Langsung ke konten utama

Bangunan Ini Ada Sejak Masa Kolonial di Purbalingga


Seketika saya teringat pada satu rumah tua di Gg. Mayong Purbalingga. Gara-garanya saya disuruh maketin sesuatu. Hahaha, ya rumah ini memang sekarang menjadi kantor sebuah ekspedisi barang yang cukup ternama. Tapi karena ini jugalah saya jadi keingetan hal yang cukup mengganjal di pikiran.

Ada segepok kertas yang pernah saya copy dari Museum Soegarda Poerbakawatja tak kunjung saya sentuh lagi. Padahal di kertas ini saya mendapatkan informasi mengenai beberapa bangunan peninggalan kolonial di Purbalingga. Beberapa berfungsi sebagai kantor pemerintahan, rumah dinas, tempat peribadatan atau yang berakaitan dengannya, lembaga pendidikan sampai rumah tinggal pribadi. Ada 30-an bangunan sejenis yang tersebar di kompleks "kota" Purbalingga. (Di Purbalingga, kalau menyebut kota, itu artinya wilayah seputar Alun-alun). Sebut saja di Jalan Dipokusumo, Jl. Letkol Isdiman sampai jalur utama Jl. Jendral Sudirman, banyak kita temukan bangunan-bangunan ini. Ada yang masih ditinggali. Dan tidak sedikit pula tanpa berpenghuni dengan kondisi cukup memprihatinkan. 

Seperti yang ini. Rumah ini menghadap timur dan bergaya villa di Jalan Dipokusumo. Dekat pertigaan Kirana. Atapnya limasan dengan dua puncak atap. Berandanya terbuka tanpa atap penutup. Serta memiliki loster berbentuk persegi panjang. Foto ini saya ambil sekitar tahun 2011. (Sejujurnya saya agak terganggu dengan fotografernya yang miring-miring nggak jelas. Apalagi modelnya, hahaha)





Nah, kalau yang ini sih kompleks perkantoran di kawasan Pendopo Dipokusumo Purbalingga. Khas banget ya. Ada tatanan batu bulat di dinding luar bagian bawahnya. Kalau bangunan ini sih sudah sempat ditambahi keberadaan lantai dua dengan dua kolom besar sebagai penyangga sekaligus pengapit pintu masuknya.
 






Yang ini dikenal dengan nama Gedung Bina Sejahtera. Sebuah bangunan publik sejak era 30’an. Punya model doro gepak pada bagian ujung atapnya. Atapnya berbentuk pelana dan bertuliskan “BINA SEJAHTERA” pada puncakya. Sekarang bangunan milik Yayasan sebuah Geraja ini difungsikan sebagai gerai fashion. Bangunan induknya sebenarnya berbenuk memanjang kesamping. Hehe, jadi inget jaman sekolah dulu pernah ada acara disini.




Oya, balik lagi ke ruamh yang di Gg Mayong nih. Setelah dulu sempat puas muter-muter disekitar rumah ini, saya pun mencoba mencocokkannya dengan data yang ada di Museum. Nah, rumah seluas 17,5 x 18 meter ini dibangun pada sekitar 1930’an. Memiliki bangunan induk dan paviliun. Atapnya limasan dengan beberapa puncak bubungan atap yang ditutup genteng. Di bagian depannya ada atap menonjol yang memayungi sisi depan dengan disangga tiang-tiang persegi. Untuk jendelanya sih sebagian ditutup kawat dan kepang dari bambu. Lumayan lengkap juga yah data bangunan ini. Namun tidak dijelaskan jika bangunan ini dulunya adalah markas tentara seperti yang diungkapkan penjaga rumah saat itu. Disini hanya tertulis, bahwa rumah di Jalan Wirasaba ini adalah milik saudagar kaya asal Cina yaitu Kwee Lie Keng. Hehe, jadi bukan milik Mo Yong ya ? Memang sih selaluuuu saja ada “kisah pendamping” dari setiap peninggalan tua. Tapi ya itu serunya, karena kadang kita menemukan bumbu-bumbu yang menambah sedap ceritanya.

Bagaimana dengan bangunan yang lain ? Mungkin lain kesempatan saya perlu meluangkan waktu untuk jalan-jalan lagi nih.

Komentar

  1. saya liat blog ini banyak sekali memuat tempat tempat yang menurut saya unik di purbalingga,
    mungkin bisa berbagi atau bisa memberi saran, saya ini tertarik sekali dengan bangunan bangunan tempo dulu yang ada di purbalingga jadul bin klasik lah, kira kira dimana ya tempat yang paling unik? ga jauh jauh deh kalau bisa deket deket daerah kotanya sebagai awalan,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Monggo saja Mas / Mba bisa menuju dari pusat kota a.k.a kompleks Alun-alun dulu saja. Mulai dari SMP 1, SMA Muhammadiyah, Rumah Dinas Bupati, Pendopo, SD Kristen Bina Harapan, SD Pius, Rumah Tinggal Pendeta GKJ, dsb. Mampir ke museum Soegarda Poerbakawatja saja dulu mas/mba... sebagian saya juga dapat datanya dari sana kok. Lengkap ada penunjuk jalan dan detailnya. Nuwun

      Hapus
  2. Terima kasih atas infonya yang bermanfaat, orangtua saya asli dari Purbalingga, saya senang bisa merasakan Purbalingga waktu saya masih kecil, hanya saya sayangkan sekarang begitu banyak perubahan yang ada, sedikit menghilangkan kekhasan kota Purbalingga

    BalasHapus
  3. Peninggalan zaman kolonial selalu menarik untuk ditelusuri, msh banyak sejarah purbalingga yg blm terkuak...

    BalasHapus
  4. Bangunan tua sayang jika kondisinya tidak terawat. Salah satu solusi adalah menjual, membongkar, mendaur ulang dan membangun kembali. Bisa dilayani oleh www.juraganbongkar.com

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah sat

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma