Langsung ke konten utama

JALAN-JALAN KE SITUS WATU LUMPANG BUARA



CANDI LUMPANG


Situs prasejarah yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia banyak meninggalkan temuan-temuan dari batu yang masih berfungsi sebagai sarana pemujaan terhadap arwah leluhur. Begitupun dengan yang ada di Purbalingga. Apalagi ketika kita menyisir jalur pegunungan utara. Mulai dari Ponjen, Dagan, Palumbungan sampai Limbasari bahkan disebut-sebut sebagai kawasan situs perbengkelan terbesar di Asia Tenggara.

Nah, kali ini jalan-jalan saya adalah ke salah satu desa di dekat Ponjen. Jika Ponjen dikenal dengan gelang batu-nya, maka di dusun Gampingan desa Buara ini terdapat watu lumpang. Masyarakat luas menyebutnya sebagai "candi watu lumpang", sedangkan daftar inventaris BCB (Benda Cagar Budaya) setempat menyebutnya sebagai situs watu lumpang desa Buara.

ALAM NATURAL

Jalur termudah untuk meunju desa Buara adalah melalui desa Lumpang Kecamatan Karang Anyar. (notes. Lumpang adalah desa sentra penghasil kipang kacang di Purbalingga). Dengan melewati jalur ini, perjalanan terasa mudah karena hanya ada satu jalan utama.

Situs Watu Lumpang ini terletak searah dengan Balai Desa sekira 200 meter dari pusat pemerintahan desa ini. Jika bingung, papan penunjuk arah ke Gampingan juga dapat ditemukan di depan Balai Desa Buara ini. Sepanjang jalan, mata akan disuguhi view areal sawah dan bukit luas yang membentang. Asri dan mendamaikan.

Nah, mendekati lokasi, kita akan menemukan sebuah jembatan kecil di samping jalan. Dari luar memang hanya terlihat rumah dan kebun semata. Namun ketika masuk, maka situs batu lumpang ini baru terlihat jelas.


CANDI

Ketika masuk, saya smepat mencari-cari dimana ada bangunan candi. Namun ternyata "candi" ini merujuk pada maksud sebuah tempat yang sengaja dibangun untuk kepentingan pemujaan. Candi ini berupa tumpukan batu basalt setinggi 50 cm berbentuk denah 4 persegi panjang dengan ukuran 8,5 x 7,7 m.

Di sisi timur dan barat terdapat pintu masuk selebar 1 meter. terdapat juga undakan rendah menuju ke dalam di depan pintu masuk. Di dalam "candi" terdapat beberapa peninggalan pra-sejarah yanitu : lumpang, alu (menhir) dan lesung. Menurut data awal yang saya peroleh lesung disana berjumlah 3 buah, namun beberapa bulan lalu kesana, saya hanya menemukan 1 buah lesung.

Nah, "candi" ini berada di kebun milik keluarga Tirtawireja yang kini juga merangkap sebagai jupel dan kuncen. Pengunjung biasanya datang pada saat memiliki hajat tersendiri. Kebanyakan mereka yang hendak maju dalam bursa pilihan kepala desa akan datang ke tempat ini. Atau mereka yang sedang membutuhkan obat, terutama sakit perut, juga kerap mencari genangan air di lumpang untuk dibawa pulang. bagi yang mempercayainya dengan mengoleskan air tersebut pada perut, maka sakit akan hilang. Lumpang ini sendiri bukan merupakan tuk (mata air) dan hanya tetesan hujanlah yang mengisinya.


Candi ini berorientasi barat timur. Dengan lumpang berukuran panjang dan lebar 80 cm, diameter 50 cm, tinggi 39 cm dan kedalaman 27 cm.


Sementara alu atau menhirnya memiliki bentuk bermacam. Menhir pertama berukuran 50 x 30 cm, menhir kedua 45 cm x 15 cm dan menhir ketiga 10 x 10 cm.Sedangkan lesungnya sebagian sudah tertimbun tanah dengan ukuran panjang sekira 60 cm.


Diperkirakan pada jaman dahulu, alu-lesung-lumpang ini menjadi situs pemujaan untuk meminta kesuburan. Hal ini ditandai juga dengan adanya sumber air di sekitar situs. Air selain sebagai sarana bersuci sebelum pemujaan juga menjadi mata air bagi tumbuhan yang ditanam. Dan sampai saat ini di sekitar lokasi situs juga membentang luas persawahan milik warga.

MITOS

Situs watu lumpang kerap dikaitkan dengan kisah "lemah lanang" sebutan untuk tempat yang konon dihuni oleh bangsa lelembut. Di tempat ini tersebut 3 nama yaitu Gadung Sari, Gadung Melati dan Nata Jiwa. Namun siapa tokoh ini tidak ada kejelasan ceritanya. mereka hanya disebut sebagai "penunggu" candi.

Menurut Tirtawireja, pada malam Jumat Kliwon kerap terdengar bunyi kotekan lesung dari candi. Namun, suara tersebut akan terdengar semakin jelas dari tempat yang lebih jauh dari candi. beberapa penduduk desa tetangga yang saya temui juga mengakui hal ini. Sampai sekitar tahun 80'an, kotekan lesung masih kerap terdengar. Dan hal ini jugalah alasan candi watu lumpang masih terus disakralkan penduduk sekitar. Tidak hanya itu, ada sebuah kepercayaan yang berkembang jika candi ini merupakan pusat desa Buara yang ketika rusak maka hancur jugalah desa ini.

Nah, karena masih dikeramatkan, maka ada pantangan bagi penduduk di sekitar candi. Pantangannya : DILARANG membangun rumah di barat dan timur candi, karena berarti menghalangi pintu masuk.

Orang tua Tirtawireja mengalaminya sendiri. Rumah yang baru mereka bangun di timur candi secara mengejutkan ambruk tanpa ada angin ataupun hujan. Dan setelah dipindah di utara candi, rumah tersebut aman dan tetap berdiri sampai saat ini. Bahkan sekarang beberapa rumah tampak berjajar di utara candi

LUMPANG

Hal lain yang menarik dari candi ini adalah namanya. Lumpang tidak hanya berarti batu lumpang melainkan mengacu pada nama tetangga desa Buara yaitu desa Lumpang. Apakah kaitan keduanya?

Menurut cerita rakyat yang berkembang, dahulu warga desa Lumpang secara bergotong royong memindahkan alu, lesung dan lumping ke pertigaan kecil di dekat sungai desa Lumpang. Proses pemindahan ini memakan waktu seharian. Namun apa yang menjadi alasan warga Lumpang memindahkannya tidaklah diketahui. Sesaat usai dipindahkan, hujan lebat disertai angin besar melanda desa Lumpang. Dikarenakan malam menjelang, warga pun memutuskan bertahan di dalam rumah sampai keesokan harinya. Ketika pagi, warga beramai-ramai menengok candi baru mereka. Tapi apa yang didapati? Candi itu sudah tidak ada di tempatnya dan malah kembali ke lokasi semula di dukuh Gampingan desa Buara. Sejak itulah, karena sudah pernah berpindah ke desa Lumpang, maka tempat ini disebut sebagai Candi Watu Lumpang Desa Buara.

“Jadi sampeyan itu sudah sampai ke desa Lumpang kalau sudah mencapai candi watu lumpang”, pungkas Tirtawirwja

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...