Langsung ke konten utama

Arsantaka dan Purbalingga

Terik mentari dan lengang. Usai kulminasi bergeser sedikit ke arah barat, saya memulai jalan-jalan bersama 3 anak dara yang tetiba keranjingan mengenal sejarah.

Oleh : Anita Wiryo Rahardjo


Makam Arsantaka




Meski berada di lingkaran pusat kota, tempat ini lengang. "Harusnya semalem, Mbak. Ramai", kata beberapa warga. Kami hanya tersenyum sambil terus mengekor seorang pria yang akrab disapa Pak Karso. Jumat siang makam memang sepi.

Gapura berwarna merah tembaga itu menandakan kami telah memasuki kawasan inti makam Arsantaka.


Cikal Bakal Purbalingga


Masyarakat Purbalingga bisa jadi sudah tidak lagi asing. Nama Ki Arsantaka banyak disebut dalam tulisan yang berkaitan dengan sejarah berdirinya Kabupaten Purbalingga. Sayang, tahun lahirnya tidak diketahui secara pasti.

Arsantaka terlahir dengan nama Arsakusuma. Ia merupakan putera Adipati Onje II dengan isteri ke-3 nya, Nyai Pingen. Arsantaka memiliki seorang kakak bernama Yudantaka.

Dikatakan Arsantaka melewati masa mudanya dengan mengembara hingga ke desa Masaran, Banjarnegara. Disana ia diangkat anak oleh Ki Wanakusuma, seorang keturunan Ki Ageng Giring. "Nah, disana Eyang Arsantaka kemudian menjadi demang", cerita Pak Karso.

Ia menjadi Demang Pagendolan pada 1740 – 1760. Sejaman dengan masa Perang Mangkubumen. Dan berada dalam wilayah Mancanegara Kilen, artinya Pagendolan berada dalam naungan Surakarta. Dibawah pemerintahan Paku Buwana III (PB III) yang tengah bersitegang dengan Mangkubumi.


Jasa Perang Jenar


Ketika menghadapi pasukan Mangkubumi di desa Jenar (Bagelen), maka sudah barang tentu Paku Buwana III meminta bantuan pasukan Banyumas. Pasukan dalam dipimpin oleh Adipati Kenduruan I sedang pasukan luar dipimpin oleh Adipati Banyumas, Tmg Yudanegara III. Dan dibantu :

  • ·         Ngabei Karanglewas, Dipayuda I
  • ·         Demang Pagendolan, Ki Arsantaka
  • ·         Demang Sigaluh, Ki Mertoboyo
  • ·         Demang Penggalang, Ki Ronodipuro

 Sementara pasukan Belanda yang membantu dipimpin oleh Mayor De Clerx dan Kapitain Hoetje.

Pertempuran ini mengantarkan Dipayuda I menghembuskan nafas terakhir. Namun jasad adik Tmg Yudanegara III ini tak langsung ditemukan. Beruntung, Ki Arsantaka menemukannya masih lengkap dengan seragam kompeni berwarna ungu. Segera diantarkannya jenazah Dipayuda I ke Kadipaten Banyumas karena keluarga besarnya berasal dari sana. Dan kemudian ia berjuluk Ngabei Seda Jenar (meninggal 12 Desember 1751).

Atas jasa itulah, Ki Arsantaka menjadi besan dari Adipati Banyumas, Yudanegara. Puteranya yang bernama Arsayuda diangkat mantu oleh sang adipati. Ki Arsayuda juga menjadi patih Karanglewas mendampingi Tmg Dipayuda II, putera Yudanegara III.

Masa kekuasaan singkat Dipayuda II yang meninggal di usia muda, segera beralih pada Arsayuda. Dan saat itulah Ki Arsantaka menyarankan pusat pemerintahan dipindah dari Karanglewas Kutasari ke desa Timbang. Nggak nyangka kan kalau sekarang "Timbang" hanya menjadi nama dukuh saja. Nah, balik lagi. Perpindahan itu dilakukan pada tahun 1759. Ditandai dengan pembangunan pendapa dan Alun-alun yang tercatat pada 23 Juli 1759. Sejak itu pula nama Purbalingga digaungkan. Bukan lagi Karanglewas. Dan Arsayuda sebagai adipati pertama dan bergelar Dipayuda III.


Banyak Petilasan Arsantaka


Tidak diketahui bagaimana kelanjutan kiprah Ki Arsantaka setelah puteranya mengawali kepemimpinan kadipaten Purbalingga. Namun di beberapa tempat ditemukan petilasan Ki Arsantaka.

Seperti di daerah Boja, Semarang atau Kalibening, Purwokerto. Bahkan di Masaran pun dipercaya terdapat makam beliau. Namun masyarakat Purbalingga lebih merasa percaya bahwa makam Ki Arsantaka adalah yang berada di desa Pungkuran.



Kaungkuran

Menurut salah seorang putera wayah Arsantaka, Lulu D. Budiardjo, jika ditarik garis lurus maka makam Arsantaka tepat satu garis dengan titik tengah pendapa dan Alun-alun. Halo Pak Lulu, matur suwun untuk obrolan sepuluh tahun silam mengenai sejarah Purbalingga. Metode tanpa boleh ada alat rekam dan tanpa boleh mencatat membuat memori saya bekerja ekstra. Semoga apa yang terekam di otak ini tidak slentha seiring usia.

Makam Arsantaka berada di desa Pungkuran. "Dari kata kaungkuran (catpri : data dasarnya mungkur). Kaungkuran siapa ? Ya kaungkuran pendopo. Karena berada di belakang kompleks pendopo", terang Pak Lulu saat itu.


Makam Keluarga


Makam Ki Arsantaka ditempatkan dalam satu cungkup terpisah. Didalamnya juga bersemayam makam Tmg Dipayuda III dan isterinya serta seorang pengawal. “Unur di makam Eyang Arsantaka ini konon menandakan kesuburan wilayah Purbalingga juga”, kata Pak Karso beberapa tahun lalu. Sayangnya, ini tidak diceritakan pada pertemuan kemarin.



Ada 5 blok dalam area makam utama ini. Makam Ki Arsantaka berada dalam grup A. Sementara itu cucu mantunya yang masih merupakan cucu Pangeran Sambernyowo berada di blok yang terletak di sebelah timur. Disini terdapat juga makam dokter bedah asli Purbalingga, dokter Goetheng Tarunadibrata yang juga termasuk dalam trah Arsakusuma.

"Mbak, aku baru ngeh kalau dengan langsung turun ke lokasi lebih memudahkan belajar sejarah lokal ya,.. daripada sekedar baca buku", kata salah seorang dari ketiga buntut saya kali ini. Kalau aku sih yes banget dengan pendapat itu.


Komentar

Banyak Dicari

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

TRADISI WISUHAN

Daur hidup manusia tak lepas dari rangkaian adat istiadat. Saat memasuki 40 hari, dilaksanakanlah tradisi Wisuh atau Wisuhan. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Pagi itu seorang pria pensiunan Polantas sibuk mencari anak-anak kecil. Minggu pagi memang tak mudah mencari para bocah di rumah. Mereka sedang asyik jalan-jalan bersama keluarga tentunya. Beruntung ada tiga bocah kelas 1 SD yang baru bangun keluar rumah dan kemudian dimintalah mereka bersiap memperebutkan uang. Ketiganya hanya mantuk-mantuk bingung. Mereka tak tahu bahwa mereka tengah dilibatkan dalam tradisi Wisuh. • Cukur rambut • Didalam rumah, seorang bayi mungil sedang dicukur bergantian oleh dukun bayi dan pihak keluarga. Dalam kebiasaan lain, saat seperti ini juga sambil dibacakan shalawat. Namun tidak hari itu. Pemandangan ini berbeda dengan yang pernah dilakoni saudara sepupu saya. Menjelang hari ke-40 (bisa dimulai dari hari ke-35 atau selapan dina), dukun bayi yang biasa mengurus ia dan puteri kecilnya secara khus...