Lokastithi
Giri Badra merupakan museum terbuka milik perorangan yang terletak di Dusun
Pangebonan, Desa Cipaku, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga. Memiliki
koleksi utama berupa artefak temuan lokal dari masa klasik berupa Arca Ganesha.
Mari kita tengok lebih dekat.
Diatas lahan sekira 4.000 m², sejumlah objek berbahan batu ditempatkan. Dalam suasana alam terbuka. Memang ada yang telah dilengkapi mounting permanen, diberi atap dan pagar pembatas. Namun tetap membiarkan udara Dusun Pangebonan yang terkadang lembab menyapa koleksi secara langsung. Beruntung, pihak pengelola terbilang mampu ngopeni (merawat) dengan cukup baik.
Lokasi Museum
Bukan berada di jalur utama, membutuhkan usaha lebih untuk mencapai lokasi. Lebih mudah dan disarankan dengan kendaraan pribadi. Selain mempercepat juga bisa sekaligus mengunjungi beberapa destinasi terkait. Arahkan saja layanan mesin pencari ke Watu Tulis Cipaku Purbalingga. Karena museum ini persis bersebelahan dengan Watu Tulis Cipaku.
Lokastithi Giri Badra didirikan oleh Mintohardjo Cokronegoro pada 1992. Meski semasa hidupnya aktif berkiprah sebagai wakil rakyat, namun Romo Minto, begitu ia biasa dipanggil, memiliki perhatian khusus pada kebudayaan. Pilihannya mendirikan museum lebih didasarkan pada pada panggilan jiwa untuk merawat objek temuan di Purbalingga khususnya Cipaku. Sehingga terkumpul sejumlah batu lumpang hingga arca asli Desa Cipaku disimpan disana. Dan untuk lebih menarik perhatian dilengkapi objek lain dari luar Purbalingga.
Museum bertema budaya ini tidak hanya dikunjungi untuk aktivitas studi namun
juga menjadi salah satu "padepokan" bagi para
penganut penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Mereka memiliki
hari-hari khusus untuk bersua. Biasanya pada Selasa Kliwon, Jumat Kliwon dan
Jumat Lagi. "Paling ramai, penghayat datang pada malam 1
Suro", terang Romo Hariyadi, pria asal Bantul selaku pengelola
sekaligus juru pelihara museum saat ini.
Tentang Koleksi
Kebutuhan
masyarakat akan detail informasi koleksi, sayang sekali belum dapat tercukupi
dalam kunjungan ke museum ini. Akan sangat beruntung apabila pas bertemu
pengelola, sehingga bisa mendapat penjelasan. Namun ada kalanya ketika mereka
sibuk berladang di belakang rumah tinggal pengelola museum, kita akan sedikit
kebingungan dengan koleksi yang dipamerkan. Nah, berikut sedikit panduan
terkait koleksi yang dapat kita temukan disana.
Lingga
Kebanyakan pengunjung akan masuk ke museum melalui depan teras museum. Di tangga paling depan ini sebentuk batu berujud lonjong dapat disaksikan dengan mudah. Mirip dengan watu endog berjenis Ganapatya Lingga yang berada di Bata Putih tak jauh dari museum ini. Namun khusus lingga di Lokastithi Giri Badra ini tidak atau mungkin belum terdaftar sebagai Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) milik Kabupaten Purbalingga.
Arca Ganesha
Lokastithi Giri Badra menyimpan dua buah arca Ganesha. Keduanya dalam kondisi aus karena permasalahan waktu ataupun faktor perawatan. Arca Ganesha pertama (foto paling atas) yang ditempatkan dalam mounting permanen, menurut penuturan Romo Hariyadi ditemukan dalam kondisi patah dan menjadi benteng pematang sawah. Rekonstruksi diperkirakan dilakukan secara mandiri pada awal pendirian museum. Uniknya Arca Ganesha ini berada dalam posisi duduk bersila tanpa wahana atau tunggangan dan hanya memiliki 2 tangan. Berbeda dengan arca Ganesha yang umumnya bertangan 4.
Ganda Kurniawan, salah seorang jurnalis lulusan sejarah menuturkan jika bentuk arca semacam ini masih mengacu pada gaya India yang belum tercampur unsur-unsur lokal. Secara bentuk, diprediksi berasal dari era awal penyebaran Hindu-Buddha di Purbalingga.
Arca Ganesha lain pun memiliki bentuk serupa bahkan lebih aus. Ditempatkan dalam sebuah ruang khusus. Bagi Romo Hariyadi, keberadaan Arca Ganesha itu menjadi semacam simbol akan kekayaan pengetahuan yang masih perlu digali untuk kemakmuran masyarakat. “Mulai dari ilmu kebatinan, pertanian hingga teknologi masih perlu terus digali”, uajrnya.
Batu Lumpang / Watu Lumpang
Cukup banyak watu lumpang di Lokastithi Giri Badra. Hampir keseluruhan ditemukan di pekarangan milik warga, yang kemudian diserahkan ke museum dalam periode berbeda. Tergantung pada waktu temuan antara 1992 hingga 2004. Watu lumpang pada dasarnya dibuat dengan cara membentuk ruang atau lubang diatas yang dapat diisi. Apabila dalam proses temuannya ditemukan bersama menhir diperkirakan memiliki fungsi sakral namun jika temuan tunggal bisa saja berfungsi profane sebagai penumbuk biji-bijian atau bahan makanan oleh masyarakat penggunanya.
Watu Lumpang dalam foto diatas adalah koleksi pertama oleh museum Lokastithi Giri Badra. Dahulu lumpang ini
digunakan oleh masyarakat agraris dukuh Pangubonan untuk ritual. Prosesnya
dilakukan dua kali yaitu sebelum dan sesudah panen. Sebelum panen agar hasilnya
melimpah, serta sesudah panen sebagai ungkapan syukur dan persiapan
sebelum tandur. Lumpang inipun kerap disebut sebagai lumpang
Meleng, Meling, Melung. Apakah artinya ? "Ini nama perempuan yang
dipercaya sebagai inner dari lumpang ini", terang hariyadi.
Batu Penggilas
Memiliki
bentuk oval dan ditemukan bersama salah satu lumpang. Dilihat dari bentuknya
kemungkinan memiliki fungsi sebagai penggilas jejamuan. Seperti halnya temuan
lain, benda inipun semula berada di kompleks persawahan warga.
Patung Dewa Dewi
Asal mau berkeliling saja, banyak koleksi yang dipamerkan disini. Beberapa bahkan masih dilengkapi sesaji. Diantaranya ada watu kenong. Seperti namanya bentuknya memang mirip salah satu instrument pada gamelan. Dipercaya pernah memiliki fungsi khusus sebagai tempat untuk bersumpah bagi mereka yang sedang berselisih paham.
Di bagian lain juga tampak Patung Dewa Wisnu hingga Dewi Kwan Im. "Simbol saja Mba..", lanjut Romo Hariyadi.
Melalui koleksi di Museum Lokastithi Giri Badra, pengelola berharap pengunjung dapat memahami bahwa nenek moyang
bangsa Indonesia adalah makhluk yang religius. Mereka bukanlah
penyembah batu atau benda-benda lainnya. Namun karena pola pikir yang masih
sederhana, membuat mereka membutuhkan media untuk menyampaikan harapannya pada
Sang pencipta. Dan terpilihlah batu atau kayu besar sebagai media ritual. Namun
doa tetaplah terpanjat pada GUSTI Anggawe Urip. Romo Hariyadi menyebut jika paham
animisme yang disebut-sebut dianut nenek moyang ini adalah sebuah penyelewengan
sejarah oleh bangsa Barat yang masuk ke Indonesia.
"Secara gampangnya gini aja Mba. Tau arca-nya Hindhu ? Patung-nya
Budha? Salib-nya Kristen ? Hajar Aswad-nya Islam ? Apa semua itu di-Tuhan-kan ?
Enggak to ?", pungkas Romo Hariyadi yang disaksikan kakaknya Romo Tunggul, sembari mengantar saya mengakhiri
kunjungan ini.
mba, nama narasumber nya itu bukan Unggul tapi R.M Tunggul Pramuji dan R.M Slamet Hariyadi
BalasHapusketurunan Ki Ageng Mangir Wanabaya di Bantul . oke (y) :D
Enggeh Bapak / Ibu, matur nembah nuwun infonipun lan nyuwun agunging pangaksami menawi wonten lepatipun. Kebetulan waktu kenalan Beliau-Beliau hanya mengenalkan diri dengan nama yang saya sebut diatas :)
Hapus