Mengunjungi sebuah situs peninggalan masa
Megalitikum langsung di alam yang dipertahankan keasliannya tentulah membawa
suasana tersendiri. Melihat berbagai macam batuan yang sudah dipenuhi lumut di
tengah-tengah rindangnya pepohonan yang dihuni ribuan kalong raksasa seolah
membawa kita keluar dari hiruk pikuk dunia. Dan salah satu tempat yang masih
alami tersebut adalah situs Bandingan di dusun Bandingan, desa Karang Jambu
Purbalingga. Bagi sebagian orang, situs inipun dikenal sebagai kompleks makam
kuno Karang Jambu.
Mengunjungi makam kuno ini memang terasa
menyenangkan. Alunan suara merdu para santri yang tengah mengaji menjadi pengiring
menikmati kesejukan dan asrinya perjalanan di dalam “hutan alam” situs
Bandingan.
MAKAM KUNO
Situs Bandingan memiliki rangkaian sejarah yang
cukup komplit. Menurut salah seorang arkeolog di Kabupaten Purbalingga, Adi
Purwanto, situs Bandingan ini dikaitkan dengan masa pra sejarah, Hindhu-Budha
sampai ke masa penyebaran Islam di tempat ini.
“Jadi ini adalah peninggalan pra sejarah namun
memiliki kesinambungan budaya sampai pad aperkembangan Islam”, terang Adi
Purwanto
Situs Bandingan berada pada ketinggian 710 mdpl. Berupa gundukan
tanah serupa bukit kecil dan seolah membentuk teras-teras bertingkat ataupun
punden. Masyarakat sekitar sering menyebutnya sebagai "Candi". Tiga
undakan teras persegi ini berorientasi ke arah utara-selatan. Berbeda dari
kebiasaan dimana punden berundak menghadap arah barat-tenggara. Setiap teras
dipercaya memiliki tingkat kesakralan berbeda. Semakin tinggi maka akan semakin
sakral. Pada setiap teras, kita akan menemukan sejumlah menhir (batu tegak yang
ditanam) yang diperkirakan berfungsi sebagai nisan.
Di teras pertama, terdapat 14 buah menhir. Ini artinya
ada 7 makam di teras paling bawah ini. Oleh masyarakat sekitar, teras pertama
ini disebut sebagai lokasi pemakaman umum leluhur masyarakat Karang Jambu dan
tokoh-tokoh penyebar Islam seperti Syech Klabang Erap. Menhir-menhir ini
memiliki ukuran panjang 2 cm, lebar 10 cm dan tinggi 45 cm. Tidak hanya itu, di
teras pertama pun terdapat batu datar yang berukuran 50 cm x 33 cm, batu
berukir, batu berlubang yang memiliki ukuran panjang 23 cm, lebar 19 cm dengan
diameter 5 cm dan kedalaman 5cm serta jalan-jalan batu. Sayang batu berukir
yang ada belum dapat diketahui maksud pastinya.
Sementara itu di teras kedua yang hanya berjarak 3
meter ke timur dari teras satu, ditemukan peninggalan berupa menhir 3 buah dan
juga batu ukir. Pada lahan seluas 84 m², menhir memiliki ukuran beragam. Tidak
seragam seperti di teras pertama. Menhir pertama memiliki lebar 15 cm, tebal 10
cm dan tinggi 45 cm. Menhir kedua berukuran lebar 23 cm, tebal 10 cm dan tinggi
50 cm. Serta menhir ketiga memiliki ketebalan 10 cm, lebar 17 cm dan tinggi 25
cm.
Sadangkan di teras terakhir dengan luasan 24 m²
terdapat tangga batu dan 2 buah menhir. Menhir ini berada pada bangunan dengan
tepi batu berukuran 30 cm². Menhir-menhir tersebut memiliki lebar 12 cm x tinggi
40 cm serta lebar 15 cm x tinggi 38 cm. Selain itu ditemukan pecahan gerabah.
Masyarakat setempat mempercayai jika makam di teras ketiga ini merupakan makam
Syech jambu Karang.
Dari teras ketiga inilah kurang lebih 100 meter di
arah timur terdapat Sungai Lempayang dan di sebelah barat juga terdapat sebuah
mata air.
Juru pelihara situs Bandingan, Miarso mengisahkan
jika Syech Jambu Karang dalam perjalanannya sempat menepi di tempat tersebut
dan murca di lokasi itu juga. Dan
untuk mengenang jasa beliau, maka desa itupun kemudian diberi nama Karang
Jambu. Makam kuno di teras paling atas ini ramai dikunjungi pada malam Rabu Pon
sampai Jumat Kliwon. Bahkan ada juga yang rutin setiap Jumat hadir, dengan
catatan cuaca bersahabat. Karena proses pengajian dilakukan beralaskan tanah.
KALONG RAKSASA
Hal lain yang menarik perhatian ketika sampai di
situs Bandingan adalah munculnya ribuan kalong seukuran unggas di kala siang. “Niki kalong nggeh Mba, sanes lawa. Nek lawa
niku alit, lha kalong niku seageng-ageng ayam alas”, ujar Miarso. Mereka
tampak asyik bergelantungan di pohon-pohon besar yang jenisnya tidak diketahui.
Bahkan istilah “wit kalong” pun kerap
muncul karena pohon-pohon tersebut seolah berbuah kalong. Bahkan slogan “ kalau
ingat Bandingan ya ingat kalong” kerap terlontar dari beberapa orang.
Kawanan binatang ini dalam terbangnya seolah
memayungi setiap langkah pengunjung. Suara berdecit menemani hamper sepanjang
siang disana. Namun kabarnya, ketika malam menjelang hanya akan terdengar suara
gesekan bambu yang ada di lokasi makam.
Sampai saat ini masyarakat memanggap keramat
kalong-kalong ini, sehingga tidak ada yang berani menangkapnya. Menurut Miarso,
kalong ini diibaratkan jumlah doa yang terus dilantunkan oleh Syech Jambu
Karang. Berapa jumlah pastinya tidak diketahui. Namun diperkirakan mencapai
ribuan.
Uniknya lagi meski tinggal di kompleks situs
Bandingan, namun binatang ini tidak sedikitpun meninggalkan sisa makanan dan kotoran
disana. Keunikan ini memancing beberapa pemburu untuk menangkapnya. Namun masih
menurut Miarso, kalong-kalong ini seakan memberikan isyarat pada warga jika
pemburu datang untuk menangkap mereka. Sehingga warga pun berkesempatan menyelamatkannya.
Ya, kawanan kalong raksasa adalah salah satu kekhasan
situs Bandingan.Jika memang Tuhan telah memilih tempat ini sebagai habitat
satwa ini, bukankah seharusnya kita menjaganya ? Dengan cara membiarkan mereka
hidup damai disana. Karena kesejukan situs Bandingan tidak akan pernah lengkap
tanpa kalong-kalong raksasa ini.
Trim tulisanya, cukup detail meskipun belum trurai secara lengkap sejarahnya, itu tempat kelahiran saya sampai sekarang ak msih tinggal disana, ckup bgus tulissnya lanjutkan kalau itu msih dalam batasan yg positif
BalasHapusMatur suwun Bapak sudah mampir ke blog saya ini. Monggo kalau Bapak kagungan kelengkapan infonya, boleh dong dibagi juga ke saya.
Hapuskeren, itu tempat kelahiran saya.
BalasHapus