Agenda
travelling saya kali ini adalah Curug Siputut. “What ?!?! Curug lagi ?!?!”, pekik seorang teman. Hehe, yuph betul
sekali, curug. Meski dikomplein, tapi kalau saya masih belum bosan, gemana coba ? J Lha wong
ada jargon Purbalingga Kota 1000 Curug kok. (Hehehe, perasaan yang ada tagline desa
wisata Tanalum, negeri seribu curug deh ya ?) Allright, nggak usah dipikir banget, intinya sih saya cuma
ikut-ikutan saja menggunakan jargon tersebut. Sambil terus ngitung berapa “ratus” curug yang
sudah saya datangi di kota ini. *Nyengir
sambil ngeloyor.
Nah,
dari namanya sih Curug Siputut terbilang famous ya bagi orang-orang disini.
Identik dengan “jembatan besi” yang melintang diatasnya.
Berikut hasil googling lokasi curug :
Curug Siputut is a waterfall(s) and is located in Central Java,
Indonesia. The estimate terrain elevation above seal level is 357
metres. Variant forms of spelling for Curug Siputut or in other
languages: Curug Siputut (id), Curug Siputut.
Latitude: -7°17'7.01"
Longitude: 109°20'1"
Longitude: 109°20'1"
JEMBATAN
LEGENDARIS

Dari
pemukiman terakhir penduduk di desa Talagening, kita akan menemukan lahan yang
cukup luas. Biasanya, pengunjung banyak yang memarkir kendaraannya sampai
disini. Tapi, biar lebih save lagi, mending titipkan saja kendaraan langsung ke rumah
penduduk. Karena lahan tersebut memang bukan area parkir resmi yang memiliki
petugas parkir. Nah, dari sini kita tinggal turun saja dan bersiaplah untuk
menyeberangi the legend bridge. Hahaha,
nggak ada istilah begini deng aslinya. Mata saya dibuat takjub dengan
kondisi dibawah sana. Wow !!!
Dua
teman sudah mulai berteriak histeris melihat saya bersiap turun. “Jangan turun Noookk, belum married,..”.
Weitzzz, apa hubungannya? Maklum sajalah mereka memang termasuk golongan
emak-emak. Hehe, mungkin inget anak gadisnya kali ya.
Tapi
kekhawatiran mereka ada benarnya juga. Baru saja satu pijakan anak tangga, hati
saya sudah berdesir. Saya mulai membayangkan kalau-kalau pijakan saya diatas
besi yang terlihat rapuh ini malah justru akan membuatnya patah. Padahal sih
kalau sudah dijalanin ya nggak akan
patah. Besi ini masih jauh lebih kuat dari saya kok, meski kelihatannya sudah
tinggal menunggu “kreeek”nya saja. Dari jauh saya masih sempat melihat seorang
warga juga tengah menyeberangi jembatan dibawah sana. Se-ngeri apapun, inilah
jalan yang mau tidak mau harus dilalui warga Talagening untuk menuju Serayu
Larangan dengan cepat. Begitupun sebaliknya.
KEKURANGAN
AIR
Tidak
hanya sebagai jalur transportasi, jembatan inipun memiliki pipa-pipa besar yang
menempel di badannya. Pipa ini membantu mengalirkan air ke pemukimanwarga di
sekitar curug. Bahkan beberapa warga Talagening yang ikut menemani jalan-jalan
kami pun mengatakan jika air dari Curug Siputut ini memang menjadi sumber air
warga yang sangat vital.
Keluarga
Wiyardi yang menemani kami siang itu mengungkapkan jika tanah Talagening yang
dihuninya termasuk daerah yang kering. Bahkan penggalian sumur pun belum tentu
menghasilkan. “Ngantos puluhan meter mba,
mboten medal acan toyane”, keluhnya. Oleh karenanya mereka pun berinisiatif
memanfaatkan air dari Curug Siputut ini. Dan inilah yang membuat banyak sekali
pipa air melayang-layang diatas kepala kami. “Jembatan dan selang-selang itu sudah dibangun sejak 1990 dan belum
pernah sekalipun diperbaiki”, tutur Wiyardi dalam bahasa Jawa yang kental.
Selain
Curug Siputut, mereka pun memanfaatkan air langsung dari mata air yang tak
pernah kering yaitu tuk Dandang di Serayu Larangan. Konon, air Curug Siputut
pun berasal dari tuk Dandang ini. Keberadaan tuk ini erat kaitannya dengan
legenda desa Serayu Larangan. Keberadaan sumber air ini dimanfaatkan untuk
irigasi sawah warga yang ada di sekitar curug serta kebutuhan harian warga
sekitar. Saat penghujan seperti ini, mereka tidaklah menghadapi kendalal
berarti. Namun ketika kemarau datang, Wiyardi mengaku sering kesulitan air
bersih. Padahal didekatnya ada mata air yang nggak pernah kering. Ironis nggak
sih?
Selain
menginginkan kecukupan air bersih saat kemarau, Wiyardi pun mengungkapkan
keinginannya agar jembatan legendaris segera diperbaiki. Selama ini
jembatan tersebut hanya bisa dilalui pejalan kaki. “Menawi langkung sae jembatane kan mangke montor saged nylenther mriko,
dados teng Serayune cepet”, ujarnya.
FOTO
DARI SEBERANG
Yap,
kalau dipikir-pikir dengan kondisi jembatan sekarang ini tentu saja membuat
orang awam tak berani melewatinya. Yaaah,.... kayak saya dan teman-teman saya
ini. Daripada saya diteriakin mulu suruh
balik sama emak-emak heboh, saya pun memilih menikmati suasana air
terjunnya dari seberang. Nyesel banget sebenarnya. Karena menurut informasi
yang saya peroleh, curug ini sebenarnya cukup aman bahkan bagi mereka yang nggak bisa renang sekalipun. Sayang,
siang itu tidak terlihat ada pengunjung lain.
Memang
sih, curug setinggi 30 meteran ini hanya ramai dikunjungi saat liburan saja.
Pengunjung akan betah menikmati deburan air yang mengalir dari patahan dengan
aliran sungai diatasnya. Areal persawahan diatasnya menambah asri view yang
ada. Belum lagi suara tonggeret dan serangga lainnya membuat saya luuuuppaaa
kalau saya sedang lapar berat. Hahahaha. Kalau lapar khan biasanya emosi ya,
nah ini suasananya cukup laah meredakan emosi saya.
Nah,
kabarnya sih jembatan legendaris itu bakal segera diperbaiki dalam waktu dekat.
Asyiiiikkk. Khan kalau jembatannya sudah lebih baik, saya nggak akan diteriakin teman-teman saya lagi kalau mau menyebrang
dan turun untuk merasakan sensasi curugnya secara langsung. Iya nggak ??
Komentar
Posting Komentar