Langsung ke konten utama

Postingan

Kyai Lanang itu bermarga Gan

Sebentuk bangunan makam terlihat begitu mencolok. Berada di areal persawahan dan satu-satunya. Warga setempat menamainya makam Kyai Lanang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Julukan Kyai Lanang tersemat lantaran ia disebut-sebut sebagai tokoh yang membuka dusun Sirongge, desa Kembaran Kulon, Purbalingga. Sayang, kapan ia datang tidak dapat dipastikan. Hanya diduga berkaitan dengan masa paceklik di Tiongkok Selatan. "Ada yang menyebut datang sewaktu Perang Jawa (1825 - 1830), ada yang bilang datang karena berselisih dengan marga lain atau juga karena bencana besar yang berakibat gagal panen", kata kedua keturunan Gan Hwan yang saya temui secara terpisah. Kyai Lanang memiliki nama asli Gan Hwan. Bersama orang-orang sebangsanya dulu, ia mengarungi lautan mencari harapan di tanah yang baru. Gan Hwan dikabarkan berasal dari desa QQishan. • Melestarikan Marga • Dikatakan bahwa sebagian dari mereka mendarat di Pekalongan. Termasuk Gan Hwan beserta puteranya, Gan Tj...

Wanginya Masih Terasa

Perempuan sepuh itu menggebu saat berbincang akan batik. Ditemani sesayup tembang-tembang Jawa dan penganan tradisional, saya diajak berkenalan dengan Lungambring. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Yuswanya 75 tahun. Tak tersirat dari kulit mukanya yang masih kencang. Sesaat saya meraba pipi sendiri. "Agak sedikit turun, hufffff", batin saya. (Untung kamu nggak komplein soal ini). Ya, Mbah Kapti, begitu ia akrab disapa, acap merawat kulit ditengah aktivitas membatiknya sejak tahun 50'an silam. Ia tumbuh di keluarga priyayi. Ayahnya seorang guru. Eyangnya bahkan menjabat Penatus Penisihan (Bobotsari) pada era pendudukan Belanda. Sementara itu, sang Ibu mengisi hari-hari dengan membatik. Hal itulah yang membuatnya akrab dengan batik sejak kanak-kanak. Di saat saya menikmati sepiring makan siang, Mbah Kapti hilang dari pandangan. Ternyata ia dengan sigap menguliti batang-batang pohung untuk menjadi kayu bakar. "Buat persiapan mbathik", katanya. Ia me...

STANA LANDA lagi

Cukup lama saya tak mampir ke kerkhof atau stana landa Purbalingga. Meski sudah menanggalkan DSLR, tak berarti tak ada foto baru dari mampir yang tak disengaja kali ini. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Siang yang sebenarnya terik, justru terasa teduh begitu memasuki kawasan hutan kota sekaligus Kerkop (kerkhof) yang berada di Bancar, Purbalingga Wetan ini. Seorang karyawan DPU tampak sedang bebersih. Wah, pantas saja sekarang lebih rapi. Ia menyambut kedatangan saya dengan ramah. Menanyakan identitas dan keperluan saya. Sembari menceritakan juga kehadiran kawan-kawan peserta Jelajah Mrapat beberapa hari sebelum saya datang. Duuuuuuh, menyesal sekali saya batal ikut. "Sayangnya kuburannya ada yang pada ambles Mbak", katanya lagi. Karena tak sempat mencatat jumlah pada kedatangan sebelumnya, maka saya tak berani memastikan berapa makam yang ambles baru-baru ini. • Nisan • Tidaklah mengherankan jika retak tampak di sana-sini pada sebuah nisan lama. Untungla...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

AIR KEHIDUPAN DI TUK BIMA LUKAR

Dipercaya sebagai mata air purba, Tuk Bima Lukar diyakini memiliki tuahnya tersendiri. Tirta perwita sari. Mata air kehidupan. Tak heran, jika pengunjung memanfaatkannya untuk mencuci muka ataupun bersuci begitu tiba ditempat ini. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Kota Para Dewa memang masih selalu menarik untuk dikunjungi. Meski hanya sekedar lewat, rasanya sayang jika melewatkan Tuk Bima Lukar begitu saja. Lagipula, mata air ini berada di tepi jalan utama memasuki Wonosobo. Dan tak dikenakan biaya masuk. Selintas keberadaan Tuk Bima Lukar memang tak terlihat dari jalan raya. Karena kita harus menuruni sedikit anak tangga diantara rerimbunan kebun carica dan sebuah bangunan serupa benteng di sisi jalan raya ini. Suasana dingin langsung menyergap begitu kita mendapati dua buah jaladwara (pancuran dengan bentuk lingga dan ujung tepat air muncrat berupa yoni). Beberapa kawan langsung saja mencuci muka. Setelah perjalanan panjang, percikan air memang mengembalikan kesegara...