Langsung ke konten utama

Candi Supit Urang Talagening

Candi. Mohon sedikit ubah bayangan akan kemegahan bangunan serupa Borobudur akan kata ini. Karena kata candi bisa saja mengacu pada bangunan, petilasan atau makam.

• oleh : Anita Wiryo Rahardjo •

Tak jauh dari perbatasan Talagening - Serayu Larangan, saya diantarkan penduduk ke Candi Supit Urang. Satu tempat yang tak bisa mereka jelaskan, selain "makam Mbah Rantansari".

Sore itu, berapa tahun silam, usai ngadem di Curug Siputhut, perjalanan berlanjut ke Candi Supit Urang. Kaki hanya sepakat untuk mengikuti saja langkah seorang perempuan paruh baya. Ia biasa mengantarkan orang-orang menuju makam tersebut.

Kami harus melewati kebun-kebun penduduk. Dan tampak aliran sungai Soso di sepanjang perjalanan. Berselang 10 menit saja, si penunjuk jalan ini berhenti. Sebuah makam sederhana ada disana. Ia segera membersihkan dedaunan kering yang jatuh. "Niki pesareane Mbah Rantansari". Pagar batu setinggi ± 50 cm tampak mengelilingi makam ini. Banyaknya pohon aren disekitar makam turut menambah sejuk tempat ini. "Kata orang-orang tua, karena berada diantara sungai maka disebut sebagai supit urang", kata si Ibu' yang saya lupa namanya ini dalam bahasa Penginyongan yang kental.

Kawan-kawan yang datang bersama saya terlihat diam. Tak diketahuinya sosok yang bersemayam itu, membuat kami tak tahu harus berbuat apa.

Pendekar Cantik

Nama Nyai Rantansari terasa tidak asing bagi saya. Begitu mirip dengan "penghuni" Goa / Curug Ilang di Serang. Namun ketika saya tanyakan kembali pada salah seorang sesepuh di Serang, yaitu Pak Karso Wirya Hadi Pranata, tersebutlah nama Nyai Rantensari. Entah masalah fonem atau memang berbeda saya tak berani memastikan. Meski menurut cerita rakyat antara Curilang dan Tuk Mudal Sangkanayu bertalian. "Konon, air Curug ini bukannya memenuhi kedung tapi hilang kebawah. Dan tau-tau airnya jadi tuk Mudal di Sangkanayu", kisah Pak Karso. Tetiba saya terpikir bukankah Sankanayu tak jauh dari Talagening ? Eiiiiittttsssss..!!!! Anitaaaaaaa, bukan waktunya otak-atik-gathuk. Purbalingga - Tegal ini nggak bisa dibilang dekaaaat, Anitaaaa !! . *maaaaff, jangan ikutan menyangkut-pautkan begini yaa.

Bertahun berlalu, selembar kertas berisi print kisah rakyat "Asal-usul Talagening" tanpa sengaja tertangkap mata. Walaupun tetap masih muncul selintas, tertulis nama Dewi Rantan Sari. Ia adalah seorang pendekar yang dimintai tolong oleh Chotibul Ali dan Ki Nalaita untuk terus menyebarkan Islam di wilayah lembah Sidingklik. Ketika kebingungan menghadapi gempuran orang-orang yang tak menerima penyebaran agama Islam, mereka mendapat pesan untuk bergabung dengan seorang pendekar putri ulung yang juga mensyiarkan Islam. Disebutkan bahwa Dewi Rantan Sari ini madhepok di Supit Urang. Dengan bekerjasama, ketiganya pun dapat menghalau musuh. Dan salah satu tempat yang digunakan ketiga tokoh ini bermusyawarah, semula akan dibuat telaga. Hingga disebut Telaga Gending yang lambat laun menjadi Talagening.

Keberadaan Candi Supit Urang memang berada di Talagening. Meski sangat dekat dengan Curug Siputhut di Serayu Larangan. Kalau berdasar cerita rakyat yang masuk 'bothekan' ini, tokoh Dewi Rantan Sari sama dengan Nyai Rantansari yang disebutkan penduduk. Sayangnya, begitu saya menyadari akan hal ini, foto makam Nyai Rantansari / Dewi Rantan Sari saya titipkan di file kantor radio tempat saya bernaung sebelumnya. Dan tak sempat saya "selamatkan" seiring 'badai'.

Kesuwun Mama Ndut Bobotsari untuk jalan-jalan yang mungkin tak akan terulang

Komentar

  1. Bagus ini saya pernah kesitu jadi tau namanya Nyai Rantansari

    BalasHapus

Posting Komentar

Banyak Dicari

PUTRI AYU LIMBASARI, SYECH GANDIWASI DAN PATRAWISA

Selalu saja ada yang menarik ketika berkunjung ke Limbasari. Desa ini terletak sekira 15 km dari pusat kota Purbalingga. Terletak di Kecamatan Bobotsari, Limbasari menyimpan banyak kekayaan. Mulai dari potensi temuan peninggalan neolitikum, wisata alam Patrawisa sampai legenda Putri Ayu Limbasari. Nah, untuk melepas lelah sepertinya berwisata akhir pekan ke Patrawisa bisa menjadi pilihan. Terletak di lembah Gunung Tukung dan Gunung Pelana, menjadikan pesona kecantikan alam Patrawisa mampu memikat seseorang untuk datang lagi dan lagi.  Untuk menuju bendungan Patrawisa hanya dibutuhkan waktu sekira 30 menit berjalan kaki sejauh 1,7 km. Ya, Patrawisa adalah bendungan atau dam yang membendung pertempuran Sungai Tuntung Gunung dan Sungai Wlingi. Tidak hanya itu, air terjun mini serta sendang-sendang jernih semakin menyegarkan sesampainya di lokasi. Lalu siapakah Patrawisa sehingga namanya diabadikan untuk tempat indah ini? Patrawisa adalah nama salah seorang cantrik Syech Gandiwas...

NYUWUN AGUNGING PANGAKSAMI

Satu hal yang saya tunggu-tunggu dari Lebaran adalah “SUNGKEMAN”. Yes, selain plong karena (pada akhirnya) mampu juga mengungkapkan segala perasaan bersalah pada orangtua, rasa dag-dig-dug belibet salah ngomong pun pasti menghampiri. Di keluarga inti, usai melaksanakan Sholat Ied, maka sungkeman perlu dilaksanakan sebelum sarapan menu Lebaran & bersilaturahmi ke tetangga. Yang seru adalah kami harus menggunakan bahasa Jawa krama. Yeah. Jadilah sejak semalam sebelumnya kami kerap menghapal terlebih dahulu naskah sungkeman dari masa ke masa. Hahaha. Seperti ini : “Bapak / Ibu’/ Embah, kulo ngaturaken sembah sungkem, sedoyo lepat nyuwun agunging pangapunten”. Hihihi, meski sudah merupakan mantra menahun, namun bagi sebagian keluarga yang (mayoritas) tinggal di luar JaTeng hal ini sangatlah merepotkan. So, mereka akan sungkeman dengan berkata “$#^&**&*&^%^^%^$#....pangapunten”. Wuiih,.. apa ya afdol ? Hehe. Makanya, sangat tidak mengherankan jika setiap Lebaran selain sun...