Langsung ke konten utama

TUGU LANCIP, icon BOBOTSARI

Bobotsari. Tapi tak banyak yang saya kenal dari tempat ini. Selain Bakso Tukiman, Terminal Bobotsari serta Tugu Lancip. Dan tugu kembar di Jalan Andong Sinawi lah yang secara khusus menarik perhatian saya.

• Oleh : Anita Wiryo Rahardjo •

Tugu Lancip Bobotsari berada di ruas jalan Bobotsari - Karang Reja. Berada di kanan-kiri jalan utama. Serupa gapura. Ya, gapura menuju titik akhir dari perjalanan hasil panenan sistem tanam paksa di utara Purbalingga. Tanam paksa ?

"Jadi kerugian akibat perang Diponegoro dan ditambah sisa hutang VOC, membuat pemerintahan Hindia Belanda memberlakukan tanam paksa. Yang ditanam adalah yang laku dijual di pasar internasional. Lada, kopi, kina, hingga teh. Dan saat itu, Purbalingga kebagian teh dan kopi yang banyak ditanam di wilayah utara", kata Mas Moko, salah seorang guru sejarah di SMP N 2 Purbalingga. (Maaf, maaf, maaf.. saya lupa nama lengkap Mas Moko)

Hasil perkebunan itu diantar ke Bobotsari untuk kemudian jadi komoditas jualan pemerintahan Hindia Belanda. Rute ini dilengkapi dengan keberadaan Gardu Jaga. Sebut saja di Siwarak, Karang Reja. Gardu ini juga punya peranan untuk mengawasi arus lalu lintas hasil perkebunan kopi disana. Pengawasan berlanjut di gardu Bobotsari, letaknya sebelum mencapai tugu lancip. Dan tugu lancip menjadi pintu gerbang memasuki Bobotsari. Bukan sekedar pintu gerbang, karena segi desainnya pun sangat unik.

• (Mungkin) Satu-satunya di Jawa Tengah

Sesuai namanya, tugu ini berbentuk lancip. Limas segitiga dibagian atas dan persegi di bagian bawah. "Konsepnya serupa lingga yoni", lanjut Mas Moko. Tidak bisa dipungkiri, wilayah utara Purbalingga termasuk area subur. Keberadaan lingga yoni acap mencirikan kesuburan suatu tempat. (Foto diunduh dari sini)

Secara keseluruhan tugu berwarna hitam dan terbuat dari campuran batu bata dan semen. Pada bagian atas tugu terdapat relief motif kepala makara. Makara merupakan ragam relief khas pada bagian pintu candi di Jawa. Makara menggambarkan makhluk mitologi penolak bala. Pada candi khas Jawa Tengah-an, kepala makaranya berbeda. Yaitu tidak utuh. Hanya bagian kepala sampai bibir atas saja. Sementara makara candi Jawa Timur berbentuk lengkap. "Dan tugu lancip menggunakan makara Jawa Tengah. Praktis ini bisa menjadi salah satu bangunan khas Jawa Tengah juga", terang Mas Moko.

Sementara pada bagian bawah atau yoni, terdapat relief Budha dalam posisi salah satu mudra yang mengartikan samadi. "Dhyana Mudra", katanya. Apa ini menandakan pengaruh penyebaran Hindu Budha di wilayah kita ? Monggo, para ahli yang sekiranya lebih tepat untuk menjawab. Saya sih tugasnya mancing aja. Ups !!

Di antara lingga dan yoni, terdapat bentuk serupa kelopak. Hanya saja apakah itu teratai atau bukan, Mas Moko juga tidak berani memastikan. "Sebenarnya kalau secara bentuk, tugu lancip ini mirip dengan tugu Jogja lho. Coba saja perhatikan", lanjutnya. Begitukah ?

Pernah digeser
Tugu Lancip memang masih berlokasi di Jl. Andong Sinawi KM 9,7 Karangsari, Bobotsari. Namun jaraknya sudah mengalami perubahan. Pelebaran jalan yang dilakukan membuat keduanya sedikit menjauh. Bukan masalah. Yang penting tak dihilangkan begitu saja kan. Toh bentuknya juga tak diubah. Ketinggiannya pun tetap 350 cm dengan panjang 155 cm dan lebar 150 cm. (Foto diambil dari sini)

Nah, tugu lancip memang sangat identik dengan Bobotsari. Tak salah. Selain berlokasi disana, pada 1925 tugu Lancip dijadikan batas wilayah Bobotsari oleh Bupati RM Gondokusumo. Ada informasi yang menyebutkan, tugu ini juga menjadi starting point dimulainya proyek pembangunan jalan Bobotsari - Pemalang. Tahun berapa ? Ada yang bisa membantu saya mencarikan jawabannya kan ?

Ah, masih belum banyak informasi yang saya peroleh tentang Tugu Lancip ini. Yang jelas saya haturkan terimakasih pada Mas Moko yang sudah banyak membantu, Mas Atiq, dan tentunya Osy yang sudah mengantar perjalanan ini. 


Komentar

  1. Maaf sebelumnya,saya mau tanya ,sumber yang dapat dipercaya ,itu dari siapa ya?bapak atau ibu siapa?nama dan alamatnya dimana?,terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untuk data ukuran tinggi dsb data saya peroleh dari bidang jarahmuskala mas /mba. Terkait filosofi bentuk saya bertemu mas Dwihatmoko salah seorang pelestari yang juga pengajar sejarah seperti yang disebut diatas. Semoga berkenan. Matur suwun sudah mampir

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...