Langsung ke konten utama

BEREBUT GUNUNGAN DI SEBUAH PERAYAAN

Pawai Budaya kembali menyapa masyarakat Purbalingga menjelang akhir tahun 2013. Berpusat di Alun-alun, sejumlah kesenian tradisi nan langka ditampilkan dalam perhelatan Hari Jadi ke-183 tahun Kabupaten Purbalingga. Sebut saja diantaranya: Rodat, Ujungan, Angguk, Braen, Aplang, Daeng serta Begalan. Tentu saja tidak ketinggalan, kesenian rakyat "paling hype" yaitu ebeg serta tek-tek kenthongan. Dan.....ada gunungan.


Oleh: Anita Wiryo Rahardjo


Keberadaan seni tradisi yang beragam tersebut menunjukkan kekayaan budaya. Sebagai contoh rodat dan daeng memiliki gerakan dasar serupa dengan pencak silat Jawa. Berkembang pada penjajahan, rodat maupun daeng menjadi kamuflase para pejuang saat berlatih. Dengan diiringi dengan alat musik dan nyanyian tentu saja kitapun terkecoh, tak menyangka apabila seni tersebut berasal dari olahraga. 

Kemudian ada ujungan. Pertandingan 'bersenjatakan' rotan ini bukan kompetisi, melainkan dilakukan sebagai upaya ritual khusus persembahan dalam menantikan hujan di musim kemarau panjang.


Kesenian bernafaskan Islam juga dapat ditengarai dengan penggunaan rebana seperti yang terlihat pada braen, angguk dan aplang. Selain penampilan kelompok seni tersebut, masyarakat juga dapat berburu hasil bumi atau penganan selamatan yang dibuat dalam bentuk gunungan.

Sesuai namanya, gunungan memiliki bentuk menjulang mengerucut seperti gunung. Sejumlah hasil bum ataupun makanan matang (umumnya kudapan contohnya kue apem) akan ditata sebagus mungkin. Diyakini sudah berkembang sejak masa Jawa Kuno, dimana seorang raja membagikan sedekah kepada rakyatnya. Tak heran apabila kemudian diperebutkan. Karena gunungan selain dianggap sebagai ungkapan syukur atas paner atau hasil bumi yang melimpah, juga sebagai upaya ngalap berkah dari sedekah para pemimpin.

Konsep yang sebenarnya baik namun kurang kita hadapi dengan bijak. Sekedar saling rebut, saling dorong bahkan terjatuh adalah hal biasa dalam tradisi berebut gunungan. Namun satu yang sangat disayangkan adalal ketika tampak dua orang berebut tampah (nampan anyaman bambu) berisi tumpeng. Bukannya mengikut saran orang-orang untuk menepi dan menikmati tumpeng bersama-sama, mereka berdua malah menumpahkan nasi tumpeng ke jalan. 

Mirisnya, setelah itu mereka kembali memperebutkan tampah. Kami hanya bisa terdian memandang keduanya. Tak lagi peduli pada rombongan kesenian yang kemudian lewat. Sebagian mula berbisik, "Itulah kenapa hal-hal begini dilarang, soalnya mubazir kan".


Dengan perasaan tidak menentu, saya mulai mengambil gambar tumpengan yang ditumpahkan ini. Bukar tradisi tumpengannya, gunungannya atau bahkan rebutannya yang salah. Tapi kebiasaan kita yang suka mementingkan diri sendirilah yang salah.

Komentar

  1. wah menarik sekali, kebetulan saya juga menulis tema yang sama *tentang perayaan.
    karakter masyarakat sangat tercermin dari bagaimana mereka merayakan sesuatu :)

    salam kenal :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Banyak Dicari

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

TRADISI WISUHAN

Daur hidup manusia tak lepas dari rangkaian adat istiadat. Saat memasuki 40 hari, dilaksanakanlah tradisi Wisuh atau Wisuhan. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Pagi itu seorang pria pensiunan Polantas sibuk mencari anak-anak kecil. Minggu pagi memang tak mudah mencari para bocah di rumah. Mereka sedang asyik jalan-jalan bersama keluarga tentunya. Beruntung ada tiga bocah kelas 1 SD yang baru bangun keluar rumah dan kemudian dimintalah mereka bersiap memperebutkan uang. Ketiganya hanya mantuk-mantuk bingung. Mereka tak tahu bahwa mereka tengah dilibatkan dalam tradisi Wisuh. • Cukur rambut • Didalam rumah, seorang bayi mungil sedang dicukur bergantian oleh dukun bayi dan pihak keluarga. Dalam kebiasaan lain, saat seperti ini juga sambil dibacakan shalawat. Namun tidak hari itu. Pemandangan ini berbeda dengan yang pernah dilakoni saudara sepupu saya. Menjelang hari ke-40 (bisa dimulai dari hari ke-35 atau selapan dina), dukun bayi yang biasa mengurus ia dan puteri kecilnya secara khus...