Langsung ke konten utama

MBAH SUGINI, JUALAN CINCAU SEJAK 1964

Pagi itu saya janjian dengan salah seorang teman yang tengah merekomendasikan kuliner kaki lima yang segar dan nikmat. "Jangan kesiangan ya, tar keabisan", bunyi sms teman saya ini. Dan jam sembilan pagi pun kami meluncur ke lokasi.


Perempatan Bancar pagi itu sudah cukup padat. Selain memang lalu lintas yang terbiasa ramai, beberapa orangpun tampak bergerombol di trotoar. Seorang wanita sepuh tampak cekatan meracik cincau dengan santan, air gula dan es batu dalam gelas - gelas yang sudah berjajar rapi.

"Monggo Mba", sapanya ramah sembari terus meracik es cincau pesanan orang. Wanita murah senyum ini adalah Mbah Sugini (73) yang mengaku berjualn es cincau sejak 1964.

"Dulu tahun 1964 saya jualan cincau di GMIT (pabrik tembakau tinggalan kolonial). Terus tahun 1967 pindah jualan di pabrik Bojong (pabrik penggilingan padi) yang sekarang jadi taman Bojong. barulah pada 1973 saya jualan di sini (perempatan Bancar) sampai sekarang", kenangnya dalam bahasa Jawa khas Banyumasan.

Sejak dulu, pelanggannya memang banyak. Dan untuk terus mempertahankan para penikmat cincaunya, Mbah Sugini tidak mengubah komposisi bahan dasarnya. Yaitu daun cincau lokal, santan dan air rebusan gula merah yang diracik sendiri tanpa tambahan pengawet, pewarna, dsb.

"Air bikin cincaunya juga air mateng", tandas Sugini yang selalu berupaya menyajikan menu sebaik mungkin. Bahkan cincaunya pun selalu segar. Setiap jam 6 pagi, dirinya baru memulai membuat cincau yang jumlahnya bisa mencapai 3 stoples besar. "Kalau bikinnya malem, ya wayu (basi) dong Mba", ujarnya. 

Untuk membuat cincau ini, dia harus kulakan ke desa-desa di Purbalingga. Menurutnya cincau yang enak dan tidak langu justru berasal dari daun tumbuhan cincau lokal yang berbulu. Jika dibuat jam 6 pagi maka dua jam kemudian es cincau sudah mulai dapat dinikmati pembeli. Jadi tidak mengherankan jika kemudian jam 11 siang pun kita sudah kehabisan minuman segar ini.

Selain citarasa yang tetap terjaga, Mbah Sugini pun menjadikan harga jualannya tetap merakyat. Dari tahun 1964 yang seharga 1 Ringgit (setara Rp. 2,5) kini di tahun 2013 es cincaunya hanya dilabeli harga Rp. 1.500,-. Dengan harga inilah, Mbah Sugini mampu menyajikan sekitar 100 gelas es cincau setiap harinya. 

Meski selalu balik modal setiap harinya, Mbah Sugini tetap tampil dengan segala kesederhanaannya. Lapaknya pun hanya berupa meja kecil di bawah pohon yang bisa dipindahkan sewaktu-waktu. Bagi wanita yang sudah memiliki buyut ini, sekarang yang terpenting adalah dia tetap sehat menjalani masa tua bersama suaminya. "Saya mau terus jualan", tegasnya. Bukan hanya sekedar menjadi kesibukan di usia senjanya namun juga untuk menolong orang-orang yang kehausan di jalan.

Komentar

Banyak Dicari

PUTRI AYU LIMBASARI, SYECH GANDIWASI DAN PATRAWISA

Selalu saja ada yang menarik ketika berkunjung ke Limbasari. Desa ini terletak sekira 15 km dari pusat kota Purbalingga. Terletak di Kecamatan Bobotsari, Limbasari menyimpan banyak kekayaan. Mulai dari potensi temuan peninggalan neolitikum, wisata alam Patrawisa sampai legenda Putri Ayu Limbasari. Nah, untuk melepas lelah sepertinya berwisata akhir pekan ke Patrawisa bisa menjadi pilihan. Terletak di lembah Gunung Tukung dan Gunung Pelana, menjadikan pesona kecantikan alam Patrawisa mampu memikat seseorang untuk datang lagi dan lagi.  Untuk menuju bendungan Patrawisa hanya dibutuhkan waktu sekira 30 menit berjalan kaki sejauh 1,7 km. Ya, Patrawisa adalah bendungan atau dam yang membendung pertempuran Sungai Tuntung Gunung dan Sungai Wlingi. Tidak hanya itu, air terjun mini serta sendang-sendang jernih semakin menyegarkan sesampainya di lokasi. Lalu siapakah Patrawisa sehingga namanya diabadikan untuk tempat indah ini? Patrawisa adalah nama salah seorang cantrik Syech Gandiwas...

NYUWUN AGUNGING PANGAKSAMI

Satu hal yang saya tunggu-tunggu dari Lebaran adalah “SUNGKEMAN”. Yes, selain plong karena (pada akhirnya) mampu juga mengungkapkan segala perasaan bersalah pada orangtua, rasa dag-dig-dug belibet salah ngomong pun pasti menghampiri. Di keluarga inti, usai melaksanakan Sholat Ied, maka sungkeman perlu dilaksanakan sebelum sarapan menu Lebaran & bersilaturahmi ke tetangga. Yang seru adalah kami harus menggunakan bahasa Jawa krama. Yeah. Jadilah sejak semalam sebelumnya kami kerap menghapal terlebih dahulu naskah sungkeman dari masa ke masa. Hahaha. Seperti ini : “Bapak / Ibu’/ Embah, kulo ngaturaken sembah sungkem, sedoyo lepat nyuwun agunging pangapunten”. Hihihi, meski sudah merupakan mantra menahun, namun bagi sebagian keluarga yang (mayoritas) tinggal di luar JaTeng hal ini sangatlah merepotkan. So, mereka akan sungkeman dengan berkata “$#^&**&*&^%^^%^$#....pangapunten”. Wuiih,.. apa ya afdol ? Hehe. Makanya, sangat tidak mengherankan jika setiap Lebaran selain sun...