Langsung ke konten utama

Postingan

YUUK,.. KE MUSEUM USMAN JANATIN

Let's sing along : "Museumku, dihatiku, aku berguru kepadamu,..". Ehem,.. nggak bisa ikutan nyanyi ini yah ? Nggak salah juga sih. Kalau saya tidak bekerja di sebuah media yang mendapat sample jingle "Ayo Ke Museum" juga nggak akan ngerti kok. Apalagi tempat sejenis ini memang terbilang bukan tujuan wisata favorit. Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Bicara soal Museum, Purbalingga juga punya beberapa museum yang (semestinya) kita kunjungi. Museum Daerah Prof. Dr. Soegarda Poerbakawatja, Museum Wayang & Artefak, Museum Uang atau yang paling baru diresmikan Museum Usman Janatin. USMAN JANATIN Nama Usman Janatin di tanah kelahirannya, Purbalingga, memang tidak segaung Jendral Soedirman. Namanya mulai dibicarakan masyarakat Purbalingga sejak diabadikan pada sebuah taman kota yang berlokasi di eks Pasar Lawas. Namun lagi-lagi orang hanya mengenalnya sebatas nama. Padahal Usman Janatin merupakan sosok Pahlawan Nasional asli Purbalingga yang telah menorehkan namanya pad...

KLENTENG HOK TEK BIO PURBALINGGA

Nggak berasa, udah nyampe Cap Go Meh aja nih. Klenteng tentu saja masih ramai sampai tanggal 15 Imlek 2566 Kongzili ini berakhir. Oleh : Anita Wiryo Rahardjo  Jelang Imlek kemarin pun saya menyempatkan diri ke Klenteng Hok Tek Bio di Jalan Sidodadi, Kandang Gampang. Laaammma banget rasanya baru ngeliat tempat ini lagi. Saya sendiri bukanlah penganut Tri Dharma. Saya hanya sering melewatinya ketika berangkat ke SMA dulu. Dulu, Klenteng Hok Tek Bio berada tepat di tikungan jalan Sidodadi. Menurut salah seorang sesepuh warga keturunan Tionghoa, Ambing Setiawan, semula Klenteng Purbalingga bernama Klenteng Hok Tek Cheng Sin (mohon maaf jika salah penulisan nama) sesuai nama Para Suci yang menjadi tuan rumahnya.  "Tapi karena nama Para Suci ini tidak semestinyalah jadi nama Klenteng, makanya kami sepakat menggantinya menjadi Hok Tek Bio", ungkapnya di sela-sela aktivitas berdagangnya siang itu. Klenteng ini sudah ada sejak tahun 70'an dan menjadi satu-satunya Tempat Ibadah T...

Secangkir Teh Manis & Legitnya MANCO siang itu

Pada dasarnya saya tidak terlalu suka ngemil. Saat menulis saya lebih memilih ditemani secangkir kopi tanpa gula. Tidak ada cemilan apapun. Karena memang tidak suka. Bukan masalah takut gemuk kok, wong saya bakat kurus. Tapi bekerja di lingkungan yang suka coba-coba kuliner, saya pun jadi terbawa (meski saat bareng-bareng saja, saya jadi suka ngemil). • Oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Dan seorang teman menyarankan untuk mencoba MANCO. Weits, mata saya membelalak. Ingat jaman kecil saat masih ngekor kondangan. Hahaha, banyak Manco itttuuu. Iya kan ? Biasanya disajikan di toples kaca besar dan berat. Keliatan isinya tuh dari luar. Bentuknya lonjong dengan wijen yang nempel di sekelilingnya. Kadang jadi oleh-oleh juga bareng sohibnya yaitu kue lempit , semprong , sempeleo dsb. Aaaaahhh, jadi kangen jajanan macam begitu. Sudah jarang banget nemuinnya. ASLI TIONGKOK Dari namanya saja, Manco ini terdengar bukan diambil dari bahasa Jawa. Dan memang benar dugaan ini, karena menurut salah s...

MENGENAL JEMBLUNG LEBIH DEKAT

Jemblung. Biasanya mengikuti kata dalang. Ya betul, Dalang Jemblung. Bukan dalang gemblung loh. Karena jemblung mengacu pada suatu bentuk berbeda dari pementasan wayang. Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Pengganti Wayang Kulit Sebagai warga wilayah yang dilarang nanggap wayang kulit, orang tua kami sering menceritakan "jemblungan". Masalahnya hingga kini belum sekalipun melihat pementasan dalang jemblung.  Ki Dalang Tarko "Gareng" mengungkapkan jika jemblung saat ini sudah mulai ditinggalkan. "Jujur, jika kami diminta satu panggung dengan kesenian lain kami tentu saja kalah. Kami lebih cocok dibuatkan panggung yang memang untuk tanggapan, biasanya ruwatan atau panggung apresiasi. Diluar itu kami sering ditinggal bubar penonton", kisahnya. Seruwet itukah ? foto saya ambil dari KratonPedia Jemblung banyak berkembang di Banyumas Raya. Sebuah seni yang sudah ada sejak turun temurun. Tarko Gareng sebagai pelaku jemblungan mengaku mengenal seni ini dari leluhurnya....

2015 Tahunnya Desa Wisata

2015 ini, kalau menurut seorang teman yang berprofesi sebagai tour guide adalah tahunnya desa wisata. Mengapa bisa demikian ?  • oleh : Anita Wiryo Rahardjo Katanya sih karena orang-orang sudah mulai bosan dengan objek wisata buatan yang hanya itu-itu saja. Orang-orang sudah mulai menginginkan suasana pedesaan yang masih bersih dan asri dengan keramahan dan kesahajaannya yang mbetahi . Bagaimana dengan saya ? Mungkin karena saya asli orang ndusun, tanpa tren atau apa, kampung halaman itu memang jauh lebih anteb di pikiran. Bicara soal desa wisata, Purbalingga sendiri sudah dikenal dengan desa wisata Karang Banjar-nya. Gelung bunder adalah trade marknya selain Bumper &Taman Reptil. Namun sebenarnya selain itu ada juga desa wisata Siwarak yang terkenal dengan Gua Lawa-nya. Dan terbaru ada 4 lokasi yang digagas menjadi desa wisata yaitu : Serang, Limbasari, Tanalum & Panusupan.  Nah, akhir tahun lalu, saya sempat bertemu dengan Pak Isro Hidayat dan Pak Hadiman dari Pok...

MENITI JEMBATAN LEGENDARIS CURUG SIPUTUT

Agenda travelling saya kali ini adalah Curug Siputut. “What ?!?! Curug lagi ?!?!”, pekik seorang teman. Hehe, betul sekali, curug.  • Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Meski dikomplain, tapi kalau saya masih belum bosan. Lha wong ada jargon Purbalingga Kota 1000 Curug kok. Meski tidak tahu juga seribu titiknya dimana saja. Namanya juga jargon. Nah, dari namanya sih Curug Siputut terbilang famous ya bagi orang-orang disini. Identik dengan “jembatan besi” yang melintang diatasnya. Berikut hasil googling lokasi curug : Curug Siputut is a waterfall(s) and is located in Central Java, Indonesia. The estimate terrain elevation above seal level is 357 metres. Variant forms of spelling for Curug Siputut or in other languages: Curug Siputut (id), Curug Siputut. Latitude: -7°17'7.01" Longitude: 109°20'1" JEMBATAN LEGENDARIS Curug Siputut sebenarnya masuk dalam wilayah desa Serayu larangan, Mrebet. Namun loaksi curugnya juga sangat dekat dengan desa Talagening, Bobotsari. Jadi, monggo ...

Ke PRASASTI CIPAKU yuuukkk

Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, bahwa desa Cipaku Mrebet menyimpan banyak potensi cagar budaya yang masih terjaga kondisinya sampai saat ini. Sebagian besar koleksi ini diselamatkan dan ditempatkan di museum milik perorangan " Lokastithi Giri Badra " yang dibuka 24 jam non stop. Oleh : Anita Wiryo Rahardjo Namun yang tak kalah istimewa adalah keberadaan batu raksasa di sebelah museum ini. Batu yang bisa dibilang seukuran gajah gemuk dengan goresan-goresan huruf yang sangat sulit dibaca umum. Warga setempat mengenalnya sebagai Watu Tulis dan secara resmi terdata sebagai Prasasti Cipaku. Berbicara tentang prasasti, temuan di Cipaku ini jadi terasa menarik. Prasasti biasanya merujuk pada suatu benda yang mengandung tulisan. Nah, seperti kita tahu tulisan ini menjadi penanda berakhirnya masa prasejarah dan dimulainya zaman sejarah. Jadi, bisa dong kita menyebutnya lebih modern dari zaman batu. Karena umumnya dikenal mulai masa klasik Hindu-Budha. Sampai sekaran...