Langsung ke konten utama

TLEGUK PENDELO



Namanya Jiwel. Sebagian menuliskannya dengan Ciwel. Entah mana yang lebih tepat. Tapi menyesuaikan dialek Banyumasan, saya lebih suka menyebutnya sebagai Jiwel. Lebih mantap dan lebih punel. Seperti rasanya yang gurih bersemu manis dengan komposisi yang terasa lembut namun kenyal. (Anita W.R.)

Camilan berat ini adalah salah satu favorit keluarga saya, terlebih ketika sedang mudik di kampung halaman Bapak yang berada pada lereng Gunung Pelana. Jiwel ini terbuat dari ketela pohon atau singkong. Dalam bahasa Jawa, kadang disebut "budin". Katanya sih kalau di"buden"i (dituruti.Jawa) bisa jadi apa saja. Mau digoreng, rebus, bakar atau yang melalui proses lanjutan bisa. Sebut saja hasilnya ada lemet atau pipis, gethuk, cimplung, ondol-ondol sampai jiwel.

Untuk membuatnya singkong yang telah bersih mesti diparut terlebih dulu. Kemudian diperas hingga tersisa ampasnya saja. Ampas inilah yang diberi tambahan garam dan dikukus. Proses dilanjutkan dengan menumbuk hasil kukusan tersebut hingga punel. Lalu dibentuk dan diangin-anginkan. Ribet ya? Mungkin itu juga yang membuat keberadaan jiwel tidak sebanyak keripik singkong. Tapi kalau mau masuk pasar tradisional, cukup mudah jiwel ditemukan. Dengan harga Rp. 1000,- / bungkus biasanya kita sudah bisa menikmati 4 iris jiwel ukuran 10x5x1 cm per irisnya. Dengan varian : jiwel putih (asli) dan jiwel ireng (dikombinasikan dengan sekam yang dibakar saat pembuatannya dan rasanya pun lebih manis)

Cara mengudapnya bisa langsung santap kok. Tapi akan lebih nikmat jika ditemani. Bisa pilih ampas, serundeng, klendo atau tahu goreng. Baru-baru ini saya berhasil menemukan jiwel dengan klendo di pasar tradisional desa Kabunderan kecamatan Karang Anyar, Purbalingga. Paduan lembut jiwel putih berpadu dengan gurihnya klendo bikin sayang untuk stop mengunyah. Menu ini sudah cukup jarang. Konon untuk membuat klendo saja bisa habis waktu seharian. Klendo adalah 'langit' santan yang dimasak sampai menjadi minyak. Kalau saja tak ingat kekenyangan dua porsi lagi pun sanggup saya habiskan.

Alternatif lainnya adalah dengan memilih tahu goreng sebagai lauk jiwel. Keduanya yang sama-sama padat ini akan menciptakan sedikit efek "seret" di kerongkongan. Setelah satu suap mulailah merapal mantera "tleguk pendelo". Dengan syarat jiwelnya harus putih dan tahunya harus tahu putih yang berisi. Tleguuukkk... Sensasi seretnya itulah yang memancing kita melebarkan mata alias mendelo. Penasaran ? Selamat mencoba..

Komentar

  1. emut jiwel dadi pingin bali ngumah.pas banget ngarep pasar kabunderan kue umahku karna jiwel adalah makanan favorit bapaku dan setiap pagi bapaku pasti beli jiwel....jiwel oh jiwel @mantapp

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...