MENGENAL JEMBLUNG LEBIH DEKAT


Ini adalah salah satu bagian favorit saya. Bagaimana tidak ? Untuk bertemu dan berbincang dengan "mereka" ini saya butuh waktu bertahun-tahun. Mereka sebenarnya bukan orang baru dalam pergaulan saya. Tapi berbincang dengan tema "Jemblung" baru bisa terwujud beberapa pekan lalu. Pun tanpa sengaja, tanpa rencana.

Apa sebenarnya yang membuat saya begitu tertarik ingin tau kesenian ini ? Semua lebih karena termakan cerita orang-orang tua di kampung yang selalu berpesan, "Desa kita tuh nggak boleh Wayangan, kalau mau nanggap ya bolehnya Dhalang Jemblung". Wayangan yang seperti appppaa ?? Bedanya apa ? Kenapa ? Daaan seterusnya. Itu yang terus mengganggu benak saya.

Sebenarnya dalam beberapa event, kesenian ini pernah dipertunjukan. Bahkan belum lama ini. Cuma ya itu, pas tampil eeehhh justru saya yang entah dimana. Istilah orang pacaran tuh "nggak jodoh". Hahaha. Untungnya waktu itu pheromon kami sama-sama klop (bahasanya mbok ya nggak usah didramatisir gitu dong Mba'e) jadilah kami berjodoh di sela-sela hujan lebat kota Purbalingga sore itu.

Ya, meski tanpa alunan merdu Merah Kuning Jingga-nya EsQi;Ef, tapi suasana jelang senja itu terasa sangat penuh buat saya. Ki Dalang Gareng, sosok inilah yang membuat mata saya berbinar. Darinya saya pun tahu jika Jemblung saat ini sudah mulai ditinggalkan. "Jujur, jika kami diminta satu panggung dengan kesenian lain kami tentu saja kalah. Kami lebih cocok dibuatkan panggung yang memang untuk tanggapan (biasanya ruwatan) atau panggung apresiasi. Diluar itu kami sering ditinggal bubar penonton", kisahnya. Seruwet itukah ?

 foto saya ambil dari KratonPedia

Jemblung. Itulah nama kesenian unik ini. Di wilayah eks- Karsidenan Banyumas masih ada beberapa pelestari seni ini kok. Sebuah seni yang sudah ada sejak turun temurun. Namun pastinya kapan, baik Ki Dalang Gareng maupun Bu Sri Pamekas kompak menolak menyebut angka pasti. Oh iya, selain Ki Gareng saya juga bertemu Rr. Sri Pamekas, beliau seorang pekerja negara yang membidangi pendampingan seni dan budaya di Purbalingga. Ki Gareng sebagai pelaku menuturkan bahwa seni ini dikenalnya dari leluhurnya yang turun temurun berperan sebagai Dhalang Jemblung. Dan dirinya adalah keturunan ke-4, sehingga Ki Gareng pun lebih mengganggap Jemblungan (kesenian Jemblung) sebagai sebuah sarana yang dibuat sebagai pemersatu bangsa pribumi ditengah penjajahan Belanda saat itu. Selain tentunya sebagai ruwatan atau mbuang rereged anak-anak sukerto. Sementara Bu Sri sendiri berpendapat jika Jemblungan adalah sebuah kesenian yang pada mulanya dipertunjukkan pada saat upacara Bayen. Bayen ini istilah bagi peristiwa lahirnya bayi sampai usia beberapa waktu. Jaman dulu, kala malam orang-orang akan berkumpul di kediaman seorang kerabatnya yang baru melahirkan. Disana mereka disuguhi kesenian Jemblung ini. Bukan sekedar untuk cagak melek, namun juga sebagai sarana menimba ilmu dan mendapat petuah bijak untuk mengarungi hidup. 

Nah, dahulu Jemblungan diperankan oleh satu orang saja. Sehingga dia juga kerap dikenal sebagai wiracarita. Wira ini artinya berani, dan carita ya bercerita. Jadi maksudnya adalah orang yang berani bercerita sendirian. Tentunya bukan asal bercerita nggak jelas ya. Cerita yang dilisankan adalah kisah-kisah pewayangan Mahabharata atau Ramayana atau legenda-legenda lokal lainnya. Terutama juga kisah Umar Madi - Umar Maya (maksudnya Wayang Menak). Dalam menjalankan aksinya ini Sang Dhalang akan ngomong sendiri (off course ya), nembang sendiri, sampai nggamel sendiri. Nggamel disini bukan memainkan alat musik, melainkan melagukan suara instrument gamelan. Jadi jangan heran ketika mendengar mereka berucap "ToninoninoningGooong" kemudian dilanjut dengan "Kocap kacarito, bla-bla-bla". Atau dilain waktu ia pun memerankan adegan anta wacana (dialog antar tokoh). Lha kok mirip woooonggg........, haiyo kenapa berhenti ? Hehehe, nggak enak nyebutnya ya? "Tapi memang banyak yang meyakini bahwa kata Jemblung ini bisa saja bermula dari pertunjukannya yang mirip wong gemblung itu", kata Ki Gareng disambung dengan kelakarnya yang khas. Memang sih banyak tulisan yang memuat hal itu juga kok. Dan biasanya untuk membuat suasana makin gayeng maka Dhalang Jemblung juga akan ditemani seorang pesinden wanita. Namun sekarang, Jemblungan kerap menampilkan empat sampai tujuh orang. Kok rame-rame ?

(ilustrasi : ampyang

Iya, seorang teman yang sudah lebih dulu meliput Jemblungan membocorkan bahwa ada 4 orang berkostum tradisional mengelilingi meja pendek yang ditengah-tengahnya ada suguhan. Itu jugalah yang banyak dipraktekan belakangan ini. Pertanyaannya adalah kok jadi banyak additional playernya ya ? Hehehe... sebenarnya semua itu pada dasarnya adalah karena perkembangan seni itu sendiri. Seni kan memang selalu berkembang. "Yang penting adalah tidak lari dari konsep awalnya saja", terang Sri Pamekas. Lalu Jemblungan yang ditonton temen saya dan dilakukan Ki Gareng itu gemana ya ? "Itu biar lebih gayeng saja. Jadi penontonnya tidak bosan. Kadang ada mereka juga kerap berperan menjadi tokoh-tokoh tertentu dalam cerita tersebut. Sebenarnya kalau menurut saya sih mereka ini sekumpulan Dhalang Jemblung yang mentas dalam satu ruang", ujarnya. Oooooh,, jammin' kali ya maksudnya. Hehe. Kaleeee. Bisa jadi saya salah menafsirkan.

Selain jumlah pemeran yang berkembang, konon apa yang disuguhkan ditengah meja pun ada sedikit perbedaan. Dulu, satu buah kudi (senjata khas Banyumas) adalah yang diletakkan diatas meja. Namun kini justru tersedia suguhan seperti wedang telon, wedang jembawuk, pisang, ampyang (rengginang), peyek, tumpi (peyek tanpa isian) dan sebagainya. Kok bedanya makin bikin saya ruwet nyari alurnya ya ? Okay, kita mulai dari yang versi klasik dulu. Kudi. Kudi adalah senjata. Piandel. (Cieeee tumben pinter,... Haha jangan heran dong. Saya kan dapet kata ini dari Bu Sri Pamekas.). Dalam kehidupan, orang Jawa semestinyalah memiliki 7 hal yang salah satunya adalah senjata atau piandel ini. Gaman istilah lainnya. Ini sebenarnya adalah simbol. Senjata ini adalah alat untuk membela diri. Nah, apa senjata paling ampuh ? Ya keyakinan dan ilmu pengetahuan. Jadi itulah mengapa dulu kemudian dipilih senjata untuk diletakkan di tengah meja.

(Gambar diunduh dari sini) Terus mengapa sekarang jadi berubah ? Lagi-lagi ini hanya agar orang lebih betah saja untuk mendengar petuah. Biasanya dalam pementasan, saat bercerita Dhalang juga kerap menjadikan suguhannya sebagai pengganti wayang kulit. Walaah, bisa-bisa mas Cakil diperankan oleh tumpi nih ya. Nah, uniknya lagi jika tokoh yang diperankan oleh suguhan tersebut dikisahkan kalah, maka dia akan langsung dilahap oleh sang Dhalang. Dan adegan ini sangat dinantikan oleh penonton. "Tapi jangan tanya lho ya, benar atau tidak kalau habis makan itu penontonnya yang merasa kenyang hahahaha", kelakar Ki Gareng. Ya boleh percaya boleh tidak, ada yang menyebut apa yang baru saja masuk ke dalam perut sang Dhalang justru akan memberi efek mengenyangkan mereka yang menyaksikannya. Semakin banyak yang dilahap semakin kenyang penonton. Masa sih ? "Hahaha, mungkin karena sebelum nonton, mereka makan dulu jadi kenyang", gurau Ki Gareng. Seruuuu.

(Foto : Ki Dalang Slamet Gundono inipun kerap memadukan seni jemblung dengan seni dalang lainnya. Hmmm, pantes Ki Gareng sangat mengidolakan beliau ini. Foto saya unduh dari beritane.com)

Tawa khas Ki Gareng yang membahana di tengah hujan membuat saya makin larut dalam obrolan jelang senja itu. Saya melihat semangatnya yang luar biasa untuk membagikan ceritanya itu. Meski diakuinya, kini hanya sedikit orang berniat menanggap Jemblungan. Ada anak muda yang tanya saja sudah bersyukur banget katanya. (Yess !! Saya masih muda, hahaha). Sekarang ini selain ruwatan, paling hanya acara kaul atau hajatan di desa saja yang masih menampilkan Jemblungan. Bagaimana dengan revitalisasi ? Bu Sri angkat bicara mengenai hal ini. "Tahun ini memang belum, tapi rencana 2016 kami anggarkan revitalisasi Jemblungan. Karena bagaimana pun Jemblungan adalah seni tutur lisan yang pesannya harus sampai pada generasi saat ini ", ungkapnya.

Well, masih banyak sebenarnya yang belum saya tuliskan disini. Tapi mata saya sudah sedikit membasah ketika kedua orang ini seiya sekata mengucap "Melalui kesenian tradisional inilah, kita justru bisa menguatkan jati diri bangsa."

Komentar