Langsung ke konten utama

Joglo Kembar, Pagi Itu

Hari itu masih cukup pagi. Udara pun masih tenang. Hanya lalu lalang kendaraan di seputaran kota yang terpacu bersegera mendekati gerbang tempat aktivitas. Namun saya lihat tidak demikian dengan pria sepuh yang telah lama tinggal di Bogor itu. “Saya rindu”, katanya pelan. Saya tersenyum, mencoba memahami geletar ngilu saat yang dicarinya tak lagi ada.




Diiring dua perempuan dari tanah Pakuan, ia berkali-kali melirik sisi barat. Tak kunjung bertemu apa yang dicari, kegelisahan terpancar dalam gemetar suaranya. “Bangunan joglo ini baru ya ?”, tanyanya. Saya mengangguk. Walau sudah separuh dari usia saya, tetap saja bangunan ini tak bisa dibilang lawas. Diresmikan pada 24 April 2003.

Bangunan Museum Semula Sekolah ?

Berlokasi di pusat kota, lingkar Alun-alun memang strategis. Di lingkungan yang kini kita ketahui sebagai Jl . Alun-alun Utara no.1, Purbalingga ini dia pernah mengenyam pendidikan dasar. “Dulu saya SR (Sekolah Rakyat) disini”, kenangnya seketika. Bola matanya bergerak ke kiri, mengindikasikan mengingat segala kenyataan di masa lalu.

Saat Clash (Agresi Militer II), halaman ini ditempati beberapa tank milik Belanda. Sekolah libur, kami disuruh ngungsi ke Wirasana. Tapi dasar bocah, saya diam-diam masuk kota dan tidur di Masjid Agung itu. Saya pun jadi tahu kalau Kauman pada masa itu menjadi dapur umum Belanda”, kisahnya.

Muhammad Toha, demikian nama pria yang telah puluhan tahun menetap di Bogor itu menapak tilas masa kecilnya. Di sini, kota kelahirannya. Purbalingga. “Sayangnya, saya nggak punya foto jaman sekolah disini”, ekspresinya meredup.

Tetiba saya teringat bagaimana mereka yang telah lama mendiami kompleks kota (seputar pusat kota) bercerita bahwa di Jl. Alun-alun Utara ini pernah ditempati bangunan Sekolah Dasar yang dikenal dengan sebutan SD 4. Lengkap dengan kolam penuh bunga teratai. Aaaaaahhh.... saya nggak njamani. Dalam perjalanannya SD 4 ini berpindah dan sempat digunakan oleh salah satu sekolah milik yayasan. “Jamanku, SMA Karya Bakti juga pernah menempati bangunan sekolah di situ”, kata pemilik Bakmi Sunar yang juga alumni SMA Karya Bakti lulusan 1983/1984, Dwi Eni.

Jaman berganti. Di tahun 2003 sebuah bangunan baru dengan bentuk khas joglo kembar diresmikan sebagai gedung Perpustakaan dan Museum Daerah Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja. “Joglo kembar itu, satunya menggambarkan museum, satunya perpustakaan”, kata Adi Purwanto. Ia arkeolog yang juga pernah menjadi pengelola museum ini.

Setelah Perpustakaan Daerah bergabung dengan Kearsipan dan berpindah ke gedung baru, praktis bangunan joglo kembar ini ditempati koleksi – koleksi unik dan menarik Purbalingga. Mulai dari pusaka sejak era kadipaten dulu, tatal batu dalam teknologi pembuatan gelang batu di situs perbengkelan Limbasari dan Ponjen, hingga benda-benda memorabilia Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja. Ia adalah tokoh pendidikan yang turut membidani sekolah tinggi untuk para guru di Indonesia.

Seketika saya teringat pada tulisan yang terpasang di bagian atas pintu masuk museum. Wisma, Wanita, Pusaka, Kukila, Turangga. Pikira langsung saja menyambar ketika membaca tulisan itu, "bahwa jalan untuk mendapatkan kelima hal tersebut ya pakai sekolah (ilmu)"


Komentar

Banyak Dicari

PUTRI AYU LIMBASARI, SYECH GANDIWASI DAN PATRAWISA

Selalu saja ada yang menarik ketika berkunjung ke Limbasari. Desa ini terletak sekira 15 km dari pusat kota Purbalingga. Terletak di Kecamatan Bobotsari, Limbasari menyimpan banyak kekayaan. Mulai dari potensi temuan peninggalan neolitikum, wisata alam Patrawisa sampai legenda Putri Ayu Limbasari. Nah, untuk melepas lelah sepertinya berwisata akhir pekan ke Patrawisa bisa menjadi pilihan. Terletak di lembah Gunung Tukung dan Gunung Pelana, menjadikan pesona kecantikan alam Patrawisa mampu memikat seseorang untuk datang lagi dan lagi.  Untuk menuju bendungan Patrawisa hanya dibutuhkan waktu sekira 30 menit berjalan kaki sejauh 1,7 km. Ya, Patrawisa adalah bendungan atau dam yang membendung pertempuran Sungai Tuntung Gunung dan Sungai Wlingi. Tidak hanya itu, air terjun mini serta sendang-sendang jernih semakin menyegarkan sesampainya di lokasi. Lalu siapakah Patrawisa sehingga namanya diabadikan untuk tempat indah ini? Patrawisa adalah nama salah seorang cantrik Syech Gandiwas...

NYUWUN AGUNGING PANGAKSAMI

Satu hal yang saya tunggu-tunggu dari Lebaran adalah “SUNGKEMAN”. Yes, selain plong karena (pada akhirnya) mampu juga mengungkapkan segala perasaan bersalah pada orangtua, rasa dag-dig-dug belibet salah ngomong pun pasti menghampiri. Di keluarga inti, usai melaksanakan Sholat Ied, maka sungkeman perlu dilaksanakan sebelum sarapan menu Lebaran & bersilaturahmi ke tetangga. Yang seru adalah kami harus menggunakan bahasa Jawa krama. Yeah. Jadilah sejak semalam sebelumnya kami kerap menghapal terlebih dahulu naskah sungkeman dari masa ke masa. Hahaha. Seperti ini : “Bapak / Ibu’/ Embah, kulo ngaturaken sembah sungkem, sedoyo lepat nyuwun agunging pangapunten”. Hihihi, meski sudah merupakan mantra menahun, namun bagi sebagian keluarga yang (mayoritas) tinggal di luar JaTeng hal ini sangatlah merepotkan. So, mereka akan sungkeman dengan berkata “$#^&**&*&^%^^%^$#....pangapunten”. Wuiih,.. apa ya afdol ? Hehe. Makanya, sangat tidak mengherankan jika setiap Lebaran selain sun...