Langsung ke konten utama

Sejumlah Bangunan Tua di Purbalingga

Saat bicara tentang bangunan tua, maka terbayang sebuah tempat yang dibangun saat zaman Belanda atau sebelum Indonesia merdeka dengan arsitektur yang khas. Bisa jadi bergaya indisch atau malah rumah joglo.

Tidak hanya kota kuna di Jalan Jendral Sudirman Timur, pusat kota Purbalingga masih banyak menyimpan pesona bangunan tua ini. Mari berputar di sekitaran Alun-alun. Karena selain Balai Muslimin masih ada lagi nih.  

Bermodal setumpuk kertas yang pernah saya peroleh dari Museum Soegarda Poerbakawatja berisi informasi mengenai bangunan peninggalan kolonial di Purbalingga. Ada sekira 30 bangunan. Sebut saja di Jalan Dipokusumo, Jalan Letkol Isdiman sampai jalur utama Jalan Jendral Sudirman. Ada yang masih ditinggali. Dan tidak sedikit pula tanpa berpenghuni dengan kondisi cukup memprihatinkan.

Pertama kita pilih bangunan pribadi dulu ya. Di Jalan Dipokusumo sejumlah rumah yang dibangun pada sekira 1920-an masih dapat ditemui. Dulu, wilayah ini disebut dengan Kolektur-an. Istilah kolektur merujuk pada jabatan Kontrolir yang pada masa Hindia Belanda bertugas menjadi humas antara pemerintahan mereka dengan pribumi. Umumnya kontrolir berasal dari kalangan priyai lokal. Mulai dari pegawai negara, dokter, sampai pengusaha.


Ini adalah salah satu bangunan tua yang ada di Jalan Dipokusumo. Rumah ini menghadap timur dan bergaya villa. Dekat pertigaan Kirana. Atapnya limasan dengan dua puncak atap. Berandanya terbuka tanpa atap penutup. Serta memiliki loster berbentuk persegi panjang. Foto diambil pada sekira 2011. Karena saat ini kondisinya agak memprihatinkan dan rasanya tidak berpenghuni, jadi agak kurang estetik saja untuk diposting. Sayang, belum diketahui siapa priyai yang memiliki rumah ini. Tapi sepertinya bukan milik Koletur tadi sih. 

Beralih ke sisi barat dari bangunan Pendopo Kabupaten, ada bangunan tua di sebelah Mahesa Jenar yang tercatat sebagai bangunan diduga Cagar Budaya. Rumah Mo Yong kan ini ? 


Menurut data, rumah berukuran 17,5 × 18 meter ini dibangun pada sekira 1930. Memiliki bangunan induk dan paviliun. Atapnya dari genteng, berbentuk limasan dengan beberapa puncak bubungan. Bagian depan lebih menonjol dengan pilar berbentuk balok.  Bagian jendela sebenarnya berupa kaca grafir warna-warni namun ditutup kepang bambu sehingga tidak terlihat dari luar. Tapi masih terlihat jika dari dalam. Saat ini rumah tengah disewa untuk kantor ekspedisi. 

Rumah ini tercatat sebagai milik Kwee Lie Keng, salah seorang pengusaha sukses keturunan Tionghoa. Bisnisnya ada di bidang perkebunan sampai tekstil. Ia punya perkebunan teh, tembakau sampai usaha tenun. Tapi, masih penasaran juga kira-kira Babah Lie Keng dan Mo Yong memiliki kaitan apa ya ?

Sepertinya permasalahan serupa pada hampir semua bangunan diduga cagar budaya milik perorangan adalah tentang nilai sejarahnya. Pemiliknya rata-rata tertutup. Atau masih ada perasaan tabu untuk mengetahui harta orang lain juga ya ? Padahal kalau menurut teman-teman yang menguasai arsitektur bangunan tersebut punya khas dari suatu era. 

Sekarang kita beralih ke gedung yang berfungsi untuk bangunan publik. Baik milik pemerintah maupun non pemerintah.


Ini difoto dalam kondisi pusat kota mati listrik malam hari beberapa pekan lalu. Bangunan ini ada di kawasan Pendopo Dipokusumo Purbalingga. Tepatnya di Jalan Onje atau di belakang kantor pos. Saat ini difungsikan sebagai kantor yang mengurusi keuangan daerah.

Sebenarnya sudah tidak terlalu kentara bentuk klasiknya dari mata awam seperti saya. Bangunan sudah mengalami perombakan berupa tambahan lantai dua yang disangga sejumlah kolom besar di bagian bawah. Kabarnya bangunan asli memiliki bentuk letter T ke belakang. 

Secara kesejarahan bangunan ini menjadi diduga cagar budaya karena memiliki sejarah tersendiri. Bangunan ini pernah menjadi Kantor Dewan (seperti DPRD) pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda. Dengan demikian bangunan diperkirakan sudah ada sejak awal abad ke-20. 

Beralih ke bangunan publik milik non pemerintah ada gedung pertemuan bernama Bina Sejahtera. Kabarnya saat ini dibawah pengelolaan yayasan milik Gereja Kristen Indonesia termasuk SD Kristen Bina Harapan.

 

Bina Sejahtera sudah dibangun sejak 1930’an. Punya model doro gepak pada bagian ujung atapnya. Atapnya berbentuk pelana dan bertuliskan “BINA SEJAHTERA” pada puncakya. Bangunan berbentuk memanjang ke samping. Belum diketahui awalnya difungsikan sebagai apa. Kalau saat ini sih sedang disewakan pada salah satu gerai fashion. Wah, padahal jaman SMP dulu kalau ada kegiatan sering banget disini.

Oh iya, selain itu ada juga SMP N 1 Purbalingga. Almamater kebanggaan ini ternyata juga sudah ada sejak masa Hindia Belanda. Sebagai penghuni sampai 1999, kami semua tahu bahwa ada sejumlah kelas dengan bentuk berbeda. Ruangannya lebih dingin karena temboknya tebal, jendela kayunya besar dan tinggi model kupu tarung dan atapnya model limasan. Dulu ruangan ini dimiliki oleh kelas 1C s.d. 2E dengan bentuk L. Kabarnya dulu sekolah ini bekas MULO. Sayangnya tidak pernah disampaikan saat sekolah dulu.

Bagaimana dengan bangunan yang lain ? Mungkin lain kesempatan saya perlu meluangkan waktu untuk jalan-jalan lagi nih.

Komentar

  1. saya liat blog ini banyak sekali memuat tempat tempat yang menurut saya unik di purbalingga,
    mungkin bisa berbagi atau bisa memberi saran, saya ini tertarik sekali dengan bangunan bangunan tempo dulu yang ada di purbalingga jadul bin klasik lah, kira kira dimana ya tempat yang paling unik? ga jauh jauh deh kalau bisa deket deket daerah kotanya sebagai awalan,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Monggo saja Mas / Mba bisa menuju dari pusat kota a.k.a kompleks Alun-alun dulu saja. Mulai dari SMP 1, SMA Muhammadiyah, Rumah Dinas Bupati, Pendopo, SD Kristen Bina Harapan, SD Pius, Rumah Tinggal Pendeta GKJ, dsb. Mampir ke museum Soegarda Poerbakawatja saja dulu mas/mba... sebagian saya juga dapat datanya dari sana kok. Lengkap ada penunjuk jalan dan detailnya. Nuwun

      Hapus
  2. Terima kasih atas infonya yang bermanfaat, orangtua saya asli dari Purbalingga, saya senang bisa merasakan Purbalingga waktu saya masih kecil, hanya saya sayangkan sekarang begitu banyak perubahan yang ada, sedikit menghilangkan kekhasan kota Purbalingga

    BalasHapus
  3. Peninggalan zaman kolonial selalu menarik untuk ditelusuri, msh banyak sejarah purbalingga yg blm terkuak...

    BalasHapus
  4. Bangunan tua sayang jika kondisinya tidak terawat. Salah satu solusi adalah menjual, membongkar, mendaur ulang dan membangun kembali. Bisa dilayani oleh www.juraganbongkar.com

    BalasHapus

Posting Komentar

Banyak Dicari

PUTRI AYU LIMBASARI, SYECH GANDIWASI DAN PATRAWISA

Selalu saja ada yang menarik ketika berkunjung ke Limbasari. Desa ini terletak sekira 15 km dari pusat kota Purbalingga. Terletak di Kecamatan Bobotsari, Limbasari menyimpan banyak kekayaan. Mulai dari potensi temuan peninggalan neolitikum, wisata alam Patrawisa sampai legenda Putri Ayu Limbasari. Nah, untuk melepas lelah sepertinya berwisata akhir pekan ke Patrawisa bisa menjadi pilihan. Terletak di lembah Gunung Tukung dan Gunung Pelana, menjadikan pesona kecantikan alam Patrawisa mampu memikat seseorang untuk datang lagi dan lagi.  Untuk menuju bendungan Patrawisa hanya dibutuhkan waktu sekira 30 menit berjalan kaki sejauh 1,7 km. Ya, Patrawisa adalah bendungan atau dam yang membendung pertempuran Sungai Tuntung Gunung dan Sungai Wlingi. Tidak hanya itu, air terjun mini serta sendang-sendang jernih semakin menyegarkan sesampainya di lokasi. Lalu siapakah Patrawisa sehingga namanya diabadikan untuk tempat indah ini? Patrawisa adalah nama salah seorang cantrik Syech Gandiwas...

NYUWUN AGUNGING PANGAKSAMI

Satu hal yang saya tunggu-tunggu dari Lebaran adalah “SUNGKEMAN”. Yes, selain plong karena (pada akhirnya) mampu juga mengungkapkan segala perasaan bersalah pada orangtua, rasa dag-dig-dug belibet salah ngomong pun pasti menghampiri. Di keluarga inti, usai melaksanakan Sholat Ied, maka sungkeman perlu dilaksanakan sebelum sarapan menu Lebaran & bersilaturahmi ke tetangga. Yang seru adalah kami harus menggunakan bahasa Jawa krama. Yeah. Jadilah sejak semalam sebelumnya kami kerap menghapal terlebih dahulu naskah sungkeman dari masa ke masa. Hahaha. Seperti ini : “Bapak / Ibu’/ Embah, kulo ngaturaken sembah sungkem, sedoyo lepat nyuwun agunging pangapunten”. Hihihi, meski sudah merupakan mantra menahun, namun bagi sebagian keluarga yang (mayoritas) tinggal di luar JaTeng hal ini sangatlah merepotkan. So, mereka akan sungkeman dengan berkata “$#^&**&*&^%^^%^$#....pangapunten”. Wuiih,.. apa ya afdol ? Hehe. Makanya, sangat tidak mengherankan jika setiap Lebaran selain sun...