"Awang uwung,.."
Ini adalah penggalan kalimat yang
dilantunkan Mbah Salihah salah seorang Rubiyah dalam kesenian Braen. Dalam
usianya yang sudah mencapai tujuh dasawarsa, nenek berparas cantik ini berbagi
kisahnya dalam upaya melestarikan kesenian peninggalan leluhurnya, Syech
Machdum Kusen.
Mbah Salihah atau yang dikenal juga
dengan sebutan Bu Karso adalah keturunan putri ke-13 dari Syech Machdum Kusen
salah seorang penyebar Islam di Purbalingga. Dan hanya keturunan Machdum Kusen
lah yang boleh memainkan kesenian ini.
SENI PERMOHONAN
Braen merupakan salah satu kesenian
sakral yang tidak dimainkan pada setiap waktu. Braen hanya dimainkan pada
upacara kelahiran, kematian, peringatan meninggalnya seseorang ataupun hajatan
tertentu lainnya.
Di wilayah Purbalingga, hanya cakupan
bhumi Cahyana yang memiliki seni khas ini. Jadi selain Rajawana, Tajug dan
Makam pun masih melestarikan Braen. Sebenarnya Cirebon juga mengenal seni
serupa yang mereka sebut dengan Brai. Namun untuk wilayah Banyumas, hanya di
Cahyana inilah Braen ada. Lalu seni seperti apakah Braen ini ?
"Braen niku nggih seni
panyuwunan', ujar Mbah Salihah. Sepertinya memang tepat jika disebut
demikian. karena panyuwunan itu berarti permohonan. Selain sejarah, pendidikan
Islam dan ketauhidan Braen pun berisi doa atau permohonan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa yang dilantunkan dalam empat bahasa. Yaitu bahasa Jawa, Arab, Melayu
dan Sunda.
Braen biasanya dimulai sekira pukul
22.00 atau selepas acara tahlil atau selamatan berakhir. Dan akan selesai pada
pukul 03.00 dini hari.
Sebelum dimulai, sang Rubiyah (penabuh
terbang - serupa rebana) akan memangku terbang-nya dengan cara duduk bersimpuh.
Agar berbunyi nyaring, terbang ini akan digarang atau dipanaskan dengan nyala
api dibawahnya terlebih dulu. Sementara lima - enam pelaku seni braen lainnya
juga akan ikut duduk bersimpuh disampingnya. Dihadapan mereka disiapkan segala
perlengakpan upacara serta hidangan untuk dikonsumsi.
"Teng braen niku selagu saged
ngntos seperapat jam. Dados bar selagu nggih mandeg, medangan riyin, mangke
nembe dilanjutaken", terang Mbah Salihah.
Seni Braen akan dibuka dengan syair
"Awang Uwung". yang intinya mengisahkan jika segala sesautunya
bermula dari tiada dan kembali ke tiada. Ditengah acara berlangsung, sang
Rubiyah akan mengalami trans sehingga akan semakin larut dalam permainan
terbangnya.
SYARAT
Sebagai kesenian yang masih disakralkan,
tidaklah mengherankan jika banyak persyaratan yang harus dipenuhi sebelum Braen
berlangsung. Baik fisik maupun psikis.
Secara fisik atau yang terlihat, si
empunya hajat atau si penanggap Braen ini haruslah menyiapkan ubo rampe berikut : tumpeng kuat, degan kelapa ijo, pisang mas ijo, telur, wedang teh, wedang kopi, wedang bening,
rokok 2 batang (kalau bisa rokok klaras),
kinang, pupur atau bedak, sisir dan pengilon atau cermin. Menurut Mbah
Salihah, syarat-syarat ini sebisa mungkin untuk dipenuhi. Karena jika tidak
penuh ada kemungkinan terbang sulit berbunyi.
Ya, terbang ini memang istimewa.
Berdiameter kurang lebih 50 cm dengan kulit kambing yang baru diganti dua kali
sejak aslinya.
Sementara itu secara psikis, si empunya
hajat juga haruslah memiliki keikhlasan dalam mengundang Braen ini. "Sing diundang kan nini-nini kabeh Mba,
ampun mbayangna kados ngundang grup dangdutan", tuturnya. Nah jika
tidak ikhlas, terbangpun urung berbunyi,
seperti yang pernah dialaminya. Beberapa pengalaman serupa kini menjadikan
Salihah lebih berhati-hati dalam menerima tawaran. Pernah ada pengundang yang
mencoba membuat "tampilan" Braen lebih modern dengan menggunakan
sound system besar-besaran. Padahal aslinya, Braen dimainkan tanpa bantuan
speaker atau sound system. Namun meskipun demikian suara nyaring terbangnya dapat
terdengar sampai ke desa tetangga. Nah, alhasil terbang-pun tidak mau berbunyi bahkan sentak dalam alat musik
inipun terlepas. Tidak hanya itu, para Nyai puan akan terasa berat dalam
merapalkan bait doa yang berjumlah sampai 50 bait.
MENGHANYUTKAN
Bagi masyarakat yang pernah menikmati
Braen mengungkapkan jika lirik-lirik yang ditembangkan membuat hati nggrentes.
Sebagian merasa diingatkan pada hakikat hidup yang harus dibekali segala macam
kebajikan dan kebijakan sebelum meninggal. Namun tidak sedikit juga yang merasa
takut pada liriknya.
Braen biasanya ramai diundang pada
bulan-bulan Muharam, Rajab (terutama 27 Rajab) dan Dzulhijah. Bahkan kelompok
Braen Mbah Salihah pun rutin mengisi di kompleks makam Syech Machdum Kusen.
Nah, diusianya yang terbilang sepuh ini
apakah sudah ada generasi penerus untuk terus melestarikan seni ini ? Mbah
Salihah sempat terdiam. "Anak kulo
jaler, Mba", ucapnya. Saya mengerti ada sedikit kesedihan pada
ucapannya. Salihah dan Ibunya sama-sama berperan sebagai Rubiyah, namun
nantinya peran itu akan digantikan olah yang lain karena Salihah tidak memiliki
keturunan putri. Namun dia ikhlas, yang terpenting masih terus ada keturunan
Syech Machdum Kusen yang melanjutkannya.
Satu hal lagi yang saya ingat dari
obrolan dengan beliau adalah ketika beliau mengatakan tidak dapat serta merta
memberikan contoh nembang Braen begitu saja. "Kulo nggih mboten
saged moni Mba, nek mboten genah panyuwunane panjenengan nopo", ungkapnya.
Ya, dan saya pun harus mau mengerti
untuk tidak memaksakan beliau nembang demi kepentingan liputan saya
semata. Dan dari kejadian hari itu, saya berupaya memahami jika keikhlasan
merupakan syarat terpenting yang harus dipenuhi jika seseorang ingin mengundang
kesenian Braen. Karena pada hakikatnya Braen mengajarkan keikhlasan dalam
memaknai dan menjalani hidup kini dan nanti.
( Diujung perbincangan, saya dikejutkan
beliau yang tiba-tiba saya melantunkan satu bagian bait "Awang Uwung"
dalam bahasa Jawa. Terimakasih untuk Mbah Salihah )
semoga kesenian braen terus ada dan tetap lestari meski modernisasi terus berjalan namun kesenian braen adalah warisan semoga generasi rajawana mampu untuk menjaga dan melestarikanya......................amien
BalasHapusApakah Mbah Salihah masih hidup sampai saat ini?
BalasHapus