Langsung ke konten utama

PAMUJI DI BUKIT MUJIL

Alhamdulillah, puji dumateng Gusti. Setelah melewati dua bulan yang melelahkan dalam perjalanan hidup yang baru, kesampaian juga untuk posting. Mungkin banyak sekali materi latepost, namun sekiranya sungguh sayang jika hanya dibiarkan mangkrak. Banyak perjalanan yang makin membuat kaya warna hidup saya. Jalan yang berliku, cuaca hujan, penolakan, kamera tak berfungsi, kehabisan bekal,  terdampar sendirian bahkan hingga terserang morbili. Ah, lama tak mengalaminya, membuat kesalahan model ini jadi begitu ngangenin. Kayak kamu, ngangenin #hugu

• oleh : Anita Wiryo Rahardjo •

Kita akan mulai dari perjalanan ke sisi utara Purbalingga.
.................
..............
...........
.......

Aura tenang langsung menyergap begitu kaki menapaki tanah basah dihadapan. Waktu itu, hujan memang masih sesekali mengguyur. Sedikit terasa licin karena salah alas kaki. Namun kelincahan Mbak-mbak pemandu didepan, memicu saya untuk tidak menyerah. Padahal  flat shoes mereka juga tidak anti slip. Namun semua bukan rintangan berarti, jika ingin mencapai Bukit Mujil.

Bukit Mujil, bagi sebagian orang dikenal sebagai tempat untuk menepi. Dipercaya berasal dari kata "Pamuji". Ritual memuji. Bukankah memuji keagungan Sang Penguasa Jagad lebih mudah diterapkan sosok awam saat berada di alam bebas. Apalagi di Bukit Mujil juga menawarkan pemandangan alam istimewa dibawah sana. Kedung Cucruk hingga Makam Wangi.

"Kepenginnya sih bikin gardu pandang disini", kata Mbak Tri, salah seorang pemandu kami pagi itu. Namun keinginannya (dan Pokdarwis tentunya) masih belum terealisasi. Mengingat lahan di bukit Mujil tercatat dimiliki perorangan. Karena sebenarnya bukit ini adalah kebun milik beberapa warga yang ditanami kelapa hingga tanaman kayu.

Petilasan

Suasana sejuk dan pemandangan indah dibawah sana telah menjadi langganan "tamasya" penduduk setempat. Biasanya mereka memilih hari libur untuk bermain-main di igir ini. Dan tidak jarang pula, berdatangan tetamu jauh. Namun mereka beda tujuan. Target mereka adalah Makam Mbah Adipati Jangkung.

Dukuh Pengampiran menjadi lokasi yang harus dituju untuk menuju bukit dan petilasan ini. Petilasan yang diharap juga mampu melengkapi paket deswita Kaliori. Lalu siapa Mbah Adipati Jangkung hingga petilasannya diwacanakan untuk menjadi wisata kesejarahan lokal ?

Guna menjawab rasa penasaran, kami mengunjungi seorang sesepuh desa, Mbah Nuri Ahmad yang tinggal di sebelah Masjid Batu Dusun Pengampiran RT 13 RW 03. "Wah, kebeneran. Nanti sekalian melihat Masjid Batu ya Mbak. Mumpung semalam baru diresmikan", ujar Mbak Tri bersemangat. Seru nih. Karena kemudian Mbak Tri mengatakan jika Masjid ini sudah ada sejak lawas. Hanya kemudian perubahan desain memang baru-baru ini dilakukan.

Tidak jauh, sampailah kami. Kediaman Mbah Nuri Ahmad tengah ramai dikunjungi orang. Kami pun ikut nimbrung saja di beranda rumahnya yang masih beralas tanah ini. Tetamu yang sebagian besar warga sekitar satu per satu berpamitan. Mempersilakan saya yang datang dari jauh.

Belum usai rasanya saya memperkenalkan diri, secangkir jahe susu instan disajikan oleh istri pemilik rumah. Ini langsung mengingatkan saya pada saat Eyang Buyut masih sugeng. Katanya, " Tamu yang datang haruslah dijamu. Karena dalam tegukan terakhir mereka ada keberkahan. Untuk kita dan mereka". Ah, ya ! Tidak ada alasan untuk menolak jamuan disini. Meski bawa bekal, jahe susu hangat dan kue apem ini jauh lebih menarik sebagai teman berbincang.

Petilasan Penghulu

Mbah Nuri Ahmad menolak penyematan nama Mbah Adipati Jangkung pada makam di atas Bukit Mujil. "Niko petilasane Mbah Pengulu", ujarnya. Petilasan itu menjadi penanda untuk tempat berkumpulnya sebagian ulama yang banyak bermukim di daerah utara Purbalingga ini.

Siapa Penghulu ini memang tak diketahuinya secara pasti. Namun berdasarkan informasi yang diterimanya, Penghulu itu sempat beristirahat di tempat tersebut. Hal itu dikatakannya terjadi pada masa peperangan. Hmmmm, mungkin pendudukan Belanda ya pada 1800-an. Mungkin. Tempat melepas lelah itulah yang kini ditandai dengan keberadaan batu serupa nisan diatasnya. Juga dikelilingi tanaman perdu yang meski tak bersih amat, sepertinya dirawat dengan baik.

"Mulane aja nyebutna pesareane Adipati Jangkung. Mbok malah dadi "kesasar". Kono mau pada kesasar ora?", tanya Mbah Nur. Saya tersenyum geli. Dan tentunya menggeleng dengan semangat. Mbeling bukan berarti nggak pernah eling kan ? Namun kekhawatiran Mbah Nuri Ahmad ini memang bukan tanpa alasan. Banyak orang salah tujuan ke bukit Mujil. Bukannya mendekatkan diri pada Sang Kalam, eh malah minta togel atau tetek bengek tak jelas lainnya.

Jadi apakah petilasan Penghulu ini berkaitan dengan sejarah desa Kaliori ?

• Wiradinala •

Pertanyaan itu dijawab dengan helaan nafas panjang oleh Mbah Nuri Ahmad. Seketika hening. Saya salting. Dan memilih menyesap sisa isi gelas saya.

.......................................................

"Yang saya tahu, dulu canggah wareng saya, Eyang Wiradinala yang membuka lahan disini. Tahunnya 1817", kisahnya singkat.

Soal tanah di petilasan itu, sejak awal memang milik warga. "Duweke keturunane Kaki Kasani", katanya tanpa menjelaskan siapa nama ini. Hal itu jugalah yang membuat keluarganya tidak mungkin membangun langgar di bukit Mujil. Hingga pilihan pun jatuh pada tanah yang mereka tempati. Masjid Nurul Huda pun dibangun.

• Masjid •

Kembali ke Masjid Batu. Berhubung #latepost yang late-nya kebangetan, saat itu Masjid dalam kondisi belum rampung. Menara masih belum usai. Beberapa bambu masih terpancang di dalam bangunan Masjid. Namun tak menyurutkan keindahannya. "Kayak di Timur Tengah. Eksotik", kata seorang teman saat melihat koleksi foto ini. "Emang Masjid disana kaya begini ya modelnya ?", tanya saya. Dia cengengesan. "Cuma ngikutin omongan orang", jawabnya.

Masjid ini dibangun pada tanah wakaf keluarga Nuri Ahmad dengan luasan 12 × 12 m². Oh iya, menara masjidnya mencapai 18 meter. Ini juga full batu. Dibangun kembali sekitar 3,5 tahun ini. Material batunya merupakan sumbangan dari sebuah Pondok Pesantren di Cirebon. Dan bentuk baru itu membuat namanya jadi berubah. Al Masjidul Hajar Aswad wal Abbiyan Jamiatul Islamiyah Nurul Huda. Namun untuk mudahnya, Masjid Nurul Huda. Lalu berapa nominal yang diperlukan untuk mendirikan masjid Nurul Huda ini ? "Mboten wilangan, Nak", pungkas Mbah Nuri Ahmad.

Ah iya. Mana ada nominal untuk bentuk pemujaan kepada Sang Pencipta. Dan apapun hal dibalik pembangunan masjid itu, yang jelas saya terpukau. Desain hingga ke interiornya yang full batu ini menjadikan sangat elok. Atap penyangga kayunya tetap membuat saya merasa berada disisimu. Lekat dengan keseharian kita. Persembahan istimewa untuk kita makin mensyukuri Maha Indah segala ciptaan-Nya.

Matur nuwun Mbah Nuri Ahmad, mbak Tri dkk, Kominfo Kab. Purbalingga, Mas Umang, dan semua

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...