Langsung ke konten utama

Sega Bonjapi


Sega Bonjapi yang saya pesan ini hanya separuh. Dan saya menyesal. Kalau saja saya tahu rasanya seenak ini, jelas saya minta porsi penuh.

• Oleh : Anita W.R •

Siang itu, satu bulan sebelum Ramadhan 1437 Hijriyah. Ajakan dari Bidang Kominfo Dinhubkominfo Purbalingga ini jelas sayang untuk diabaikan. Mengunjungi Desa Wisata Kaliori, kecamatan Karang Anyar. 
Perjalanan ke utara memang selalu menghadirkan hamparan sawah dihadapan kami. Belum lagi di kejauhan barisan bukit tampak menjulang. Ah, tahu begini saya membawa koleksi CD Barong Nusantara dan memutarkan Pulang Kampung pada sessi menunggu di pinggir sawah.

Menunggu di pinggir sawah ini bukan leha-leha. Melainkan hasil musabab antrean kendaraan pada badan jalan yang putus menuju Kaliori. Padahal perjalanan masih cukup jauh. (Semoga jalan sudah diperbaiki sekarang).

Beruntung tidak banyak jalan besar di wilayah pedesaan. Tak perlu takut tersasar. Dengan keyakinan mengikuti satu jalan lurus, pastilah kita akan menemukan Balai Desa. Target pertama setiap kunjungan resmi (baca : kedinasan). Dari sini, saya bisa melihat bagaimana semangat mereka akan rintisan desa wisata baru di Purbalingga ini. Mereka menawarkan Kedung Cucruk yang merupakan surga bagi para pemancing. Juga "Tanah Lot"-nya Purbalingga. Tempat ini sudah lebih dulu menjadi viral tingkat lokal.Khusus foto disamping diunduh dari sini.

• Mujil •

Karena masih terlanjur dilekatkan dengan aktivitas berkidjing, mau tak mau saya pun mengikuti ajakan salah seorang dari mereka menuju makam Mbah Jangkung. "Biar yang lain saja yang ke Kedung Cucruk", katanya. Hmmm, baiklah kita nikmati saja keseruan mendaki bukit Mujil demi melihat dari dekat petilasan ini. Untuk lengkapnya siapa Mbah Jangkung, akan dibahas lain waktu saja. Insya Allah.

Dan setelah nasrak-nasrak itulah, kami disuguhi Sega Bonjapi di markas Grugak. Grugak merupakan nama dusun dimana aliran sungai Gintung melintas didepannya. Jadi inilah nikmatnya. Makan di pinggir sungai besar dengan angin sepoi-sepoi. Ah, berasa makan di pinggir pantai saja. Jadi benarkah makan di Jimbaran semacam ini ? Saya kan belum pernah ke Jimbaran. Hehe...

Dengan ramah, mereka menyuguhkan Sega Bonjapi dan Sambel Kecupak. Melihat porsi yang sepertinya terlalu berat, saya pun masuk ke dapur. "Kulo sepalih mawon Bu", pesan saya. Mereka mulai mempersiapkan nasi hangat, abon, orek tempe, telur dadar dan saus sambal. Nasi dicetak dalam bumbung atau bambu yang dipotong setinggi 10 cm. Nasi akan diisi dengan abon. Dan disini uniknya. Abon jantung pisang. Bonjapi. See ?

• Hasil kunjungan KKN •

Abon Jantung Pisang atau Bonjapi adalah produk baru di Kaliori. Disana keberadaan pisang memang cukup melimpah selain kelapa. Selama ini produk olahan pisang terbanyak adalah sale pisang. Dan berkat kunjungan mahasiwaKKN dari Fakultas Pertanian Unsoed beberapa waktu sebelumnya, mereka mulai mengenal Bonjapi.

Hasilnya ? Bonjapi jadi favorit. Dengan paduan bumbu berupa jahe, lengkuas, bawang putih, gula dan garam, suwiran jantung pisang ini jadi berasa gurih nikmat. Sepintas kayak abon sapi. Wah, cocok buat vegetarian.

Menurut mbak Rosyidah, tidak semua jantung pisang pas diolah menjadi Bonjapi. "Cuma Raja Bandung, Kepok, dan Belitung". Pisang jenis lain biasanya akan menghasilkan sedikit getir. Dan itulah yang mereka hindari.

Soal sambal kecupak, ini terdiri dari cabai bawang yang diiris kasar dan ditambah jelantah. Kata para penyuka pedas si segar. Kata saya ? Pedes lah.

Nantinya Sega Bonjapi akan menjadi menu khas pengunjung desa wisata Kaliori. Ditambah dengan beverage Es Badeg. Srlluuupp.



Komentar

  1. Anita.... Saya sangat bangga dengan karya tulisan anda.... Pemaparannya sangat gamblang....Tks ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Pak Yono, waaahhh... senang sekali blog saya dikunjungi kembali sosok yang turut mengantarkan Kedung Cucruk menjadi sebeken sekarang ini..

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...