ABG action dan fotonya beredar di Sosmed itu biasa,... tapi
foto Mbah Penjual Buntil beredar di mahakarya Marc Zuckerberg ? Hmmm, ini neh
yang bikin saya dan teman-teman mencari tau siapa gerangan dirinya. Rasa
penasaran ini membawa saya menyusuri jalan-jalan perkampungan yang dinamai Kampung
Baru di selatan Gelora Guntur Daryono Purbalingga.
Kehebohan ini bermula dari akun sosmed mereka yang bergelut
membesarkan "UMKM Perwira". Pertanyaan "Siapakah beliau ?"
dalam foto seorang Perempuan Sepuh nyampingan membawa tenggok berisi Buntil
dan tengah berjualan di trotoar memancing deretan komentar. Sampai akhirnya
terdeteksi juga bahwa Sang Mbah Buntil ini adalah satu-satunya produsen dan
penjual Buntil di wilayah Purbalingga Kidul. Dan kini produk olahannya dikenal
dengan sebutan BUNTIL MAKSUDI.
foto diambil dari facebook milik Adi Purwanto
SEJAK TAHUN '65
Siang nan terik membawa saya ngadem di kediaman Mbah
Maksudi. Nama aslinya adalah Sukesiah.
Namun ia lebih dikenal dengan nama Mbok Maksudi.
Ketika saya datang, ia tengah berisitirahat di sela-sela proses memasak Buntil.
Aktivitasnya memang terbilang tak ada mandegnya. Jam 6 pagi, ia sudah harus
berjualan Buntil. Berjalan kaki mengitari beberapa dusun disekitar tempat
tinggalnya. Sekitar tiga jam usai menghabiskan dagangannya, ia akan memulai
kembali proses pembuatan Buntil. Proses yang sangaaat panjang. Karena semuanya
masih manual dan dilakukannya sendiri.
Ya, bagi Sukesiah atau Mbok Maksudi,
membuat Buntil memang telah mendarah daging. Sejak masa remajanya di Sidareja
dulu, ia sudah terbiasa membuat menu khas wilayah Banyumasan ini. Sampai
kemudian ia menetap hampir 40 tahunan di Purbalingga, ia pun tak berlari dari
Buntil. "Buntil niku Lumbu diuntil", katanya sembari tertawa
renyah. Lumbu adalah bahan baku pembuatan Buntil. Sejenis daun keladi atau
talas pilihan saja yang biasa dipakainya. Ia memang menyeleksi bahan bakunya
dengan detail. Hal ini bertujuan agar konsumennya tidak mengalami rasa gatal di
lidah atau tenggorokan. "Yang saya pakai adalah Lumbu Banten atau Lumbu
Pari saja", ungkapnya dalam Bahasa Jawa yang kental. Sebagai mata awam, saya melihat Lumbu
Banten ini berwarna lebih gelap baik serat sampai batangnya. Sedangkan diuntil
berarti diikat. Apanya ? Tentu saja daun Lumbu yang telah diisi dan dibentuk
itu harus diikat sebelum dikukus, agar tetap rapi. Diikatnya nggak pakai karet
laah. Melainkan dengan irisan tipis bambu yang nantinya akan dilepas usai
proses pemasakan Buntil usai.
Bicara mengena kejeliannya memilih jenis daun Lumbu
(daerah lain menyebutnya Lompong) ternyata bermula dari pengalamannya ketika
pertama kali membuat Buntil di Purbalingga. Diakuinya daun Lumbu Purbalingga
cukup berbeda jenis dengan yang dikenalnya di Sidareja, Cilacap. “Lumbu Purbalingga itu harus dimasak
berjam-jam. Harus sampai benar-benar tanak agar tidak gatal”, terangnya.
Itulah mengapa ia masih mempertahankan gaya pemasakan Buntil tradisional. Agar
tercipta tingkat tanak yang sempurna, diperlukan perapian yang tak berhenti.
Dan Mbok Maksudi memilih memasaknya menggunakan pawon atau tungku.
Pada awalnya Mbok Maksudi berkeliling kampung menjajakan
Buntilnya. Ia akan memulai aktivitasnya pada jam 6 pagi dan berakhir 4 jam
kemudian. Sesampainya di rumah, diapun mulai meracik kembali bahan-bahan
pembuat Buntil. Dan Mbok Maksudi baru bisa beristirahat ketika malam telat
larut. Begitu dilakoninya setiap hari sepanjang tahun. Kecuali saat kemarau
menerjang. Mengapa ?
RINTANGAN KEMARAU
Kemarau memang menjadi satu-satunya alasan terbesar Mbok
Maksudi berhenti berjualan. Saat kemarau Lumbu seolah tak mau tumbuh. Karena
tanaman ini memang butuh lahan lembab. “Saya pernah nggak jualan sampai 3 bulan
kalau kemarau”, katanya. Namun baginya semua itu tak pernah menyurutkan semangatnya
mengolah Buntil. “Lha wong yang beli adaaaa
saja. Apalagi kalau Minggu atau liburan panjang, orang milih makan pakai Buntil”,
katanya sambil terkekeh. Ya, memang diakui banyak perantau yang memilih
menikmati Buntil saat mereka pulang kampung. Dengan sepiring nasi hangat,
Buntil panas lengkap dengan kuah kuning dan irisan jengkol memang menggoda.
Tapi ya itu, hindari musim kemarau saat ngidam Buntil ya.
Memang, ada kalanya kita menemui penjual Buntil saat
musim kemarau. Tapi Mbok Maksudi memilih tidka berjualan jika Lumbu terbaiknya
tidka tumbuh. Ia memang tidak mau mengecewakan pelanggannya. “Nanti kalau ada yang protes Buntil saya
bikin gatal, terus bilang-bilang ke pembeli lain bagaimana nasib dagangan saya
?”, pikirnya. Dan itu menjadi pegangan baginya agar tidak mengolah bahan
baku yang salah. Tak hanya daun Lumbunya lho. Bumbu pun tak luput dari
perhatiannya. Bahkan Mbok Maksudi rela mengulek bumbu berjam-jam agar
citarasanya terus terjaga. “Menawi ngagem
blender, mboten sari, Mbak”, katanya.
Keseluruhan proses pembuatan Buntilnya memang masih
manual. Kecuali kelapa. Ia sudah meminta bantuan tukang parut dengan mesin.
Tenaganya memang sudah tidak memungkinkan untuk memarut belasan butir buah
sarat manfaat ini. Tapi kelihaiannya mengolah bumbu yang bermacam itu masih
sangat mumpuni meksi usianya sudah hampir menginjak 70 tahun.
Untuk membuat Buntil ini, ternyata sangat banyak bumbu
yang dipersiapkan. Untuk isiannya saja, diperlukan ampas kelapa dengan bumbu Kluban
(Urap) ditambah teri dan irisan jengkol. Belum lagi untuk merebusnya diperlukan
bumbu lain yang tak kalah sarat akan rasa. Selesai ? Tentu saja belum. Mbok
Maksudi masih harus membuat kuah merah untuk pelengkap sajian Buntil sehingga
makin maknyuuus. Nyaaammmm... #pengen pulang dan makan pakai Buntil nih..
HARGA Rp. 3.500,-
Meski laku keras, Buntilnya tidak dipatok dengan harga
mahal. “Bagaimanapun ini kan dari daun
Lumbu ya, nggak enak mau naikin harga”, kata Mbok Maksudi. Kini harga
Buntilnya Rp. 3.500,- per butir. Padahal dulu awal berjualan ia masih memasang
harga Rp. 35,-. Bisa dibilang Buntil memang tak mengalami kenaikan harga yang
signifikan. Namun peminatnya tak lantas surut. Karena seperti kita tau makanan
tradisional malah semakin dicari seiring bertambahnya jaman.
Kini, buntil produksi-nya bisa dinanti setiap Minggu pada
acara Gelar Produk Minggu Pagi di lingkar Gelora Guntur Daryono Purbalingga.
Dan bersiaplah mengantri,...
Ket : foto Mbok Maksudi berkebaya seluruhnya diambil dari Facebook.
Mbok Maksudi, jengkole ngangeni lho
BalasHapus