Langsung ke konten utama

Menengok Arca Batu "Onje Bukut"


#Latepost. Tak apa kan ? Saya sedang sok sibuk belakangan ini. Sehingga banyak file menumpuk tak terolah. Dan inilah salah satunya. Arca Onje Bukut.

• Oleh : Anita Wiryo Rahardjo •

Dua hari saya dan seorang kawan bolak-balik ke desa Onje. Kawan saya ini cukup sering mengagendakan mandi di Kedung Pertelon atau Jojog Telu saat bulan Sura. Dan inipun mempermudah saya untuk langsung menuju ke berbagai lokasi "peliputan" dengan mudah. Ia mengenal medan Onje dengan sangat baik. Karena beberapa titik yang sarat akan kisah sejarah lokal tidak berada di jalan utama Onje. Tak jarang kami harus keluar masuk setapak.

Salah satu yang kami kunjungi adalah Arca Bukut. Tercatat sebagai Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) sebagai Situs Batu Arca. Dinamakan arca karena tampak jelas tumpukan 2 batu itu membentuk kepala dan badan yang bersila.



Arca ini dikelilingi susunan batu andesit berbentuk bulat setinggi ± 0,5 m. Ditemukan di halaman rumah warga dengan dikelilingi tembok batu dan tetumbuhan. Secara turun temurun dikisahkan jika arca ini memiliki kaitan dengan Babad Onje. Di tempat ini acap tersebut nama Ki Tepus Rumput dan Ki Kantharaga.


Versi Babad

Dalam Babad Purbalingga dikisahkan bahwa Ki Tepus Rumput tengah "menepi". Pertama di petilasan Jati Wangi. Singkat cerita, Ki Tepus Rumput mendapat bisikan gaib untuk menuju lokasi Arca Bungut kini berada. Ditemui Ki Kantharaga, percakapan keduanya pun terjadi. Bahwasannya tugas Ki Tepus Rumput berikutnya adalah menuju Kerajaan Pajang untuk menemukan cincin Socaludira (Sosroludira) milik Sultan Hadiwijaya. Pertemuan dengan Ki Kantharaga itulah yang kemudian membuat Ki Tepus Rumput menggambarkan sosoknya dengan tumpukan batu.

Versi Lain mengatakan arca tersebut justru merupakan gambaran dari Ki Tepus Rumput itu sendiri. Saat Ki Tepus Rumput melakukan pengembaraannya, ia hendak ditemui Ki Kantharaga. Namun karena Ki Tepus Rumput harus pergi mencari cincin, disusunlah batu sebagai perwujudan dirinya.


 
Sementara itu menurut salah seorang sesepuh desa Onje, Mbah Samsuri, tidak ditemukan kisah tentang Ki Kantharaga ini dalam Babad Onje.

Juru Pelihara (jupel) Batu Arca, Suryanto mengatakan jika Arca Bukut ini tidak banyak dikunjungi seperti halnya Jojog Telu. Kunjunganpun selama ini didominasi pelajar. Namun dari masa apakah batuan andesit ini berasal, Suryanto belum juga mendapat informasinya dari pihak-pihak terkait.

Arca Bukut ini memiliki ukuran panjang = 31 cm, lebar = 19 cm dan tinggi = 48 cm. Batu bagian kepala memiliki dua lubang yang membentuk mata. Sementara batu lain membentuk badan dengan kaki bersila. Arca Bukut terletak di salah satu sudut situs ini. Dan terkadang tidak langsung kita sadari keberadaannya. Namun setelah diamati batu ini memang membentuk orang yang tengah bersila. Entah ada pahatan atau tidak. Karena setahu awam seperti saya benda yang disebut arca biasanya tidak terpisah dan memiliki pahatan. Ah, mungkin saya salah mengerti. Namun yang pasti hingga kini, kondisi batu terawat dengan baik.

Komentar

Banyak Dicari

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

TRADISI WISUHAN

Daur hidup manusia tak lepas dari rangkaian adat istiadat. Saat memasuki 40 hari, dilaksanakanlah tradisi Wisuh atau Wisuhan. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Pagi itu seorang pria pensiunan Polantas sibuk mencari anak-anak kecil. Minggu pagi memang tak mudah mencari para bocah di rumah. Mereka sedang asyik jalan-jalan bersama keluarga tentunya. Beruntung ada tiga bocah kelas 1 SD yang baru bangun keluar rumah dan kemudian dimintalah mereka bersiap memperebutkan uang. Ketiganya hanya mantuk-mantuk bingung. Mereka tak tahu bahwa mereka tengah dilibatkan dalam tradisi Wisuh. • Cukur rambut • Didalam rumah, seorang bayi mungil sedang dicukur bergantian oleh dukun bayi dan pihak keluarga. Dalam kebiasaan lain, saat seperti ini juga sambil dibacakan shalawat. Namun tidak hari itu. Pemandangan ini berbeda dengan yang pernah dilakoni saudara sepupu saya. Menjelang hari ke-40 (bisa dimulai dari hari ke-35 atau selapan dina), dukun bayi yang biasa mengurus ia dan puteri kecilnya secara khus...