang ini memancing keriuhan. Otak-otak mulai berputar mencari topik yang lebih hangat lagi. Hahaha.. Bicara soal Kampel, inilah menu khas daerah Wangon, Banyumas. Salah satu marga gorengan yang malah mengingatkan saya pada sandwich. Rotinya adalah irisan ketupat, inti atau isinya diganti dengan dage dan sausnya menggunakan sambal ulek yang pedesssss. Susun sandwich khas Wangon ini dengan rapi dan celupkan ke adonan tepung goreng dan.... sreeeeenngg. Suapan pertama Kampel ini terasa aneh dimulut saya. Ada efek kenyal dari ketupat yang berpadu dengan rasa khas dage yang manis-gurih-pahit plus sambelnya ...

MERIAHNYA FESTIVAL GUNUNG SLAMET

Festival Gunung Slamet (FGS) memang belum bisa disebut kelar. Namun rangkaian prosesi tradisi sudah bisa dipastikan selesai dihelat. Inilah Festival budaya pertama yang saya saksikan di Purbalingga. Berlokasi di Desa Wisata Serang, FGS digelar selama 3 hari berturut-turut mulai tanggal 4 hingga 6 Juni 2015 ini. Oleh : Anita Wiryo Rahardjo HARI PERTAMA    (keterangan foto : kirab budaya hari ketiga) Keramahan penduduk lokal dan keterbukaan mereka untuk membagi banyak informasi membuat saya menyesal melewatkan helatan hari pertama yang justru penuh dengan nuansa sakralnya. Informasi yang saya dapatkan dari teman-teman media menyebut bahwa hari pertama FGS dilalui dengan perjalanan melewati jalan menanjak menuju Tuk Sikopyah di Dukuh Kaliurip. Inilah salah satu dari tiga mata air terbesar di lereng timur Gunung Slamet selain sumber air panas Guci dan Baturaden. Tak hanya penduduk Serang, mereka yang berasal dari Kutabawa, Siwarak, hingga perbatasan dengan Tegal dan Pemalang. A...

TLAGA KUTASARI, WISATA MURAH MERIAH BERTUAH

Setiap akhir pekan menyapa, pasangan muda-mudi dekat rumah sering berseloroh, “Ikut kami yuk, ke Tlaga”. Hmmmm, bener nih mau acara pacarannya saya gangguin ? Saya sih mau-mau saja, tapi takut akting sok tenggelamnya saya, bikin sang cowok berpaling dari pacarnya. Ups !! Eh, tapi nggak mungkin banget sih untuk pura-pura tenggelam di Tlaga ini. Yang ada kita benar-benar NYATA merasakan kedinginan. Brrrrrr. Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Kolam ini terletak di salah satu sisi Tlaga. Pada malam Kliwon konon ada juga yang semedi di gundukan di tengah itu. Tlaga ini merupakan objek wisata lokal yang terletak di dusun Tlaga, desa Karang Cegak, Kutasari. Dari SMK Kutasari kita tinggal belok kiri dan…… tanya orang saja kalau bingung. *Ampppuuun, suer saya orangnya nyasaran. Penduduk setempat memang sudah sangat paham dengan Tlaga bernama Situ Tirta Marta ini. Tempat ini akan sangat ramai dikunjungi saat weekend, hari libur maupun malam Kliwon. Heemm, sepertinya tempat ini dipercaya bertuah nih...

TUGU PERINGATAN SETENGAH ABAD HARI KEBANGUNAN NASIONAL

Tugu Peringatan Setengah Abad Hari Kebangunan Nasional. Inilah kalimat yang tertera dalam prasasti pada tugu ini. Sudah bisa menebak tugu apa yang saya maksud ? #Deng-dong!!. Sudah lah, tidak usah memaksakan diri menerka pada tugu di Purbalingga sebelah mana kita bisa menemukan prasati ini. Karena sebagian besar orang memang tidak menyadarinya. Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Prasasti ini sebenarnya bisa dengan mudah kita saksikan di replika Tugu Bancar yang kini berdiri di Taman Maerakaca, tak jauh dari Jembatan besar Klawing. Tugu ini termasuk salah satu icon Purbalingga. Bagi yang pernah berwisata kuliner es duren atau masuk ke kompleks Badog Center pastilah bisa dengan mudah melirik keberadaannya. Duuulu sekali orang pernah menyebutnya sebagai tugu totogan Bancar. Sebagian lagi menjulukinya Monas kecil. Sebuah tugu peringatan pastilah dibangun bukan tanpa alasan. Begitupun dengan tugu yang dibangun pada 1958. Kapan pengerjaannya memang tidak diketahui secara pasti. Saya hanya mene...

Jombronge Ninine Sapa Kiye Lah

"Apa ini ?". Yap,  kalimat itulah yang terucap dari seorang kawan yang tengah membongkar file di kamera saku saya. Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Keningnya berkerut entah menandakan penasaran atau perasaan tak tentu melihat menu unik ini. Perkenalkan namanya sayur JOMBRONG. " What ???!! Gerandong ???!!". Ups !! Pastikan telinga tak fals mendengar kata ini ya. Ingat, JOM-BRONG. Saya mendapatinya di salah satu warung makan bergaya rumahan di dusun Telaga, desa Karang Cegak, Kecamatan Kutasari, Purbalingga. Ini adalah menu khas dan turun temurun sejak tahun 1986. Bahan dasarnya adalah : kedelai hitam yang ditumis pedas bersama tempe kedelai hitam. Yes, daerah Kutasari memang banyak memproduksi tempe kedelai hitam yang berasa lebih "klethis-klethis" di lidah saya. Tumis yang luar biasa kering (terlihat tanpa kuah sama sekali) ini masih dimasak diatas tungku kayu bakar dalam dapuran sederhana dibelakang rumah makan Ninine. Ninine adalah panggilan ...