Langsung ke konten utama

MAKAM WANGI


Pernahkah membayangkan tempat dengan nama MAKAM WANGI ? Apa yang ada di pikiran ? Makam yang berada di antara pohon wangi seperti halnya di Trunyan, Bali ? Owh, ini berbeda. Dan berbekal informasi yang sangat minim, kami menuju ke lokasi kompleks pemakaman yang masih dikeramatkan sampai hari ini di Purbalingga ini.

MEDAN EKSTREM

Makam Wangi terletak di desa Pagerandong kecamatan Kaligondang. Seandainya saja ada jalur darat di tepian Sungai Gintung saja, maka akan sangat mudah menjangkau tempat ini. Karena Makam Wangi berada di bantaran Sungai Gintung. Namun karena akses jalannya belum ada, maka kami harus menuju ke Pagerandong terlebih dulu.

Masyarakat sepanjang dari Sungai Gintung ( pertemuannya dengan Sungai Klawing tepat di dekat jembatan gantung Bendungan Slinga ) sampai ke Pagerandong sepertinya cukup akrab dengan nama ini. So, meski harus keluar masuk jalur setapak arahan rute mereka sangatlah membantu sampai ke lokasi.

Sebuah pertigaan kecil dengan kondisi belum teraspal (masih baru tahap disemen) akan mengantar kita ke Makam Wangi. jalan berkelok, turunan tajam berlapis, jalan yang sempit, rusaknya insfrastuktur jalan dan belum lagi saat harus berpapasan membuat saya harus menahan napas bermenit-menit. Jika tidak ahli mengemudi, maka jalan kaki adalah pilihan teraman. Seperti yang disarankan oleh banyak penduduk sekitar.

Ya, truk penambang batu dan pasir di Sungai Gintung memang turut menyumbang rusaknya prasarana jalan ini. Karena jalan di sekitar makam memang semuanya mengarah ke tepian sungai.
Sungai Gintung

CANTIK ALAMI

Dari kejauhan pemandangan nan cantik terus menggoda kami agar berlari cepat menggapai lokasi. Sebuah kompleks pemakaman umum di kanan jalan sempat mengecoh kami. Dengan bermodal informasi "makam yang dinaungi pepohonan", membuat kami hampir saja terhenti di makam umum tersebut. Beruntung, seketika itu juga papan pentunjuk CAGAR BUDAYA MAKAM WANGI di sisi kiri jalan membuat mata tertuju pada areal lahan luas yang dipenuhi lebatnya pepohnan.

Yang membuat kami takjub adalah makam wangi ini (yang terlihat begitu rimbun dan lebat) ternyata dikelilingi persawahan yang sangat rapi. Bahkan batas antar keduanya pun jelas terlihat. Dan juga bersih. Luar biasa.

Aktivitas bertani masyarakat sekitar semakin menyejukkan raga yang penat. Belum lagi rumpunan bunga liar yang memancing puluhan serangga mendekat. Jika tidak ingat misi awal adalah menggali informasi, maka saya akan memilih menyegarkan pandang berlama-lama disini. Sayangnya, warga di persawahan ini tidak mengijinkan kami memotret dan masuk areal makam. "Kami nggak tanggung jawab lho Mba kalu ada apa-apa. Mending bareng juru kuncinya dulu kalau mau masuk", ujar seorang warga mengingatkan.
 Makam Wangi dilihat dari salah satu titik (bukan yang diseberang sungai)

MAKAM BANYAK TOKOH

Dengan diantar seorang warga, kami berhasil juga menemukan kediaman sang kuncen, Pak Supawi. Pria berusia 75 tahun ini tengah asyik membuat krusu ketika kami datang. Meski awalnya terlihat enggan berbagi cerita, namun akhirnya Supawi pun angkat bicara.

Menurutnya makam wangi adalah kompleks petilasan beberapa tokoh yang pernah hidup, menetap ataupun lewat di Purbalingga ini. Sebut saja Eyang Purwosuci yang namanya dikaitkan dengan sejarah asal usul Selakambang. Atau tokoh sesepuh Pagerandong jaman dahulu kala Ki Ageng Menggala atau Adi Menggala serta beberapa nama lain yang jumlahnya cukup membingungkan saya. Kadangkala disebut empat namun kadang juga sembilan.

Sementara di luaran justru berkembang kisah murid Syech Jambu Karang lah yang dimakamkan disini. Murid ini bernama Syech Musa Abdillah. Entah mana yang lebih tepat, karena semua masih berupa folklore.

Namun yang pasti dari akar-akar yang menjuntai di lokasi makam sepertinya sdah cukup menjelaskan usia makam yang sangat tua. Lalu mengapa dinamakan makam wangi ? Kabarnya ini berasal dari kata Munding Wangi, soerang tokoh yang petilasannya ada disana. Hmmm,... setau saya Munding Wangi adalah nama asli Syech Jambu Karang. Tapi bisa jadi khan hanya serupa nama.

Dan masih menurut Supawi, makam ini adalah udhelnya desa Pagerandong. Sehingga secara turun temurun masyarakat pun akan menjaganya. Makam ini memeiliki kaitan sejarah dengan Makam tua Onje dan Makam di Ardhi Lawet. Dan ada aturan untuk mendatangi makam "bersaudara" ini. Senin dan Kamis untuk Makam Wangi, Selasa untuk Makam Ardhi Lawet dan Rabu untuk Makam Onje.
Supawi

PUNDEN

Sayangnya kami tak kunjung diijinkan masuk ke makam walau sudah mencba meminta ijin. Dengan alasan berbahaya dan hari yang salah (kami datang Rabu siang) maka kami pun cukup mendengarkan kisahnya saja.

Ternyata perkiraan saya atas makam dalam hutan ini meleset. Hutan itu hanya tampak luarnya semata. Karena didalam tempatnya terlihat jauh lebih longgar tanpa ada gangguan pohon yang seolah rapat menutup tanpa celah. Disana terdapat beberapa punden serta batu bermotif batik. Waah, pasti sangat unik ya.

Hal serupa juga diamini data-data kepurbakalaan yang menyebutkan adanya temuan dua buah menhir sejajar dengan jarak 100 meter yang berfungsi sebagai isan di makam ini. Dan diatas permukaannya tertata batu berbentuk persegi.

ENJOY GINTUNG


Makam Wangi diwacanakan akan menjadi salah satu tujuan wisata. Hal ini justru disampaikan oleh Supawi. Tidak aneh ya, jik kabar perbaikan jalan juga beredar kencang disana untuk memudahkan akses. Atau yang pernah saya gogling adalah wacana wisata Enjoy Gintung yang tentunya melewati Makam Wangi ini. Ya, kita tunggu saja nanti akan seperti apa. Terpenting sih, semoga lain waktu saya ataupun Anda tidak lagi salah hari agar bisa melihat langsung peninggalan cagar budaya ini.





Komentar

  1. Sip...mantep bgt mba, aku penggagas The Gintung Enjoy, mayuh jajal pada diwujudna, dadi kawasan Wisata Bendung Slinga, Makam Wangi lan Kedung Cucruk dadi wisata alternatif nang Purbalingga, Aku Mukhyono Asli Pinggir kali gintung, Melayang kang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur nuwun mas Yono,... monggo lah diwujudna... dadi dolane ora maring ajeg-ajeg bae..

      Hapus
    2. ya aku wis pernah juga ngejak Pak Adi, Disbudparpora, meng kedung cucruk mba,kudune kan direspon bangat......wong bisa digawe kaya nang Jimbaran Bali, karo nang Ubud mba..yakin, contact aku mba..nang adm.processing@yupindo.com

      Hapus
    3. mayuh.......digawe Jimbaran Kecil mba

      Hapus
    4. Pak Adi sampun mboten teng Dinbudparpora jhe Pak.. Kulo sampun ngemail nggeh Pak, monggo dipun bikak... Matur suwun

      Hapus
  2. Bendung park berkomentar, sukses selalu , slinga pagedongan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...