Langsung ke konten utama

JAMASAN, BUKAN SEKEDAR MEMANDIKAN



Jamasan. Inilah salah satu tradisi yang rutin dilakukan pada bulan Sura. Secara literatur jamasan ini berarti memandikan atau membersihkan. Terutama benda pusaka. Apa sebenarnya tujuan dari tradisi ini ?

 Upacara pembukaan Jamasan Pusaka Tosan Aji

JAMASAN TOSAN AJI

Halaman Museum Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja pagi ini sedikit berbeda. Tenda berwarna merah tampak berdiri di depan gedung. Puluhan pasang mata tertuju pada sekelompok pria berbusana tradisional yang dengan khidmat melakukan serah terima sebilah keris pusaka dengan iringan sulukan yang menghanyutkan. "....Sigra arsa angayahi karyo. Anjamasi pusaka aji........", suluk yang ditembangkan sang pranatacara ini membuat suasana jadi semakin hanyut. Acara kemudian dilanjutkan dengan pembersihan sebilah keris tersebut. Ya, seperti inilah gambaran upacara pembukaan prosesi jamasan yang diadakan pada Selasa Kliwon 17 Desember 2013 lalu. Dengan dijamasnya keris pusaka oleh Kabid Kebudayaan Dinbudparpora Kabupaten Purbalingga Sri Kuncoro, maka resmi jugalah jamasan pusaka dalam rangkaian hari jadi ke-183 tahun Kabupaten Purbalingga ini dibuka. Kegiatan ini melibatkan empat sesepuh yang rutin menjamas di museum yaitu : Ari Purwoko, Heri Sujatno, Kuat Budi Cahyo dan Urip tridadi. Serta seorang penjamas muda yang kerap menjamas di Jogjakarta & Surakarta, Hari Juli Prasetyo.

Jamasan memiliki kata dasar jamas yang diambil dari bahasa Jawa kromo inggil dan berarti cuci, mandi atau membersihkan. Tentunya bukan semabrang membersihkan. Karena yang dijamas adalah benda-benda pusaka.

 Mata Tombak Pusaka Purbalingga usai dijamas

Ditemui beberapa hari sebelum jamasan, Ari Purwoko mengungkapkan jika sudah semestinyalah yang disebut sebagai benda pusaka itu dijamas agar tidak kehilangan pamornya. “Sesuatu yang disebut benda pusaka itu istimewa. Bahan dasarnya pilihan. Para Empu yang membuatnya juga rialatan dulu sebelum membuat”, ujar pria yang akrab disapa Koko ini. Karena bagaimanapun sebuah pusaka selain sebagai alat untuk perlindungan diri juga merupakan simbol status atau tanda jabatan seseorang. Benda pusaka ini bermacam bentuknya. Misal : tosan aji atau senjata yang terbuat dari besi, batu akik, kereta keratin, dsb. Namun pada jamasan yang rutin digelar tiap hari jadi ini lebih dikhususkan pada jamasan pusaka tosan aji.

Tosan berarti besi dan aji dari kata diaji-aji yang diartikan dihargai, dihormati. “Semacam keris, pedang, mata panah, mata tombak, kujang, dll”, lanjut Koko. Terpenting benda-benda ini menempati fungsinya sebagai symbol status ataupun perlindungan diri dari serangan lawan (binatang atau manusia). “Jadi kalau keris untuk nari atau mantenan, ya nggak usah di jamas”, ungkapnya

ALIT DAN AGENG

Dalam pelaksanaannya jamasan dibagi menjadi dua yaitu ageng dan alit. Dinamakan jamasan ageng jika dilakukan pad abulan Sura. Bulan pertama kalendar Jawa ini dipercaya menjadi waktu yang tepat untuk membersihkan benda pusaka. Sehingga di wialyah Jawa, bulan Sura baik tanggal 1, 10, Kliwon pertama maupun Jumat pertama kerap dipilih sebagai waktu Jamasan Ageng.

Sedangkan jamasan alit boleh dilakukan setiap periode tertentu. Misal 3 bulan atau 6 bulan sekali. Bergantung ebutuhan pusaka itu sendiri. Tidak hanya terpatok Sura, jamasan juga bisa dilakukan pada bulan Maulid atau hari-hari khusus. “Seperti Selasa Kliwon, Jumat Kliwon dan Jumat Manis”, kata Koko

 Salah seorang penjamas (Kuat Budi Cahyo)

 Lalu bagaimana dengan jamasan 17 Desember 2013 ini? Menurut Koko masih bisa disebut jamasan ageng karena cukup dengan bulan Sura. Karena itulah tidak berlebihan jika dalam jasaman ini sesajen yang digunakan lebih lengkap. Di lokasi jamasan sendiri terlihat ada 1 buah tumpeng, jajanan pasar, degan kelapa ijo, pisang raja, kembang setaman, wedang bening, wedang kopi, wedang jemabwuk, sepasang telur ayam kampung dan gula aren yang digunakan sebagai sesajen. Kok ada tumpeng segala ya? “Tumpeng ini bukan untuk makan setan seperti kabar yang sering terdengar. Tumpeng ini ada filosofinya. Nasinya mucuk menuju satu titik dengan lauk beraneka jenis dan bermacam rasa. Ini gambaran. Dalam menjalani kehidupan kita akan bertemu bermacam hal yang berbeda-beda, namun apapun itu semua harus dikembalikan pada satu titik untuk menjadikan langkah lebih baik, yaitu Tuhan Yang Maha Esa”, terang Koko. Tumpengan dan jajanan pasar inipun nantinya akan dikonsumsi bersama-sama usai jamasan berakhir.


 Beberapa sesajen

Selain itu sarana yang diperlukan untuk menjamasnya adalah :
-       Warangan : Batu meteor yang ditumbuk halus. Mengandung PFA atau Polyfenil Asetat. Meski racun namun warangan ini lah yang berperan sebagai anti korosi. Harga warangan bervariasi bergantung tingkatannya.
-          Air jeruk nipis Jawa : Jeruknya berbentuk bula kecil.
-          Deterjen atau sabun colek
-          Minyak wangi
-          Pace atau mengkudu masak atau gemblep : Untuk melarutkan kotoran yang menempel termasuk sisa warangan lama
-      Degan kelapa ijo : Selain untuk mencuci sebenarnya bisa menjadi pertolongan pertama ketika ada yang tergores.
-          Biji lerak : Membuat mengkilat
-          Ratus : Memberikan aroma wangi dan membuat cepat kering.

Beberapa hari sebelum jamasan panitia juga sudah mempersiapkan air suci yang diambil dari 7 mata air di Purbalingga. “Kita ambil dari Gunung Lawet, Gua Lawa, Kutasari, dsb”, tutur Rien Anggraeni salah seorang panitia. Tidak hanya itu panitia pun perlu melarutkan 1 gram warangan dnegan 1 liter air jeruk nipis selama minimal 15 hari.

Dari segi psikis par apenjama diharuskan berpuasa sejak 2 hari sebelum hari H. Hal ini dilakukan sebagai upaya pembersihan diri terlebih dahulu sebelum mebersihkan hal lain yang ada di luarnya. Dan pada saat prosesi, par apenjamas pun melakukan tapa bisu. Apa tujuan laku ini?

TAPA MBISU

Usai upacara pembukaan proses jamasan dilanjutkan didalam museum. Dengan iringan grup siteran pengunjung diperbolehkan menyaksikan langsung jamasan dari dekat. Dengan syarat tidak mengajukan pertanyaan pada penjamas yang tengah bertugas. Karena mereka sedang berlaku tapa mbisu. Apa tujuannya? Baik Koko maupun Hari yang beda generasi sepakat mengatakan jika laku ini bertujuan menjaga konsentrasi. Dengan tidak berbicara, maka pekerjaan yang penuh ketelitian ini bisa selesai dengan baik dan tidak mengakibatkan luka sayat pada penjamasnya.

Selain tapa mbisu, puasa pun masih dijalankan. Koko menuturkan, jika dinalar puasa ini membantu terhindar dari racun. “Warangan itu kan mengandung PFA, kalau lupa cuci tangannya tidak bersih dan dilanjut makan, maka rentan sekali PFA ikut tertelan”, ungkapnya.

Pada hari pertama jamasan ini ada sekitar 25 pusaka yang dibersihkan. Yaitu : 13 tombak, 1 buah payung Tunggul Naga, 2 Pedang Arab, serta beberapa keris yang berasal dari Bupati terdahulu dan sumbangan masyarakat. Beberapa keris yang dijamas adalah : Keris Gayaman dan Ladrang Solo.

Jelang tengah hari para penjamas menghentikan sejenak aktivitasnya. Dan sembari bersantai inilah, saya mencoba berbincang dengan para penjamas terkait tradisi turun temurun ini. Disisi lain beberapa siswa yang sejak awal ikut menyaksikan, terlihat asyik mencuci tangan pada sisa air jamasan. Hal ini mereka lakukan setelah mendengar salah seorang pengunjung mengatakan jika di keraton, air sisa jamasan sering diperebutkan. Namun entah karena alasan tersebut atau sekedar iseng mereka hanya tersenyum saat ditanya.

Saat rehat inilah, Hari penjamas muda yang baru pertama kali menjamas di Purbalingga mengungkapkan kekagumannya pada pusaka yang ada. “Tombaknya bagus-bagus”, ungkap pemuda yang mulai menjamas sejak kelas 1 SMK. Menurutnya pusaka keris atau tombak bagi orang Jawa bukanlah pusaka biasa. Pra Empu membuatnya dengan laku yang berbagai macam. Yang akan membedakan satu pusaka dengan lainnya. Ini jugalah yang perlu diperhatikan dalam membersihkannya.

 Hari Juli Prasetyo, penjamas muda asli Purbalingga


Heri Sujatno, penjamas lain pun ikut berbagi pengalamannya. Beberapa kali jamsan, dirinya bertugas memebersihkan pedang yang diperkirakan berasal dari masa-masa persebaran awal Islam di Arab dahulu. “Harus sambil Syahadat saat membukanya”, tuturnya. Koleksi pedang ini memang kerap menarik perhatian pengunjung museum. Semula 3 pedang seupa bermacam ukuran tersimpan rapi di tempat ini. Namun yang berukuran paling kecil, kini ditempatkan di museum Ronggowarsito. Kaligrafi di sepanjang bilahnya menjadikan keunikan tersendiri.

Meski diidentikan dengan mitos dan mistis, disisi lain jamasan pun mengajarkan kita nilai-nilai budaya yang nyaris terlupa. Kebersamaan dan gotong royong. Tentu saja disamping sisi religius.

PERUBAHAN

Di akhir obrolan, Hari sempat berucap ingin melihat adanya pembenahan di museum ini. Khususnya terkait perawatan dan penyimpanan pusaka. Dia mencontohkan jika di museum lain, pusaka akan dipertunjukkan dnegan kondisi dibuka (warangka dan kerisnya diletakkan bersebelahan) dan dilengkapi data. Dengan demikian pengunjung bisa mendapat tambahan informasi. “Selain itu penempatan pusakanya masih belum pas. Disini semua masih jadi satu. Ibaratnya neh Mba ageman Raja ya harus diletakkan lebih atas dari ageman Demang. Memang akan makan tempat, tapi kalau lebih tepat kenapa tidak?”, sarannya. Dan hal inipun sudah disampaikannya secara gamblang pada pengelola museum. Namun lagi-lagi waktu yang akan menjawabnya.

“Yang penting sebagai generasi muda mari kenali dulu budaya kita. Syukur-syukur mau memahami, menghayati dan mencintainya. Urusan keris ndak punya juga ndak apa-apa kok.”, pungkasnya

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...