Langsung ke konten utama

Gardu Jaga Siwarak, 1 yang tersisa

Rasa penasaran akan sesuara yang beragam seputar Gardu Jaga sebagai salah satu peninggalan kolonialisme membuat saya harus memilih dan memilah.

• oleh : Anita WR

 Gardu jaga adalah sesuatu yang lumrah pada masa cultuur stelsel diberlakukan. Purbalingga disebut-sebut memiliki 6 bangunan gardu jaga. Satu-satunya yang masih utuh dan terawat adalah Gardu Jaga di Siwarak, Karang Reja.

Sebelum sampai di Objek Wisata Goa Lawa, kita dapat melihat sebuah gardu kecil di sisi kiri jalan. Bertuliskan Gardu VOC. Mohon jangan terlalu pedulikan penampakan Mbak bermantel kuning yang bukan model di foto ini. Yang pasti dapat disaksikan gardu dalam kondisi terawat sekarang ini. Lumut di bagian bawah tembok merupakan sesuatu yang lumrah.

Pada posting sebelumnya disebutkan, bahwa menurut salah seorang pengajar sejarah di Purbalingga yaitu Mas Dwihatmoko, tidak tepat jika bangunan ini disebut sebagai Gardu VOC. Sejak 1799, dimana kongsi dagang VOC mengalami kebangkrutan, Nusantara diambil alih Pemerintahan Hindia Belanda. Sementara menurut data, gardu dibangun pada 1830. Pada era ini, dimulailah aturan Gubernur Jenderal van den Bosch yang mengharuskan setiap desa menyisihkan 20% tanahnya untuk ditanami komoditi yang laku di pasar ekspor. Inilah masa tanam paksa atau cultuur stelsel yang berlangsung selama 40 tahun. (Ralat tulisan sebelumnya sampai 1940). Sehingga Gardu Jaga di Siwarak ini lebih tepat disebut bertalian dengan pengawasan pada masa tanam paksa. Jika merujuk pada tahun berdirinya.

• Garde •

Memang, gardu-gardu di Indonesia tidak semua dibangun pada era cultuur stelsel. Ada yang sebelum itu lho. Perlu diingat, jika Gubernur Jenderal Daendels telah memperkenalkan pembagian teritorial dan batas-batas wilayah dengan jelas. Salah satunya dengan pembangunan proyek Jalan Daendels atau Groote Postweg (Jalan Post Besar) dari Anyer - Penarukan. Nah, dalam prakteknya setiap 9 km dari jalan Anyer - Penarukan dibangunkanlah pos atau gardu jaga. Untuk apa ? Tujuannya adalah mempermudah lalu lintas dan pengawasan. Kemudian dikenal istilah gardu. Yang kemungkinan diambil dari bahasa Prancis, "garde". Artinya : pos jaga.

• Gardu Siwarak •       


Berbeda fungsi dengan yang ada di Anyer - Penarukan, gardu jaga di Purbalingga, terutama di jalur utara memang dikaitkan dengan praktek tanam paksa. Diperkirakan besi yang melintang di langit-langit ini berfungsi sebagai alat timbangan hasil perkebunan yang akan disetorkan ke Bobotsari. gardu ini memiliki lebar 240 cm, panjang 250 cm, tinggi 360 cm. Ada pintu lengkung busur di bagian atas, serta jendela lengkung kanan kiri yang lebih kecil dari lengkung di pintu.

Beberapa waktu lalu, saat bertemu salah seorang pemuda Bobotsari yaitu Mas Atiq, ia berkata di gardu jaga Bobotsari pun ditemukan besi serupa di gardu Siwarak. "Saya jaman kecil suka gelantungan disitu kok. Ada garis-garis atau goresan apa saya nggak paham. Mungkin angka tahun dibuat atau apa. Yang jelas sih, sebelum ditabrak pemudik, besi masih ada. Setelah hancur lha saya nggak tau", kisahnya. Gardu Jaga Bobotsari sendiri hancur ditabrak pemudik pada 13 November 2004.

Dengan begitu, praktis Gardu Jaga Siwarak menjadi satu-satunya yang tersisa. Ini dikarenakan gardu-gardu lain seperti di Dusun Surti, Onje (Mrebet), Batur (Karanganyar), Tlahab Lor (Karang Reja) dan Serang (Karang Reja) tak diketahui rimbanya. Arkeolog Purbalingga, Adi Purwanto dalam obrolan by phone belum berani memastikan Gardu Jaga selain di Bobotsari dan Siwarak. "Tapi mungkin saja. Hanya yang saya pernah tahu ya yang dua itu saja. Dan itu tercatat sebagai BCB", ujarnya.

Jika memang dimungkinkan demikian, bisa saja ya kisah tentang Pos atau Gardu yang diceritakan Pak Karso Wirya Hadi Pranata benar adanya. "Dulu sekali, tahun 1969 kalau nggak salah itu masih ada...", kenangnya. Pak Karso mengisahkan bahwa Pos atau Gardu ini berada tidak jauh dari jembatan di dusun Brubahan, Serang. "Dulu jalannya nggak kayak sekarang. Deket jembatan ada jalan ke kiri yang sekarang jadi setapak, nah dulu disekitar situ", terangnya. Hanya sayang, karena saat itu saya bertandang malam hari maka sangat tidak mungkin untuk mengecek lokasi. Gardu itu menurutnya digunakan untuk mengawasi perkebunan kopi di wilayah tersebut. Hmmm,... ada yang berniat menggali informasinya lebih jauh ? Monggo....

• ditulis 15 Januari 2017 •

Komentar

  1. itu yang di tlahab sebelah jembatan kan ada min, tu sama gak...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas.. sama.. nje titen juga kalau saya ada salah nulis.. matur nuwun. Bahwa 2 gardu yg masih tersisa di Krg Reja.. siwarak dan tlahab lor. Gardu di Tlahab Lor pernah sy lewati 4 tahun lalu tapi nggak masuk. Kalau kondisi saat ini saya blm lihat lagi.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...