Berbicara bakmi, maka publik Purbalingga
mengenal nama Bakmi Jawa Pak Sunar yang telah melegenda. Sejak puluhan tahun
silam, citarasanya tetap bertahan. Tak berlebihan rasanya jika bakmi nyemek ini
disebut sebagai salah satu khase wong Purbalingga.
• Oleh : Anita Wiryo Rahardjo •
Aroma khas arang yang dibakar menyambut
siapapun yang masuk di kedai ini. Seorang perempuan sedang sibuk membuat
pesanan bakmi. Sembari memasak di atas tungku, ia tak segan-segan mengajak
ngobrol mereka yang datang. Hingga tak terasa bakmi dengan potongan daging ini
siap disantap.
Di kedai utara Masjid Agung Darussalam
Purbalingga inilah, Dwi Eni Setyowati melanjutkan usaha kakeknya yang telah
dikenal luas di Purbalingga, Pak Sunar.
Malam itu, sisa gerimis seharian membuat kuliner
hangat menjadi pilihan paling dicari. Bakmi nyemek dengan panas yang awet ini,
salah satu alternatif ciamik. Apalagi kita bisa request sesuai selera. "Ada lho Mba yang pernah minta telurnya lima.
Sampai mie-nya nggak kelihatan", ujar Eni sembari tertawa geli
mengingat macam ulah pelanggannya.
Sebagian pelanggan Bakmi Jawa Pak Sunar ini
adalah generasi turun temurun. Ya, Pak Sunar (Alm) memang telah memulai
usahanya sejak 60'an.
• Pikulan
Pawitan •
Pak Sunardi yang akrab disapa Pak Sunar pada
awalnya dikenal sebagai petani di desa Sumur Bandung, Kaligondang. Usai
beraktivitas di sawah, ia berdagang bakmi dan sate berkeliling kampung. "Dulu katanya, jam 10-an di Kandang Gampang
sudah banyak yang nunggu sambil bawa rantang", kata Eni. Ini
diketahuinya dari pelanggan sepuh yang masih setia menikmati bakmi nyemek khas
ini. "Bahkan ada yang mengatakan
tahun 50-an, katanya kakek saya sudah jualan", lanjutnya. Tak heran
ya, jika kemudian menu ini jadi klangenan dari masa ke masa.
Bakmi Pak Sunar tempo dulu diedarkan dengan
gerobak dorong. Kentongan kecil dari kayu dengan bunyi yang khas menjadi
penanda datangnya menu lezat yang banyak difavoritkan keturunan etnis Tionghoa
ini. "Ini pikulannya ada",
kata Eni seraya menunjuk badan gerobak di sebelahnya yang kini disangga dengan
tembok agar lebih kokoh. Sayang, kentongan kecilnya hilang tak berbekas.
Bermula dari mendorong gerobaknya setiap
malam, Pak Sunar kemudian memutuskan menetap. Mereka yang mencintai menu
olahannya seolah sudah tidak lagi mau diajak berkompromi menunggu hingga malam.
Ia lalu membuka kedai pertamanya di
selatan Alun-alun Purbalingga. “Dulu
ada koplak atau pangkalan oplet. Nah, di
dekat situ Pak Sunar buka kedainya yang pertama. Ngontrak Mba”, kata Budi.
Penggusuran membuat kedai ini berpindah ke perempatan lampu merah dekat eks
Kawedanan pada tahun 80’an dan terhitung sejak 2005 telah menempati kedai yang
sekarang ini. Di awal buka kedai Bakmi, Sate, Soto hingga es campur adalah
menunya. "Makanya saya kadang suka
terharu kalau ada yang datang terus pesen soto, Mba. Ini pasti langganan Kakek
saya dulu", kenangnya. Soto memang sudah tidak lagi disajikan. Eni
cukup kerepotan jika harus memasak satu menu lagi. Mengingat ia seorang dini
menangani urusan memasaknya. "Yang
bantuin paling cuma mbakar sate saja", ujarnya.
• Generasi
kedua •
Eni memang memutuskan membantu usaha kakeknya
selepas lulus SMA. Alumni SMA Karya Bakti Purbalingga ini tidak pernah
menyangka ia akan terjun di ranah kuliner.
Eni yang sejak kecil ikut sang kakek, sebenarnya
lebih menyukai seni kriya. Namun ia ditunjuk menjadi generasi penerus kakeknya.
"Awal masak ya dimarahin orang. Rasa
bakminya jadi nggak karuan. Namun saya ingat betul pesan kakek saya. Katanya
jadi penjual itu kupinge kudu kandel. Maksudnya kalau dikritik ya harus tahan,
jangan langsung sakit hati. Satu lagi, juga harus lenjeh, hehe ",
ujarnya. Lenjeh disini bermaksud supel dengan pembeli.
Usahanya berbuah manis. Seiring waktu
pelanggan mulai merasakan jika menu olahannya sama persis dengan sang kakek,
Pak Sunar.
Lalu adakah bumbu spesial dalam masakannya ?
"Apa ya ? Bumbu si sama saja. Tapi
bahannya memang pilihan. Terutama mie dan bawang. Harus kualitas bagus",
tambah Budi S, suami sekaligus manager dan marketing Bakmi Jawa Pak Sunar.
Selain itu tungku juga menjadi alasan aroma dan citarasa bakminya yang sangat
khas.
Pernah demi alasan mengejar pesanan, mereka
mengganti tungku dengan gas. Namun pelanggan malah kecewa. Dan akhirnya tungku
menjadi hal mutlak di dapur kedai ini. "Jadi mulai dari cara memasak, bahan bakar sampai tata warung pun sama
persis. Tidak diubah lagi. Pelanggan lebih nyaman dengan suasana ini", terangnya.
• Satai
hingga Nasi Mawut •
Cita rasa yang tak berubah menjadi alasan
selalu ramainya kedai ini. Sebenarnya sekarang pun tak hanya Bakmi Jawa Nyemek
yang bisa kita pesan. Satai Ayam Pak Sunar pun tak kalah nikmat. Satainya ini
sudah enak meski dimakan tanpa sambal. Karena sudah berbumbu. Kaya rasa dan
tetap empuk. Ditambah satainya pun bisa tahan lama. Eni menyebutkan dalam 5
hari pun satai buatannya masih layak konsumsi. Dengan catatan, disimpan tanpa
disiram sambal atau bumbu satainya. Saking awetnya, seorang pelanggan yang
telah berpindah ke Singapura bahkan membawanya pulang. "Alhamdulillah, katanya masih enak",
katanya.
Dalam membuat satai, ia pun tak segan bermain
bumbu dan gula merah. "Jadi kalau
sesekali dapat gula yang kualitasnya nggak terlalu bagus, ngaruh di rasanya.
Jadi asem", keluhnya.
Selain satai ayam, kita pun bisa memilih mie
kuah, mie goreng, bihun kuah, bihun goreng, cap cay, dan nasi mawut. Khusus
menu terakhir ini, disajikan setelah ada permintaan dari pelanggan terutama
yang berasal dari daerah wetan. "Katanya
menu Magelangan. Gampangnya nasi dicampur mie goreng. Dan ternyata disini pun
banyak yang suka nasi mawut", kata Budi.
• Dari
Rp. 2.500 •
Bakmi Jawa Pak Sunar memang dikenal memiliki
kisaran harga yang cukup tinggi. Namun kualitas bahan dan cita rasa yang
terjaga jelas sebanding. Nggak perlu merasa rugi merogoh lembaran hijau untuk
satu porsi bakmi nyemek. Toh sejak awal, Bakmi Jawa Pak Sunar memang sudah
demikian. "Lupa ya tahun pastinya.
Yang saya ingat dulu pernah Rp. 2.500 per porsi. Naik lagi jadi Rp. 5.000 dan
seterusnya. Yang pasti pada tahun 2000 harganya sudah Rp. 14.000, kemudian naik
seribu pada 2005 dan sekarang Rp. 20.000, - per porsi bakmi”, kata Budi.
Ya, berapapun harganya toh siapapun yang
pernah merasakan bakmi Jawa Pak Sunar ingin terus kembali menikmatinya. “Kata
yang merantau, serasa belum pulang kampung kalau belum mBakmi Sunar”,
tandas Budi mantap.
makanannya enak banget kak, pengen nyoba kak
BalasHapusWassalam