Batik gelap bergambar naga yang dikelilingi pohon
hayat dan aneka fauna itu dipadu dengan beskap ataupun kebaya kutu baru hitam.
Begitulah kira-kira seragam dinas para pejabat pada era Bupati ke-9
Purbalingga. ( Oleh : Anita W.R. )
Museum daerah Prof. Dr. R. SoegardaPoerbakawatja menjadi tujuan saya siang itu. Beberapa bulan silam, sebelum
peresmian ruang pameran baru dibuka. Satu koleksi batik lawas menarik perhatian
saya. Batik itu bernama Naga Tapa. Sebuah motif klasik yang termasuk dalam
jenis semen yang dimaknai sebagai penggambaran kehidupan yang semi. Ini
terlihat dari jenis ornamen pokoknya yang berhubungan erat dengan paham
Tribawana atau Triloka yaitu : daratan, udara dan air.
Dalam Batik Naga Tapa Purbalingga, unsur
tanah diwakili oleh sulur tetumbuhan, pohon hayat, binatang berkaki empat
seperti harimau, kijang, gajah serta bajing. Udara yang digambarkan melalui
burung dan kumbang. Serta binatang utama naga yang mewakili ketiganya. Naga
kerap digambarkan sebagai satwa mirip ular besar yang bersayap, bersisik dan
bermahkota.
Berbeda dari Batik Naga Tapa lain, ada
satu hal yang menjadikannya khas di Bhumi Perwira ini. Yaitu dijadikan seragam
kebesaran bagi (saat ini mungkin setara) Kadin hingga Bupati kala menjalankan
tugas, pada rentang 1925 hingga 1949. Ini seperti yang dilakukan oleh RM
Aboesono selaku Kepala Kantor Pos saat itu. Dan batik Naga Tapa yang menjadi
koleksi museum Soegarda adalah hibah dari ahli warisnya.
RM Aboesono merupakan putra Patih
Purbalingga yang menikahi RAy. Soegiarti, salah seorang cucu Bupati Purbalingga
ke-6, Dipokusumo IV. Foto disamping saya unduh dari Facebook Keluarga Besar Eyang Hatmodipuro
Batik ini diperkirakan menjadi salah
satu kriya buatan pembatik lokal. Penduduk Purbalingga pada tahun tersebut
telah mengenal batik. Baca kilasannya disini. Selain para pembatik, kalangan
puteri keluarga bangsawan pun tidak jarang ikut berlatih membatik. Tentu saja
bukan untuk mata pencaharian namun guna mengasah ketrampilan. Dan batik Naga
Tapa buatan R.Ay. Soegiarti inilah yang dikenakan RM Aboesono saat bertugas.
Bahkan dari foto yang tertampang di Museum Daerah, batik ini dibuat di halaman
rumah dinas kantor pos yang didiaminya.
Penggunaan batik pada masa itu jelas
sebagai jarit. Yaitu dibebatkan pada pinggang dengan ujung kain berakhir di
tengah bagian depan. Ujungnya akan diwiru sejumlah ganjil dengan bagian putih
disembunyikan. "Ini mengacu pada
penggunaan jarit gaya Surakarta", terang Triningsih, salah seorang
kuratornya.
Ada tiga unsur warna dominan dalam batik
ini. Putih, cokelat dan biru yang sangat tua hingga menyerupa hitam. Semua ada
maknanya. Putih melambangkan kesucian. Cokelat melambangkan warna tanah atau
bumi yang menjadi perlambang kesuburan dan kehangatan. Serta biru yang sangat
tua atau hitam yang mengartikan kekuatan, kemewahan dan keagungan. Disebut-sebut,
semakin gelap warna suatu batik, maka akan semakin terlihat berkelas. Begitu
prinsip yang berlaku dahulu.
Lalu apa yang menjadi makna dari Batik
Naga Tapa Purbalingga ini ? Seperti sebuah karya yang ditulis oleh Nur Setyani yang
direferensikan oleh pihak Museum, bahwa keseluruhan ornamen ini mengartikan
kesaktian, kekuatan dan kekuasaan.
Sebut saja gajah yang disitilirkan dari
sulur tanaman. Satwa yang menurut pembatik lokal, Yoga Prabowo ini jarang dan
tidak lazim dalam batik Purbalingga-an, melambangkan kekuatan dan keadilan
dalam segi hukum.
Sementara kijang dikenal akan
kegesitannya, harimau akan keperkasaannya, bajing atas kecerdikannya, burung
untuk keluhuran dan kejayaannya. Kalau kumbang ? "Sebagai pemimpin kan harus bisa beradaptasi dengan baik, karena simpati
masyarakat akan menjadi salah satu kekuatannya. Itu dilambangkan dari kumbang",
tambah Triningsih.
Selain itu, kita pun masih menemukan
bentuk gambar bangunan yang tentu saja melambangkan tempat berlindung yang
tentam damai dan juga dampar yang sering dikaitkan dengan lambang kekuasaan.
Tumbuhan menggambarkan kesuburan. Sedangkan pohon hayat tentu saja melambangkan
pohon kehidupan. Dan tak ketinggalan sang naga yang identik dengan kesaktian.
Dan bagaimana batik Naga Tapa
Purbalingga saat ini ? Desainnya yang sangat rumit memang membuat jarang ada
pembatik yang mau mengerjakannya. "Tapi
kalau pesen ke pembatik tradisional sih kayaknya masih bisa", pungkas Triningsih.
Komentar
Posting Komentar