Langsung ke konten utama

LOKASTITHI GIRI BADRA

Lokastithi Giri Badra adalah museum terbuka pribadi yang menyimpan koleksi benda-benda peninggalan pra sejarah. Berbeda dari museum pada umumnya, Lokastithi Giri Badra memilih konsep taman untuk memajang batu-batu masa megalitikum ini. Dengan luasan sekira 4000 meter persegi, museum ini seolah membawa pengunjung lebih dekat dengan peninggalan budaya nenek moyang. Museum ini terletak di sebelah Situs Prasasti Batu Tulis Cipaku.

Museum ini didirikan oleh Alm. Mintohardjo Cokronegro, salah seorang putro wayah Bupati Banyumas Cokronegoro I. Semasa hidupnya, beliau berperan sebagai salah seorang wakil rakyat negeri ini. Tidak hanya itu, putra asli Banyumas ini juga sangat aktif nguri-nguri budaya termasuk salah satunya dengan menyelamatkan lumpang, menhir, arca Ganesha, watu kenong, dan peninggalan lainnya di dukuh Pangubonan desa Cipaku. Diperkirakan batu-batu ini dibuat pada abad ke 5 - 6 Masehi.

Museum ini tidak hanya dikunjungi untuk aktivitas sekolah namun juga menjadi salah satu "padepokan" bagi para Penghayat pada setiap Selasa Kliwon, Jumat Kliwon dan Jumat Lagi. "Paling ramai, penghayat datang pada malam 1 Suro", terang Hariyadi, pria asal Bantul yang kini menjadi pengelola sekaligus juru pelihara museum saat ini.

Nah, berikut detail dari koleksi-koleksi di Lokastithi Giri Badra.


1. MENHIR 


Menhir atau yang kadang disebut juga sebagai batu lingga ini akan menyapa di awal perjalanan mengelilingi musuem ini. Cukup besar dengan bentuk mendekati bulat telur, sehingga kadang ada juga yang menyebutnya sebagai batu telur. Seperti halnya menhir pada umumnya, batu ini pun berfungsi sama sebagai salah satu media ritual atau pemujaan. Ditempat ini juga, para penghayat kerap menghabiskan waktu untuk "merenung".

2. ARCA GANESHA


Ketika ditemukan arca ini sudah dalam keadaan patah dan menjadi benteng pematang sawah. Beruntung arca yang merupakan simbol ilmu pengetahuan ini berhasil di rekonstruksi. Arca ini juga menjadi simbol bahwa pernah berkembang agama Hindhu / Budha di wilayah ini.

3. PATUNG DEWA WISNU
Berbeda dari koleksi lain yang merupakan peninggalan masa megalitikum, patung ini adalah koleksi baru. "Simbol saja Mba..", ungkap Hariyadi.

4. WATU KENONG


Batu ini ditempatkan dalam semen yang sudah dibentuk, sehingga menyerupai kenong (alat musik pada gamelan). Watu kenong ini konon pada jaman dahulu difungsikan sebagai tempat untuk bersumpah. Mereka yang berselisih paham biasanya akan saling merasa benar sendiri. Dan untuk membuktikan siapa yang benar, watu kenong bisa menjadi media permohonan kepada Yang maha Kuasa untuk ditunjukkan kejadian yang seasli-aslinya.

5. LUMPANG ALU 


Ini adalah penemuan pertama oleh museum Lokastithi Giri Badra. Dahulu lumpang ini digunakan oleh masyarakat agraris dukuh Pangubonan untuk ritual. Prosesnya dilakukan dua kali yaitu sebelum dan sesudah panen. Sebelum panen agar hasilnya melimpah, serta sesudah panen sebagai ungkapan syukur dan persiapan sebelum tandur. Lumpang inipun kerap disebut sebagai lumpang Meleng, Meling, Melung. Apakah artinya ? "Ini nama perempuan yang dipercaya sebagai inner dari lumpang ini", terang hariyadi.

5. ARCA GANESHA


Lokastithi memang memiliki dua arca Ganesha. Menurut Hariyadi, arca ini juga bisa menjadi simbol ilmu Jawa yang sangat dalam dan belum banyak tergali. Mulai dari kebatinan, pertanian pengobatan bahkan sampai teknologi sebenarnya sudah dimiliki oleh ilmu Jawa ini.

6. SEKUMPULAN LUMPANG


Bermacam lumpang ini ditemukan secara terpisah-pisah. Yang paling tinggi ditemukan sudah menjadi batu pembendung sawah. Setelah kemudian diganti dengan batu yang lain, lumpang ini pun berhasil diboyong dari sawah warga. Lumpang ini diperkirakan berukuran tinggi 70 cm, lebar 30 cm, panjang 25 cm, diameter lubang 6cm x 6cm. Sementara yang lain memiliki ukuran dan bentuk bermacam.

7. MENHIR




8. LUMPANG PENUMBUK OBAT & BERMACAM LINGGA


Berbeda dari lumpang yang sebelumnya, lumpang ini menempatkan batu berbentuk bulat dan menyerupai penumbuk obat. Tidka hanya itu bermacam lingga pun ditempatkan di kompleks ini

9. LINGGA


Sangat berbeda dari batu lingga atau menhir lainnya, batu ini memiliki bentuk yang unik.Kanan kiri terlihat simetris. Batu ini menurut Hariyadi memiliki inner "Ciung Wanara" salah satu tokoh Sunda yang berkaitan dengan Kerajaan Galuh Purba. Lalu benarkah dengan keberadaan batu berinner Ciung Wanara ini semakin mengindikasikan jika nenek moyang masyarakat Banyumas adalah dari Kerajaan Galuh Purba ? Hariyadi pun menjawab, "Mungkin saja, semua masih perlu campur tangan para ahli yang kompeten di bidangnya untuk membuktikan".


Melalui benda-benda ini sebenarnya kita dapat melihat bagaimana nenek moyang bangsa Indonesia telah mengenal Tuhan pada masa prasejarah. Mereka bukanlah penyembah batu atau benda-benda lainnya. Namun karena pola pikir yang masih sederhana, membuat mereka membutuhkan media untuk menyampaikan harapannya pada Sang pencipta. Dan terpilihlah batu atau kayu besar sebagai media ritual. Namun doa tetaplah terpanjat pada GUSTI Anggawe Urip. Hariyadi menyebut jika paham animisme yang disebut-sebut dianut nenek moyang ini adalah sebuah penyelewengan sejarah oleh bangsa Barat yang masuk ke Indonesia.

"Secara gampangnya gini aja Mba. Tau arca-nya Hindhu ? Patung-nya Budha? Salib-nya Kristen ? Hajar Aswad-nya Islam ? Apa semua itu di-Tuhan-kan ? Enggak to ?", pungkas Hariyadi sembari mengantar saya mengakhiri kunjungan ini.


Berminat ke museum ini ? Silakan saja, bisa dikunjungi setiap waktu kok. Karena Lokastithi Giri Badra juga berada dalam kompleks rumah tinggal sang pemilik.

(Matur suwun kagem Pak Hariyadi & Pak Unggul) 





Komentar

  1. mba, nama narasumber nya itu bukan Unggul tapi R.M Tunggul Pramuji dan R.M Slamet Hariyadi
    keturunan Ki Ageng Mangir Wanabaya di Bantul . oke (y) :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Enggeh Bapak / Ibu, matur nembah nuwun infonipun lan nyuwun agunging pangaksami menawi wonten lepatipun. Kebetulan waktu kenalan Beliau-Beliau hanya mengenalkan diri dengan nama yang saya sebut diatas :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...