Langsung ke konten utama

Kudapan Khas Siwarak untuk bulan SURA

Sura hampir berakhir. Tapi banyak moment yang tidak bisa saya lupa. Jelang bulan baru tahun Jawa kali ini istimewa buat saya. Salah satunya adalah karena bisa melihat langsung produksi kudapan khas dodol kelapa muda, manisan pepaya dan manisan cermai di desa Siwarak.

• oleh : Anita Wiryo Rahardjo •

Uap hangat beraroma legit mengajak kami berlarian menuju dapur Suwarti. Rumahnya tak jauh dari pintu masuk Objek Wisata Gua Lawa. Di dapurnya tampak aktivitas yang padat. Ada yang tengah mengupas kelapa, mengaduk adonan dodol, mengolah manisan hingga mengemas kudapan-kudapan ini. Target Suwarti adalah menjualnya untuk bulan Sura.

"Sejak awal produksi kami sudah membuat ini khusus untuk Sura, Maulud juga Khaul", kata Suwarti. Dodol dan manisannya banyak diminati menjadi oleh-oleh khas di Pemalang, Tegal hingga Cirebon. "Kalau njenengan ke makam Sunan Jati di Cirebon, ya salah satunya itu ada manisan buatan kami", tambah perempuan yang memulai usahanya di tahun 1987 ini.

Manisan pepaya warna-warni di sudut dapurnya memang sangat menggoda mata. Cantik pastinya yach kalau masuk stopfles. Sebenarnya tak hanya diluar kota, manisan dan dodol buatannya ini pun acap disediakan di Gua Lawa. Namun pada tiap akhir pekan saja.

• Dodol asli Jogjakarta •

Proses pembuatan dodol kelapa muda buatannya lebih istimewa lagi buat saya. Diolah dalam kuali super besar, bisa diperoleh kurang dari 1 kuintal dodol atau jenang. Jika sebagian besar masyarakat Banyumasan mengenal jenang wijen, maka kudapan ini berbeda. Jenang atau dodol kelapa muda, awalnya merupakan menu khas Jogjakarta. "Suami saya aslinya Jogja. Dan pas pindah kesini coba dipraktekkan bikin dodol kelapa muda ini. Alhamdulillah banyak yang suka. Jadi lanjut sampai sekarang", ujar istri Susanto ini berbinar.

Lazimnya jenang, dodol kelapa muda ini dibuat dari campuran beras ketan, santan, gula jawa dan yang khas adalah potongan kelapa muda. Semua bahan menggunakan hasil alam lokal Siwarak. "Kecuali kelapa muda, order dari Tlahab", katanya. Bahan-bahan ini dimasak dalam kuali yang didesainnya sendiri dengan perapian kayu bakar. Dan butuh dua hari untuk memasaknya. Wouuuuw. Lamanyaaaa.. Padahal adonan yang baru sehari pun sudah terasa matang buat saya. #nggragas

Seandainya saya datang esoknya pun, belum tentu dodol bisa langsung dikemas. Adonan yang baru matang akan disimpan terlebih dulu dalam kotak-kotak besar supaya padat. Barulah sekitar 4-7 hari dodol sudah mulai bisa dipotong. Kemasan terkecil dibanderol Rp. 8.000. Nggak mahal kaaaaaan.

• Manisan Cermai •

Manisan cermai menjadi sesuatu yang terasa menggelitik di lidah. Rasanya asem manis dan ada kasar-kasar gemanaaaa gitu. Eits, hati-hati ada bijinya. Bahan bakunya di'import' dari Kabupaten Batang.

Saya baru tahu nih kalau ternyata buah cermai aslinya berwarna putih. Efek pewarna makanan saja kok yang membuatnya menjadi merah.

Setiap manisan diolah dari buah bahan baku, gula pasir dan sedikit air. Prosesnya tidak selama membuat dodol kelapa muda. Ini hanya 2 jam saja selesai. Dan dibanding manisan pepaya, cermai jauh lebih mahal. Tapi .... mau mahal ataupun langka, jika memang tengah di"perlu"kan, pasti tetap akan dicari. Mungkin alasan itulah yang membuat Suwarti merasa tak masalah produknya tanpa label. Toh orang yang menbutuhkan di bulan-bulan tertentu akan menuju padanya. Meski demikian, Suwarti merasa jika memiliki "surat jalan" akan lebih nyaman untuknya melaju. "Belum punya IPRT, Mbak. Nggak tahu gemana ngurusnya", katanya sembari terus mengaduk dodol.

Jika Sura berakhir, maka produksinya akan lebih santai. Hanya sekedar untuk pemenuhan di OW Gua Lawa. Namun sebelum Maulud, Suwarti akan kembali mengolah kudapan-kudapan ini dalam porsi besar. Jadi jika ingin melihat langsung prosesnya, jangan lupa cek kalender.

Hujan masih menyapa diluar saat saya pamitan dari kediaman Suwarti-Susanto. Mendung menggelayut di langit Siwarak. Tapi ada "warna-warni" yang saya peroleh siang itu.

Dodol Kelapa Muda Siwarak dan manisan bisa dipesan melalui ketua Pokdarwis Lawa Mandiri, Mas Tomo di 5FA1ABCB. Matur nuwun Bu Suwarti, Mas Tomo dan Mas Yono sudah menemani perjalanan ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...