Langsung ke konten utama

Jalan-jalan ke PANEMBAHAN DRONA yuuuuukkk

Masyarakat setempat terbiasa menyebut tempat ini sebagai Panembahan Drona. Eh, Drona ? Guru Pandawa dan Kurawa ? 

Haha, pasti langsung terbayang sebuah serial Mahabharata 2013 yang sedang marak diperbincangkan itu ya. Entah bagaimana awalnya, namun yang pasti sebuah kompleks berisi benda diduga cagar budaya di dusun Bokol, desa Kedung Benda, Kecamatan Kemangkon Purbalingga ini memang dikenal dengan sebutan lain "Panembahan Drona". Lalu apa yang bisa ditemukan di Panembahan Drona ?


Peninggalan kebudayaan yang terdapat di Panembahan Drona ini adalah berupa phallus dan yoni. Semua ditempatkan dalam ruangan khusus sekira 3x4 meter tanpa atap pada lahan luas di tengah-tengah pemukiman warga. Areal ini akan menjadi tempat berkumpulnya warga dan aparat pemerintahan setempat pada setiap perayaan Suraan. 

Suraan atau Sura adalah bulan pertama kalender Jawa yang merujuk pada istilah peringatan atau peryaan tahun baru kalender Jawa. Proses Suraan akan berlangsung pada hari yang dipilih. Biasanya Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon pertama di bulan Sura itu. Warga yang mayoritas adalah para petani ini akan berduyun-duyun dengan membawa bekal nasi dan lauk dari rumah masing-masing. Setelah diadakan doa bersama, semua elemen masyarakat setempat secara bersama-sama menikmati bekal dan menu khusus "Gulai kambing" yang dimasak di tempat secara bergotong-royong. Guyub.


Pertama kali mengunjungi Panembahan Drona pada 2012 lalu, saya sempat bertemu 2 mahasiswi yang berencana melihat benda cagar budaya ini. Namun mereka urung dengan alasan tak diperkenankan melihat bagi perempuan yang tengah datang bulan. Hal yang lumrah untuk tempat-tempat bernilai sakral

Yang jelas, pada saat perayaan Suraan bermacam sesaji lengkap diletakkan di Panembahan ini. Bahkan tak jarang warga sekitar antre mengambil air yang berasal dari yoni (serupa lumpang batu) untuk "hajat" khusus. Bagi yang percaya, air dari yoni ini masihlah memiliki tuahnya tersendiri.


Sementara itu, phallus yang ada disana memiliki ukuran yang cukup besar. Diperkirakan dari batu andesit yang berbentuk lonjong dengan panjang keseluruhan 85cm, lebar 30cm dan 22cm. Pada badannya seperti terlihat guratan menyerupai huruf W yang cukup besar. Konon, bagi siapapun yang sanggup membopongnya, akan dimudahkan apa yang menjadi keinginannya. tapi gemana mau ngangkat coba, melihatnya saja sudah terasa beratnya kok. Mau coba ?

Seluruh foto oleh Rudal Afghani

Nah, sementara itu terkait nama lokalnya yaitu Panembahan Drona, masyarakat setempat mempercayai bahwa tempat ini berkaitan dengan kisah Pandawa dan Kurawa dalam lakon sayembara membuat bengawan, trok..tok..tok..tok.

Cerita ini memang memiliki kaitan dengan legenda terbentuknya Congot, lokasi pertemuan Sungai Klawing dan Serayu yang terletak tidak jauh dari Panembahan Drona. Sayembara membuat sungai yang sampai ke laut ini diikuti oleh rival sejati Pandawa dan Kurawa. Diceritakan jika Kurawa mengawali membuat sungai dari kaki Gunung Slamet, sedangkan Pandawa membuatnya dari kaki Gunung Dieng. Peraturannya adalah siapa yang unggul menyelesaikan bengawan lebih dulu, bisa memenggal leher salah satu dari yang kalah.

Namun sebelum sayembara dimulai, para Pengeran ini sempat berpesta minuman terlebih dulu yang berakibat empat Pandawa terlelap. Melihat musuhnya tak berdaya, Kurawa memulai membuat bengawan terlebih dahulu. Beruntung Bima tidak larut dalam pesta dan hal ini membuatnya masih tersadar. Paginya, saat empat saudaranya masih belum sadar, Bima dikagetkan pada kenyataan bahwa bengawan yang dibuat Kurawa sudah cukup jauh. Tanpa pikir panjang, dibangunkannya Srikandi untuk berlari di depan Bima tanpa busana. Terpana pada keindahan Srikandhi, membuat Bima ekstra semangat dalam membuat bengawan dengan senjata gadanya. Dengan cepat sungai buatannya pun telah sampai di laut. Lalu bagaimana dengan Kurawa ?

Kurawa merasa kaget ketika menyadari sungai yang dibuatnya ternyata bertemu atau tempur dengan sungai yang dibuat Bima di Kedung Benda. Dan inilah yang kemudian disebut dengan Congot. Tempuran sungai dengan kolaborasi warna indah yang bisa disaksikan saat musim kemarau. 

Nah, dengan berhasilnya Bima, maka secara otomatis kemenangan ada pada Pandawa. Meskipun sebelumnya Kurawa masih saja ngeyel. Kemenangan ini membuat Guru Drona menyerahkan lehernya untuk dipenggal Pandawa. Tapi ketika akan memenggalnya, Bima merasa sungkan karena bagaimanapun Drona adalah guru yang sangat dihormati adiknya, Arjuna. Sebagai gantinya, Bima memutuskan untuk memenggal lingga Drona dan menguburnya pada dekat pertemuan sungai ini. Banyak dipercaya jika potongan bagian tubuh itu kemudian mengeras menjadi batu dan berpindah ke Panembahan Drona sekarang ini. Itulah mengapa sebagian orang menyebut kawasan situs Kedung Benda ini dengan sebutan Panembahan Drona.

Komentar

Banyak Dicari

PUTRI AYU LIMBASARI, SYECH GANDIWASI DAN PATRAWISA

Selalu saja ada yang menarik ketika berkunjung ke Limbasari. Desa ini terletak sekira 15 km dari pusat kota Purbalingga. Terletak di Kecamatan Bobotsari, Limbasari menyimpan banyak kekayaan. Mulai dari potensi temuan peninggalan neolitikum, wisata alam Patrawisa sampai legenda Putri Ayu Limbasari. Nah, untuk melepas lelah sepertinya berwisata akhir pekan ke Patrawisa bisa menjadi pilihan. Terletak di lembah Gunung Tukung dan Gunung Pelana, menjadikan pesona kecantikan alam Patrawisa mampu memikat seseorang untuk datang lagi dan lagi.  Untuk menuju bendungan Patrawisa hanya dibutuhkan waktu sekira 30 menit berjalan kaki sejauh 1,7 km. Ya, Patrawisa adalah bendungan atau dam yang membendung pertempuran Sungai Tuntung Gunung dan Sungai Wlingi. Tidak hanya itu, air terjun mini serta sendang-sendang jernih semakin menyegarkan sesampainya di lokasi. Lalu siapakah Patrawisa sehingga namanya diabadikan untuk tempat indah ini? Patrawisa adalah nama salah seorang cantrik Syech Gandiwas...

NYUWUN AGUNGING PANGAKSAMI

Satu hal yang saya tunggu-tunggu dari Lebaran adalah “SUNGKEMAN”. Yes, selain plong karena (pada akhirnya) mampu juga mengungkapkan segala perasaan bersalah pada orangtua, rasa dag-dig-dug belibet salah ngomong pun pasti menghampiri. Di keluarga inti, usai melaksanakan Sholat Ied, maka sungkeman perlu dilaksanakan sebelum sarapan menu Lebaran & bersilaturahmi ke tetangga. Yang seru adalah kami harus menggunakan bahasa Jawa krama. Yeah. Jadilah sejak semalam sebelumnya kami kerap menghapal terlebih dahulu naskah sungkeman dari masa ke masa. Hahaha. Seperti ini : “Bapak / Ibu’/ Embah, kulo ngaturaken sembah sungkem, sedoyo lepat nyuwun agunging pangapunten”. Hihihi, meski sudah merupakan mantra menahun, namun bagi sebagian keluarga yang (mayoritas) tinggal di luar JaTeng hal ini sangatlah merepotkan. So, mereka akan sungkeman dengan berkata “$#^&**&*&^%^^%^$#....pangapunten”. Wuiih,.. apa ya afdol ? Hehe. Makanya, sangat tidak mengherankan jika setiap Lebaran selain sun...