Langsung ke konten utama

BEREBUT GUNUNGAN DI SEBUAH PERAYAAN


Setelah menunggu lama, akhirnya pawai budaya kembali menyegarkan publik Purbalingga yang cukup haus akan hiburan dalam beberapa waktu terakhir. Hari Minggu terakhir tahun 2013 kemarin, masyarakat dari berbagai penjuru bumi Perwira memenuhi kompleks Alun-alun guna menyaksikan pawai budaya dalam rangkaian hari jadi ke-183.

Bermacam kesenian yang hanya bisa disaksikan di daerah pinggiran Purbalingga mencoba unjuk gigi meski hanya dalam menit yang sangat terbatas. Sebut saja kesenian Rodat, Ujungan, Angguk, Braen, Aplang, Tari Daeng, atau yang lebih "beredar" ada juga Kuda Kepang (ebeg) serta Begalan.

Pasukan Punakawan ini paling banyak dicegat warga untuk berfoto bersama.


Selain seni tradisional tersebut, yang tidak kalah dinanti adalah Gunungan. Susunan bermacam hasil bhumi atau jajanan pasar ini memang selalu menarik pada setiap perayaan. Apalagi tahun ini jumlah gunungan lebih banyak dari sebelumnya. 

Bahkan beberapa orang mengaku sudah sengaja menyiapkan kantong plastik untuk berburu gunungan. Insiden saling dorong dan saling rebut pun tak terelakkan. Ada yang sekedar meramaikan namun tak sedikit pula yang memang sengaja mempertahankan dengan alasan kebutuhan.

Mereka yang berebut gunungan

Ibu dan anak ini mengaku memperebutkan gunungan dengan alasan kesulitan ekonomi. Namun dengan barang bawaan yang padat ini mereka kembali direpotkan dengan harus menyewa becak untuk mengantar mereka sampai ke rumah yang berjarak sekitar kilo dari pusat kota. Hmmmm,....


Sekedar saling rebut, saling dorong bahkan terjatuh adalah hal biasa dalam tradisi berebut gunungan. Namun satu yang sangat disayangkan adalah ketika saya dan teman-teman mau tidak mau melihat dua orang yang saling rebut tampir (tampah) berisi tumpeng. Bukannya mengikuti saran orang-orang untuk menepi dan mengijinkan yang lain menikmati tumpengan bersama-sama, mereka malah menumpahkan nasi tumpeng ke jalan dan segera kembali memperebutkan tampir. Kami hanya bisa terdiam sambil memandang kasian kedua orang ini. Seketika suasana disekitar saya ini menjadi hening. Tak peduli dengan rombongan kesenian lain yang lewat. Sebagian mulai berbisik "Itulah kenapa hal-hal begini dilarang, soalnya mubazir kan".


Dengan perasaan tidak menentu saya mulai mengambil gambar tumpengan ini. Bukan tradisi tumpengannya, gunungannya atau rebutannya yang salah. Tapi tradisi kita yang suka mementingkan diri sendiri lah yang salah.

Komentar

  1. wah menarik sekali, kebetulan saya juga menulis tema yang sama *tentang perayaan.
    karakter masyarakat sangat tercermin dari bagaimana mereka merayakan sesuatu :)

    salam kenal :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Banyak Dicari

PUTRI AYU LIMBASARI, SYECH GANDIWASI DAN PATRAWISA

Selalu saja ada yang menarik ketika berkunjung ke Limbasari. Desa ini terletak sekira 15 km dari pusat kota Purbalingga. Terletak di Kecamatan Bobotsari, Limbasari menyimpan banyak kekayaan. Mulai dari potensi temuan peninggalan neolitikum, wisata alam Patrawisa sampai legenda Putri Ayu Limbasari. Nah, untuk melepas lelah sepertinya berwisata akhir pekan ke Patrawisa bisa menjadi pilihan. Terletak di lembah Gunung Tukung dan Gunung Pelana, menjadikan pesona kecantikan alam Patrawisa mampu memikat seseorang untuk datang lagi dan lagi.  Untuk menuju bendungan Patrawisa hanya dibutuhkan waktu sekira 30 menit berjalan kaki sejauh 1,7 km. Ya, Patrawisa adalah bendungan atau dam yang membendung pertempuran Sungai Tuntung Gunung dan Sungai Wlingi. Tidak hanya itu, air terjun mini serta sendang-sendang jernih semakin menyegarkan sesampainya di lokasi. Lalu siapakah Patrawisa sehingga namanya diabadikan untuk tempat indah ini? Patrawisa adalah nama salah seorang cantrik Syech Gandiwas...

NYUWUN AGUNGING PANGAKSAMI

Satu hal yang saya tunggu-tunggu dari Lebaran adalah “SUNGKEMAN”. Yes, selain plong karena (pada akhirnya) mampu juga mengungkapkan segala perasaan bersalah pada orangtua, rasa dag-dig-dug belibet salah ngomong pun pasti menghampiri. Di keluarga inti, usai melaksanakan Sholat Ied, maka sungkeman perlu dilaksanakan sebelum sarapan menu Lebaran & bersilaturahmi ke tetangga. Yang seru adalah kami harus menggunakan bahasa Jawa krama. Yeah. Jadilah sejak semalam sebelumnya kami kerap menghapal terlebih dahulu naskah sungkeman dari masa ke masa. Hahaha. Seperti ini : “Bapak / Ibu’/ Embah, kulo ngaturaken sembah sungkem, sedoyo lepat nyuwun agunging pangapunten”. Hihihi, meski sudah merupakan mantra menahun, namun bagi sebagian keluarga yang (mayoritas) tinggal di luar JaTeng hal ini sangatlah merepotkan. So, mereka akan sungkeman dengan berkata “$#^&**&*&^%^^%^$#....pangapunten”. Wuiih,.. apa ya afdol ? Hehe. Makanya, sangat tidak mengherankan jika setiap Lebaran selain sun...