Jemblung. Biasanya mengikuti kata dalang. Ya betul, Dalang Jemblung. Bukan dalang gemblung loh. Karena jemblung mengacu pada suatu bentuk berbeda dari pementasan wayang.
Pengganti Wayang Kulit
Sebagai warga wilayah yang dilarang nanggap wayang kulit, orang tua kami sering menceritakan "jemblungan". Masalahnya hingga kini belum sekalipun melihat pementasan dalang jemblung.
Ki Dalang Tarko "Gareng" mengungkapkan jika jemblung saat ini sudah mulai ditinggalkan. "Jujur, jika kami diminta satu panggung dengan kesenian lain kami tentu saja kalah. Kami lebih cocok dibuatkan panggung yang memang untuk tanggapan, biasanya ruwatan atau panggung apresiasi. Diluar itu kami sering ditinggal bubar penonton", kisahnya. Seruwet itukah ?
foto saya ambil dari KratonPedia
Jemblung banyak berkembang di Banyumas Raya. Sebuah seni yang sudah ada sejak turun temurun. Tarko Gareng sebagai pelaku jemblungan mengaku mengenal seni ini dari leluhurnya. Bahkan ia mengaku di keluarga sebagai generasi keempat dalang jemblung. Menurutnya jemblungan pada mulanya merupakan sebuah sarana yang dibuat sebagai pemersatu bangsa pribumi ditengah penjajahan Belanda melalui media hiburan. Selain tentunya sebagai ruwatan atau mbuang rereged anak-anak sukerto.
Sementara itu Rr. Sri Pamekas, Kasi Senitra dari Dinbudparpora memiliki pendapat berbeda. Jemblungan yang ia tahu adalah sebuah kesenian pada saat upacara Bayen. Bayen ini istilah untuk peristiwa kelahiran seorang bayi. Dulu, rumah tangga yang baru memiliku bayi akan ditunggu sejumlah kerabatnya. Dan agar tidak mengantuk saat berjaga malam, dihadirkanlah kesenian jemblung. Bukan sekedar tontonan namun juga tuntunan. Karena banyak sekali ilmu dan petuah bijak di dalamnya.
Nah, dahulu kesenian jemblung diperankan oleh satu orang saja. Sehingga kerap dikenal sebagai wiracarita. Wira artinya berani, dan carita ya bercerita. Jadi maksudnya adalah orang yang berani bercerita sendirian. Tentunya bukan asal bercerita nggak jelas ya.
Cerita yang dilisankan adalah kisah-kisah pewayangan Mahabharata atau Ramayana atau legenda-legenda lokal lainnya. Terutama juga kisah Umar Madi - Umar Maya (maksudnya Wayang Menak).
Dalam menjalankan aksinya ini Sang Dhalang akan ngomong sendiri, nembang sendiri, sampai nggamel sendiri. Nggamel disini bukan memainkan alat musik, melainkan melagukan suara instrument gamelan. Jadi jangan heran ketika mendengar mereka berucap "ToninoninoningGooong" kemudian dilanjut dengan "Kocap kacarito, bla-bla-bla". Atau dilain waktu ia pun memerankan adegan antawacana (dialog antar tokoh). Mirip wong gemblung dong. Ups. "Tapi memang banyak yang meyakini bahwa kata Jemblung ini bisa saja bermula dari pertunjukannya yang mirip wong gemblung itu", kata Ki Gareng disambung dengan kelakarnya yang khas.
Dan kini untuk membuat suasana makin gayeng maka Dalang Jemblung juga akan ditemani seorang pesinden wanita. Namun sekarang, jemblungan kerap menampilkan empat sampai tujuh orang. Kok rame-rame ?
Perkembangan Seni Jemblung
Salah seorang teman yang sudah lebih dulu meliput jemblungan membocorkan bahwa ada 4 orang berkostum tradisional mengelilingi meja pendek yang ditengah-tengahnya ada suguhan. Itu jugalah yang banyak dipraktekan belakangan ini. Semua itu pada dasarnya adalah karena perkembangan seni itu sendiri. Seni kan memang selalu berkembang. "Yang penting adalah tidak lari dari konsep awalnya saja", terang Sri Pamekas. Lalu Jemblungan yang ditonton temen saya dan dilakukan Ki Gareng itu gemana ya ? "Itu biar lebih gayeng saja. Jadi penontonnya tidak bosan. Kadang ada mereka juga kerap berperan menjadi tokoh-tokoh tertentu dalam cerita tersebut. Sebenarnya kalau menurut saya sih mereka ini sekumpulan Dalang Jemblung yang mentas dalam satu ruang", ujarnya. Serupa jamming kalau kata anak band mungkin ya.
Selain jumlah pemeran yang berkembang, konon apa yang disuguhkan ditengah meja pun ada sedikit perbedaan. Dulu, satu buah kudi (senjata khas Banyumas) adalah yang diletakkan diatas meja. Namun kini justru tersedia suguhan seperti wedang telon, wedang jembawuk, pisang, ampyang (rengginang), peyek, tumpi (peyek tanpa isian) dan sebagainya. Kok bedanya makin bikin saya ruwet nyari alurnya ya ?
Okay, kita mulai dari yang versi klasik dulu. Kudi. Kudi adalah senjata. Piandel. Dalam kehidupan, orang Jawa semestinya memiliki 7 hal yang salah satunya adalah senjata atau piandel atau gaman. Ini sebenarnya adalah simbol. Senjata ini adalah alat untuk membela diri. Nah, apa senjata paling ampuh ? Ya keyakinan dan ilmu pengetahuan. Jadi itulah mengapa dulu kemudian dipilih senjata untuk diletakkan di tengah meja.
(Gambar diunduh dari sini)
Terus mengapa sekarang jadi berubah ? Lagi-lagi ini hanya agar orang lebih betah saja untuk mendengar petuah. Biasanya dalam pementasan, saat bercerita Dhalang juga kerap menjadikan suguhannya sebagai pengganti wayang kulit. Walaah, bisa-bisa mas Cakil diperankan oleh tumpi nih ya.
Nah, uniknya lagi jika tokoh yang diperankan oleh suguhan tersebut dikisahkan kalah, maka dia akan langsung dilahap oleh sang Dalang. Dan adegan ini sangat dinantikan oleh penonton. "Tapi jangan tanya lho ya, benar atau tidak kalau habis makan itu penontonnya yang merasa kenyang hahahaha", kelakar Ki Gareng. Ya boleh percaya boleh tidak, ada yang menyebut apa yang baru saja masuk ke dalam perut sang Dalang justru akan memberi efek mengenyangkan penonton menyaksikannya. Semakin banyak yang dilahap semakin kenyang penonton. Masa sih ? "Hahaha, mungkin karena sebelum nonton, mereka makan dulu jadi kenyang", gurau Ki Gareng.
(Foto : Ki Dalang Slamet Gundono inipun kerap memadukan seni jemblung dengan seni dalang lainnya. Hmmm, pantes Ki Gareng sangat mengidolakannya. Foto saya unduh dari beritane.com)
Tawa khas Ki Gareng yang membahana di tengah hujan membuat saya makin larut dalam obrolan jelang senja itu. Saya melihat semangatnya yang luar biasa untuk membagikan ceritanya itu. Meski diakuinya, kini hanya sedikit orang berniat menanggap Jemblungan. Ada anak muda yang tanya saja sudah bersyukur banget katanya.
Sekarang ini selain ruwatan, paling hanya acara kaul atau hajatan di desa saja yang masih menampilkan Jemblungan. Bagaimana dengan revitalisasi ? Sri Pamekas angkat bicara mengenai hal ini. "Tahun ini memang belum, tapi rencana 2016 kami anggarkan revitalisasi Jemblungan. Karena bagaimana pun Jemblungan adalah seni tutur lisan yang pesannya harus sampai pada generasi saat ini ", ungkapnya.
Well, masih banyak sebenarnya yang belum saya tuliskan disini. Tapi saya menyimpulkan sepakat pada kedua orang ini seiya sekata mengucap "Melalui kesenian tradisional inilah, kita justru bisa menguatkan jati diri bangsa"
Komentar
Posting Komentar