Langsung ke konten utama

Paduan aroma sawah dan nikmatnya Sega Bakal di Bakal Angkringan

Jika sebagian besar dari kita memilih mengkonversi lahan bambu menjadi pemukiman. Maka sekelompok anak muda ini tengah mempertahankannya untuk dikelola menjadi beberapa kerajinan.

• Oleh : Anita W.R •

Jelas terlihat satu set kursi ini terbuat dari bambu. Jenisnya adalah bambu atau pring tutul. Salah satu yang tergolong langka di Indonesia. Padahal, Indonesia ini endemik sekitar 150-an jenis bambu dari seribuan jenis yang ada di dunia. Keunikan pring tutul adalah bercak hitam dan keemasan di sepanjang batangnya. Bambu berdiameter rata-rata 9 cm ini banyak tumbuh di desa Bokol, Kecamatan Kemangkon. Tempat bermukim Dwi Kaliyan Kanca yang tergabung dalam “Rumah SeniDarimu Entertainment Education.

• Berawal dari Seni •

Bagi Dwi Nugroho dan orang-orang di sekitarnya, bambu bukanlah barang baru. Cukup banyak papringan di sekitar mereka. Namun, penduduknya masih lebih memilih ikut dalam proyek galian C. Desa Bokol memang dialiri dua sungai besar. Klawing dan Serayu. Dimana menambang akan jauh dirasa lebih menguntungkan dari mengelola bambu.

Dwi Kaliyan Kanca (mari selanjutnya kita sebut "dkk"), awalnya pun tidak sengaja menyadari bahwa bambu bisa diolah sedemikian rupa. Aktivitas awal "dkk" adalah berkesenian. Nge-band, nari (nari lho ya bukan ngedance), musikalisasi puisi dan lainnya. Kebutuhan ruang membuat Angkringan Bakal dibangun. Dengan desain full bambu.

Tidak hanya itu, beberapa kancanya di Bokol yang putus sekolah pun direngkuhnya. "Daripada ikut nambang. Kalau pasirnya habis gemana ? Kalau bambu kan kita tebang pilih, jadi nggak habis", kata Dwi yang kini juga mulai menaman bambu di belakang kediaman orang tuanya. Hingga kemudian mereka mulai mengolah pring tutul menjadi meja, kursi, tempat tissue, bingkai foto, tempat pensil serta lampion. Tak terasa, dari awal menggagas di tahun 2012, mereka berhasil menjual lebih dari 20 set kursi ke wilayah disekitarnya. "Sekitar satu minggu, penggarapan selesai", kata anak muda berambut gimbal ini.

Untuk 1 set kursi terdiri dari satu kursi panjang, tiga kursi pendek, satu meja tamu dan satu meja vas. Ditambah bonus 1 tempat tissue dan bingkai foto. Waaaah, paket lengkap. Dan sepertinya juga hemat. Karena hanya dibanderol Rp. 800.000,-. "Delapan Ratus itu plus ongkir di Purbalingga dan sebagian Banyumas. Kalau wilayah lain, yaaaaa.... tahu sendiri lah", katanya sembari tertawa.

• Awal dari lemari kostum •

Bukan waktu yang singkat bagi "dkk" untuk kemudian memproduksi 1 set kursi tamu ini. Ini adalah ketidaksengajaan yang membawa rejeki. Utak-atik bambu ini bermula dari kebutuhan akan lemari kostum mereka yang menari. Dwi hanya memfasilitasi bambu yang ia beli pada tetangga kala itu.

Selain itu, Dwi juga berprinsip bahwa bambu bukan tanaman liar yang bebas dieksploitasi. Mereka tidak akan tebang sembarangan. "Kami tanya ke orang tua dulu, Mba. Mereka kan punya ilmu titen ya. Dan itu yang sedang kami pelajari juga", ujarnya. Ya, dengan ilmu titen ini selain hanya bambu tua yang boleh ditebang, mereka pun terhindar dari "bubuk" bambu yang muncul akibat salah petungan.

Setelah lemari itu jadi, tanpa dikomando sisa bambu dimanfaatkan untuk membuat meja. "Katanya, biar ada tempat buat naruh medangan pas latihan, Mba", kenangnya. Meski tak sempurna, meja itu masih disimpannya. "Nggak simetris, oyeg-oyeg (bergoyang), masih pakai paku pula", katanya. Ini jelas berbeda dengan hasil kreasi sekarang.

Meja kursi bambu identik dengan pantek bambu dan ikatan rotan. Begitupun hasil produksi Darimoe. Diluar itu, mereka pun sudah rutin membuat laporan periodik sendiri. "Biar terbiasa mandiri Mba. Bikin laporan sendiri buat diri sendiri", tambahnya.

• Sega Bakal •

Di markas Darimu, kita pun akan dimanjakan dengan menu-menu khas olahan para Ibu "dkk". Maincourse-nya adalah Sega Bakal. Pemilihan kata bakal menurut Dwi dikarenakan kata ini yang lambat laun berubah menjadi Bokol. "Kalau kata orang-orang tua disini bakale wilayah kiye kan sekang alas", ujarnya singkat.

Dan Sega Bakal yang disajikannya pun merupakan menu keseharian masyarakat Bokol yang dikemas tersendiri. Isinya : Nasi, Pecak Jantung Pisang, Tempe Gundil, Lalab, Sambel Jelantah dan Ingkung Pitik. Sesekali pecak jantung pun bisa diganti dengan oseng rebung, oseng tauge atau oseng kacang panjang. "Tergantung Emak-emak lagi nemunya apa disekitar mereka. Karena bahan-bahannya harus yang tersedia di Bokol", terangnya. Dan dari sekian menu, Dwi merekomen sambel jelantah. "Orang jaman dulu, nasi sama sambel jelantah saja sudah bersyukur banget Mba. Dan ternyata enak rasanya", promonya. Hmmmmm, bagi penggila sambal, ulekan bawang merah dan sedikit cabai dengan minyak sisa menggoreng ini boleh kok menambah referensi. Tapi karena saya tidak suka segala jenis yang pedas, maka Tempe Gundil adalah yang paling kece buat saya. I Love It !!

Bagi yang masih ingin duduk berlama-lama (dalam istilah mereka rubungan), bisa juga sembari menyesap segelas kopi dan mencomot balok Bakal, sejenis camilan dari singkong. Atau saat panas menyengat, saya sarankan Badeg Bakal dengan Es yang dingin menyegarkan. Selamat menikmati asrinya gubug bambu ditemani kreasi Dwi Kaliyan Kanca di Bokol 4/2 Kemangkon, Purbalingga.

Keseluruhan foto diunduh dari akun facebook Dwi Nugroho

Salam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...